Selasa, 26 Desember 2017

Chrisye, Karya Magis Tentang Tokoh Legendaris

Susah untuk tidak menangis saat menyaksikan karya apik arahan Rizal Mantovani ini. Menggaet aktor-aktris kawakan Vino G. Bastian dan Velove Vexia sebagai pemeran utamanya, film ini cerdas dan sangat layak tonton.

Sebagaimana biopik tokoh yang sudah meninggal pada umumnya, para penonton jelas sudah tahu penyelesaian film ini seperti apa. Tetapi penceritaan yang menarik dari Alim Sudio mampu membawa penonton penasaran menyaksikan adegan demi adegan. Bukan hanya menampilkan sosok Chrismansyah Rahadi sebagai penyanyi terkenal, film ini juga menceritakan sisi lain kehidupan Chrisye yang teramat rendah hati dan menempatkan keluarga di posisi yang sangat penting.

Vino sangat total memerankan Chrisye. Bahkan pada banyak adegan, penonton seolah merasakan bahwa Chrisye hidup kembali. Cara berjalan, cara berbicara, semua diperankan Vino dengan sangat apik. Dalam berbagai liputan pun, kru pembuatan film mengaku seolah merasakan kehadiran Chrisye. Velove pun tak kalah memesona. Setelah kehadirannya dalam Cinta Laki-Laki Biasa dan Hujan Bulan Juni, film Chrisye memberikan bukti bahwa Velove bukan aktris sembarangan. Acting is reacting, ini yang ditunjukkan Velove ketika memerankan Yanti, istri Chrisye.

Ternyata kepiawaian akting tak hanya ditunjukkan pemeran utama. Lihat saja Ray Sahetapy pemeran papi Chrisye, pun akting Dwi Sasono yang secara menakjubkan mampu meniru gesture Guruh Soekarnoputra sedemikian rupa. Semakin menarik dengan kehadiran Verdi Solaiman, Teuku Rifnu Wikana, dan para pemeran pendukung lainnya. Hanya saja kehadiran Andi Arsyil sebagai Erwin Gutawa cukup mengganggu, pun pemeran Addie M. S. yang mengapa bukan Kevin Aprilio saja?

Pentingnya seseorang memang kadang semakin terasa ketika ia sudah tiada. Termasuk tokoh musik tanah air yang satu ini. Publik semakin menyadari bahwa ia bukan penyanyi biasa sejak kepergiannya. Sepuluh tahun Chrisye berpulang, kehadiran film produksi MNC Pictures dan Vito Global ini membangkitkan kembali kenangan publik atas sosok yang tak ada duanya, Chrismansyah Rahadi. Tak hanya itu, pesan-pesan kebaikan dan pentingnya kedekatan kepada Tuhan terrangkum dengan indah dalam karya apik ini. Semagis ini, rasanya 9,2 dari 10 pantas saya berikan sebagai penilaian atas keseluruhan filmnya.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, Desember 2017

Minggu, 10 Desember 2017

Pesan untuk Dunia Banci

Palestina adalah tanah saudara kami
Tegak dan merdeka oleh para pewaris Nabi
Palestina adalah lahan saudara kami
Gagah dan tenteram oleh para pejuang hakiki

Sejengkal bumi Al-Quds kau nodai
Sedunia kami saudaranya tersakiti

Sampai kapan para banci PBB bergeming?
Menunggu Almahdi?
Dekade berganti, begitu saja sudah
Sam makin berani membela zionis banci

Ya, banci!
Kerikil dari tangan mungil Palestina
Sudah cukup menggemetarkan tentara Sam
yang diperbantukan ke penjajah laknat
atas dalih kemanusiaan

Palestina adalah tanah saudara kami
Tahun demi tahun bertahta dalam doa
Kami tak pernah bosan
Nasionalisme kami tak berbatas geografi

Palestina adalah lahan saudara kami
Tak akan goyah oleh laku para banci

Banci zionis
Banci Amrik
Banci PBB
Banci Trump!

Dasar kalian banci
Hadapi langsung saudara kami kalau berani!!
Jangan beraninya pakai rudal
Jangan beraninya pakai blokade
Sementara kalian para banci
bersolek di balik media yang juga banci

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 10 Desember 2017

Selasa, 05 Desember 2017

(P)INDAH

Katanya, semua akan (p)indah
pada waktunya
Tetapi sejak fly over di depan RSPP
masih tiang pancang
ragu rasanya jika pindah itu indah

Secemerlang apapun, pindah menyisakan
kegelisahan karena perubahan
Rekan berganti, suasana berbeda
Rutinitas pun berubah

Apa yang salah dengan zona nyaman?
Terlebih jika baru dibangun hitungan bulan
Bukan oleh robot, tetapi insan
dengan hati, jiwa, dan pikiran

Belum kering benar rekatan semennya
sudah digodam penuh hantam
Sementara tulangnya ranting kering
Dipaksa membangun ulang
Sedikit bergeser saja, padahal

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 5 Desember 2017
di sudut kubikel berlubang paku

Senin, 27 November 2017

Penikmat Film yang Merdeka

Cukup sering saya mendapati teman yang demikian mengagung-agungkan rating, nama sutradara, bahkan menciptakan dikotomi antara film dalam negeri dan film impor. Tanpa perlu menyaksikan keseluruhan filmnya, mereka kadang bisa mengklaim film ini bagus dan film itu tidak. Lucunya, tak jarang pula mereka cenderung memaksakan pendapat orang lain agar sepakat dengannya. Apalagi jika sudah masuk ranah film festival, film yang diberi penghargaan, dan semacamnya. Seolah-olah jika orang lain berpendapat sebaliknya, itu adalah dosa besar yang pantas diolok-olok.

Gambar: https://www.warwickartscentre.co.uk/whats-on/2017/warwick-masterclass-an-introduction-to-analysing-film/
Saya sendiri penikmat film yang tak terlalu peduli rating dan siapa di balik filmnya. Bukan berarti abai sama sekali, tetapi bagi saya menikmati film itu harus merdeka. Tak peduli Dunkirk mendapatkan rating setinggi apapun, bagi saya tak sebagus itu. Tak peduli Marlina: si Pembunuh dalam Empat Babak mendapatkan penghargaan di luar negeri, bagi saya film membosankan yang tidak efisien dan penuh adegan tidak penting. Demikian pula film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata, saya akan menyampaikan film itu bagus jika memang mengesankan bagi saya. Dicap sebagai penyuka picisan ala sinetron, saya tetap menyukai Dear Nathan. Pun walaupun raksasa jaringan bioskop tak memberikan banyak layar kepada film Duka Sedalam Cinta, saya rela nonton berkali-kali menempuh jarak cukup jauh dengan mengajak sebanyak mungkin orang. Menilai film Marrowbone bagus pun saya sama sekali tidak melihat rating-nya atau pencapaian penghargaannya.

Bagi saya, rating hanya pendapat subjektif orang-orang yang terlibat dalam pemberian rating itu. Populasinya bahkan bisa dibilang tidak mewakili semua penonton filmnya. Pun penghargaan di festival-festival, belum tentu menggambarkan keindahan dan kualitas filmnya. Maka selayaknya orang yang mengaku mampu menikmati film-film yang menang festival ini-itu tak perlu jumawa dan menganggap kastanya lebih tinggi dibandingkan orang yang beranggapan film itu membosankan.

Masing-masing penikmat film memiliki latar belakang dan ketertarikan yang berbeda. Saya yang seorang muslim tentu sah-sah saja merasa tersinggung dan tidak menyukai American Assassin karena muslim digambarkan barbar dan minim adab di film itu. Begitu pula orang yang sinis kepada Islam akan merasa Duka Sedalam Cinta terlalu agamis dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea terlalu berlebihan mengangkat isu Palestina. Sah-sah saja selama tidak memaksakan kehendak kepada penikmat film lainnya. Rating, review, dan semacamnya itu hanya bumbu referensi yang sedikit memberikan gambaran bagi kita. Adapun penilaian bagus atau tidaknya, setiap penonton memiliki pendapat sendiri yang merdeka.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 27 November 2017

Kamis, 23 November 2017

Nikmat Kegagalan

“Aku belum jadi pindah ke sana.”
“Oh, nggak apa-apa. Qadarullah, pasti yang terbaik.”
“Iya, kemarin gagal di tahap ketiga.”

Seorang teman dekat bercerita tentang rencananya yang kandas karena satu lagi jatah kegagalan yang ia dapatkan. Bertahun-tahun yang lalu, ia juga pernah mengalami kegagalan untuk mewujudkan cita-cita berkecimpung di dunia medis. Setahun ia tertunda dari teman-teman seangkatan. Meskipun pada akhirnya ia mampu bangkit dan mewujudkan mimpinya dengan menaklukkan Fakultas Kedokteran Gigi di sebuah universitas negeri, keberhasilan itu ia dapatkan setelah memaksakan diri menelan pil pahit sebuah kegagalan.

Gambar:
Sad and depressive wallpaper app
Saya jadi teringat tentang perjalanan studi yang pernah saya jalani. Masuk ke SMP, SMA, hingga perguruan tinggi yang terbilang favorit mengharuskan saya mengikuti sejumlah tes. Dalam hal ini, tingkat keberuntungan saya cukup tinggi. Sekali tes saja, masuk. Bahkan di penghujung SMA mengajukan proposal penerimaan mahasiswa ke tiga perguruan tinggi melalui jalur penelusuran minat dan prestasi, tiga-tiganya menyetujui permohonan saya. Dalam perjalanan studi pun, meskipun saya bukan termasuk mahasiswa berprestasi, lulus-lulus saja tanpa effort yang terlalu besar. Sangat berbeda dengan kisah teman dekat saya itu tadi.

Tetapi memang hidup selalu hadir dengan dua sisi mata uang. Meskipun kegagalan-kegagalan didapatkan dalam hal ujian-ujian untuk studi maupun bekerja, ia mendapatkan kemudahan lain untuk berprestasi. Sebaliknya saya yang mudah melalui tes-tes yang ada, mendapatkan kegagalan dalam sisi lain di kehidupan.

Tak ada yang selalu mulus tanpa cela. Kegagalan demi kegagalan pasti mewarnai perjalanan hidup kita. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, mensyukuri setiap kegagalan yang menghampiri. Ah, kegagalan kok disyukuri? Ya, memang begitu. Kegagalan adalah semacam alarm bagi kita agar tetap menyadari posisi sebagai hamba. Bukankah kegemilangan selalu membuat kita cenderung lupa bahwa semua adalah milik-Nya?

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 23 November 2017

Senin, 20 November 2017

Marrowbone, Mencekam dan Beralasan

Menjadi lelaki sulung dari empat bersaudara seringkali memberikan posisi sulit yang serbasalah. Terlebih jika harus hidup di tempat terasing demi menjauhi sang ayah yang penjahat sadis bahkan tega melecehkan anak gadisnya sendiri. Semakin membuat terasa berat ketika sang ibunda harus meninggalkan keempat anak tercinta untuk selama-lamanya dengan satu pesan, keempat bersaudara harus tetap bersatu apapun yang berusaha memisahkan mereka.

Jack Marrowbone bersama ketiga adiknya bahu-membahu untuk bertahan hidup sambil terus merahasiakan kematian sang ibunda. Jane, putri satu-satunya membuat kue dengan bantuan Billy adiknya sambil menjaga si bungsu Sam. Jack bertugas menjadi distributor sekaligus pemasok yang berhubungan dengan “dunia luar”. Mereka ingin bertahan sebaik mungkin hingga Jack berusia 21 dan cukup umur untuk menguasai rumah dan harta peninggalan orangtua mereka tanpa diambil alih pihak-pihak yang akan merugikan mereka. Sampai kejadian itu datang. Ayah mereka yang pembunuh sadis menemukan tempat tinggal Jack dan adik-adiknya!
.
Sejak kedatangan sang ayah, berbagai kejadian aneh menghampiri. Hubungan asmara Jack dengan Allie gadis idamannya pun terbentur keberadaan Tom Porter sang pengacara keluarga. Tom yang ambisius dan oportunis itu berusaha memanfaatkan keadaan keluarga Marrowbone. Demi melancarkan ketertarikannya kepada Allie, Tom menghembuskan cerita-cerita negatif tentang Jack yang ternyata tak sepenuhnya mengada-ada. Ada sesuatu yang salah dengan Jack. Lalu apa yang terjadi dengan ketiga adiknya?

Akting George MacKay, Charlie Heaton, Mia Goth, dan Matthew Stagg sebagai keempat bersaudara berhasil menyajikan masing-masing karakter dengan baik. Kyle Soller pun mampu membuat kesal dengan perannya sebagai pengacara. Sang sutradara Sergio G. Sánchez yang juga menulis skenarionya berhasil mengarahkan para pemeran untuk menyajikan suasana mencekam, misterius, dan penuh alasan. Hanya saja, karakter Allie yang diperankan Anya Taylor-Joy rasanya terlalu angelic dan sedikit mengurangi rasa gereget dalam cerita film yang diproduseri Belén Atienza, Álvaro Augustin, Ghislain Barrois, dan J.A. Bayona ini.

Selebihnya dari segi kualitas gambar dan suara, penataan cahaya, kostum, dan berbagai unsur lainnya, film ini menarik. Meskipun cukup bisa ditebak arah akhirnya, penyelesaian film ini cukup menghentak. Suasana dalam film masih terus terngiang hingga beberapa waktu. Dirilis di Spanyol pada 27 Oktober 2017, karya apik yang ditayangkan dalam Toronto International Film Festival pada 11 September 2017 ini akan segera tayang reguler di bioskop-bioskop Indonesia. Saya yakin memberikan nilai 9 dari 10 untuk film berdurasi 110 menit milik Universal Pictures ini.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 20 November 2017

Minggu, 19 November 2017

Marlina, Sampah Empat Babak

Sampah! Ya, saya bilang film ini sampah. Besutan sutradara Mouly Surya ini masuk ke daftar film yang saya sesali menyaksikannya di bioskop, setelah A Copy of My Mind tahun 2015 lalu. Memang tidak semuanya sampah plastik, ada sebagian sampah organik yang menyuburkan di film ini.

Gaya penceritaan yang unik seharusnya menjadi daya tarik film ini. Tetapi ternyata keunikan itu hanya tempelan yang entah untuk apa. Tak usah berharap bahwa empat babak di sini adalah tahap pembunuhan yang dilakukan oleh Marlina. Empat babak dalam film ini benar-benar dimaksud sebagai penggalan-penggalan cerita dengan alur linear yang sangat lambat dan menjenuhkan. Ekspektasi atas akting Marsha Timothy dan para pemeran lainnya jauh dari terpenuhi. Semua terasa biasa-biasa saja.

Sampah organik yang menjadi nilai positif film ini ‘hanya’ ada pada keberaniannya mengangkat isu sosial yang mungkin lumrah terjadi di daerah terpencil bagian Timur Indonesia. Tentang akses kendaraan yang sangat susah, tentang pelayanan publik yang amat payah, dan tentang ketertindasan kaum lemah yang begitu kentara. Selebihnya adalah sampah plastik yang membuat saya bertanya-tanya, “Masih ada produksi film seperti ini di tahun 2017?”
.
Produser Rama Adi dan Fauzan Zidni sepertinya berminat menyajikan film yang tidak biasa-biasa saja, tetapi eksekusinya membuktikan bahwa para sineas film ini masih perlu banyak belajar tentang efisiensi penceritaan, kekuatan karakter, pengambilan gambar, dan segala hal tentang pembuatan film yang tidak hanya nyeleneh tapi juga menarik untuk disaksikan. Jika dilihat empat babak yang dimaksud pun, film ini tidak bisa dibilang empat babak kecuali ada pemotongan dengan tulisan babak I, babak II, dan seterusnya. Penamaan babak pun tidak logis. Contohnya saja penulisan, “Babak I, Setengah Jam Sebelum Pembunuhan.” Isi ceritanya malah dari siang/sore hingga malam. Setengah jam durasi film, maksudnya?

Dua kali adegan pemerkosaan dengan sudut pengambilan gambar yang vulgar sekali jelas sangat mengganggu dalam film ini. Tetapi di sisi lain banyak adegan yang akan lebih menarik jika dibuat mendetail justru diambil dengan kamera dari jarak sangat jauh. Ditambah lagi mayoritas gambar statis, tripod oriented. Semakin membosankanlah film ini.

Thriller? Rasanya film ini hanya drama lamban yang minim penokohan. Saya memberikan nilai pribadi 4,5 dari 10 untuk film di bawah naungan Sinesurya Production ini. Karena memberikan nilai 3 terlalu kejam rasanya. Not recommended at all.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 19 November 2017

Kamis, 09 November 2017

Sembunyi di Balik Lema

Bukankah waktu adalah
kumpulan tunggu?
T'lah kularung mahadendam
yang melambung
ke langit senyap
Setiap kali semesta bertanya,
kujawab
hanya dengan namamu

Aku terpasung
dalam gelora mendambamu
Mungkinkah meredam mahadendam
yang mengakar?

Kumpulan lema ini adalah
tempatku bersembunyi
dari ganasnya namamu

Derap-derap sajak ini adalah
suara langkahku
berlari dari kungkung rindu

Aku berpuisi karena tak mampu
meneguk senyummu
yang berkibar-kibar
merobek jumawaku

Setiap larut
kudeklamasikan namamu,
getar jantungku meraung-raung
di nadir palung
antara hidup dan tiada

Setiap senyap,
kularung binarmu
dalam soneta
yang tak kunjung bermuara

Kamu, perempuanku

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 9 November 2017

Senin, 06 November 2017

Picisan Rembulan

Kutatap rembulan
Berharap senyummu memantul di sana
Tapi gemanya kosong
Tanpa mampu melarutkan sepi

Entah bagaimana Tuhan meracik rindu
Dijejalkannya ke palung hati
Sampai berdarah-darah karena namamu
Hingga mendidih karena mendambamu

Ah, purnama...
T'lah berjuta kisah terpahat karenamu
T'lah bermilyar picisan tercipta karenamu
Tetapi jiwa yang retak tak peduli
Hanya tahu bahwa dalam bisu
ia tak mampu melihat ujungnya
Seperti harap atau sebaliknya penuh senyap

Hei, apakah kau pun menatap rembulan?
Tadi kutitip salam melalui desau
Sudahkah ia sampaikan?

Hanya diam, seperti setiap malam saat kudamba senyummu menjelma.

Mungkin picisan ini hanya angan
Mana bisa sebelah menjadi tepuk tangan?

Jangan-jangan kau sedang tertidur di samping sang pangeran berkuda putih yang bukan aku.

Terkutuklah rinduku.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 6 November 2017

#puisi #poem #poetry #sajak #kisahkita #kata #DukaSedalamCinta #rindu

Minggu, 05 November 2017

Kebaruan Karya yang Apik: Duka Sedalam Cinta

Apa yang menarik dari sebuah film? Akting pemerannya, isi ceritanya, alurnya, setting-nya, atau pesannya? Pada sebagian film, mungkin kita tidak mendapatkan kelebihan dari unsur-unsur yang membuat menarik tersebut. Namun ternyata film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata ada yang hadir dengan hampir memenuhi keseluruhan unsur untuk dinilai sebagai film yang menarik. Seperti halnya sebuah karya anak bangsa yang satu ini.

Setelah debutnya di Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) 2016 lalu, tahun ini Helvy Tiana Rosa kembali memproduseri sebuah film berjudul Duka Sedalam Cinta (DSC) yang tak lain adalah sekuel/lanjutan KMGP. Masih disutradarai Firman Syah, film ini menghadirkan sudut penceritaan yang unik. Penonton diajak melompat-lompat dari scene yang satu ke scene yang lain dengan alur yang tidak linear. Cara bercerita seperti ini sangat jarang dijumpai, terutama pada film Indonesia.

Alkisah kakak beradik Gagah-Gita terlibat konflik karena perubahan yang terjadi
dalam diri Mas Gagah yang juga memengaruhi mama dan sahabat Gita, Tika. Dengan cerdas, kreator DSC menyajikan kembali garis besar KMGP. Sehingga penonton yang tidak menyaksikan KMGP pun langsung terhubung dengan cerita.

Mendapati perubahan yang terjadi kepada orang-orang di sekitarnya, beberapa waktu kemudian sikap Gita perlahan melunak. "Dik Manis"-nya mas Gagah pun mampu menerima perubahan-perubahan yang ada. Bahkan Gita juga ingin ikut berubah. Sebuah teka-teki bergelayut di benak penonton, terlambatkah Gita?

Keindahan alam Halmahera Selatan menghiasi film yang dibintangi Aquino Umar, Masaji Wijayanto, Izzah Ajrina, dan Hamas Syahid ini. Kualitas gambar dan suara sangat detail dan jernih, hingga properti dan make up tertentu semacam jenggot Gagah menjadi terlihat tak natural. Catatan untuk film ini bahwa jika sudah menggunakan peralatan maksimal, semua sisi lain termasuk artistik dan tata rias juga harus diperhatikan dengan saksama.

Sebagai para bintang baru, empat pemeran muda film ini patut diacungi jempol. Terutama untuk Aquino Umar, pemeran Gita, yang terlihat sangat total dan mampu 'menyihir' semua penonton untuk merasakan atmosfer cerita. Saya bahkan ikut terisak-isak saat menyaksikan Gita menangis pada setidaknya dua adegan. Sedangkan tiga pemeran lainnya, meskipun masih terlihat cukup kaku pada berbagai adegan, sudah mampu menghadirkan karakter masing-masing dengan cukup baik. Terlebih dengan kehadiran pemeran kenamaan lain seperti Mathias Muchus, Wulan Guritno, Ali Syakieb, Asma Nadia, Salim A. Fillah, dan semua pendukung semakin memperkaya film yang telah diterbitkan buku puisinya dengan judul yang sama.

Hikmah bertebaran dalam film ini, pesan-pesan kebaikan tersampaikan dalam narasi dan dialog. Memang agak membosankan di bagian-bagian tertentu. Tetapi dengan dinamisnya penceritaan dan tampilan yang tak biasa, film ini puitis dengan sendirinya. Selain tentunya puitis karena narasi-narasi yang disampaikan dengan suara Masaji, Hamas, Aquino, dan Izzah. Indah dan sangat pantas disaksikan siapa saja. Sebagai sebuah hiburan pun, film ini berkelas dan mengesankan. Ingat salah satu adegan yang membuat para penonton menoleh ke kanan? Nah, tak hanya tangisan yang mewarnai film ini, gelak tawa dan senyum mengembang pun hadir di tengah saya dan para penonton lainnya.

Hanya saja, memang sineas yang terlibat dalam membuat film ini masih harus memerhatikan beberapa hal detail. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, jenggot Gagah yang sangat kentara tidak asli itu cukup mengganggu, terlebih karena kamera yang digunakan membuat gambar yang dihasilkan sangat mendetail. Selain itu, padatnya cerita di sekitar sepertiga awal film benar-benar membuat penonton tak bisa lengah sedikitpun. Bagus, tetapi menjadi tidak konsisten dengan beberapa adegan. Sebut saja adegan Gagah dan Yudi bertemu ustaz Muhammad Kasuba dan bupati, lanturan cerita pada bagian ini rasanya tak begitu penting dan terlalu berkesan dipaksakan ada. Padahal jika tidak ada adegan itu pun, keseluruhan cerita tidak terganggu.

Sebuah karya apik layar lebar tentu merupakan hasil proses yang tidak mungkin hanya sehari-dua hari. Duka Sedalam Cinta membuktikan bahwa meskipun bukan rumah produksi besar, KMGP Pictures mampu menghadirkan karya menarik yang tak sekadar tontonan tanpa pesan. Semoga hasil karya berikutnya akan semakin baik dan menjadi bagian kejayaan film dalam negeri.

Usai menyaksikan film ini, saya merasa bahwa ada sesuatu yang harus saya lakukan. Film ini hanya diberikan kesempatan sedikit sekali oleh raksasa jaringan bioskop di Indonesia. Padahal isi dan penggarapannya sangat patut ditonton oleh sebanyak mungkin orang. Maka sejak hari pertama, saya merelakan waktu, tenaga, dan biaya untuk mengajak sebanyak mungkin orang. Pejaten Village adalah tempat yang saya pilih karena lokasinya yang paling dekat dari tempat tinggal dan kantor. Meskipun tak sepenuhnya hingga akhir jadwal penayangan reguler, saya lega membersamai Duka Sedalam Cinta di dua pekan pertama penayangannya. Mendengar cerita tentang kesan para penonton setelah menyaksikan film ini, rasanya memang harus lebih banyak lagi film yang tak hanya menarik namun juga penuh pesan kebaikan.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 5 November 2017

Aku Suka Karena Kamu Pahit Seperti Kopi

Kopi itu menarik
getirnya memberikan semangat
Sebagian ada asamnya
menyegarkan
Jika suka, tambahkan gula
manisnya menambahkan rasa

Tak ubahnya mendambamu
: pahit

Tetapi benar pepatah digdaya
tentang rasa yang buta itu
: gila

Bagaimana aku tak gila?
Sudah tahu mendambamu pahit
namamu kupompa ke setiap sudut alveolus
Sudah tahu menginginkanmu getir
senyummu kualirkan ke semua arteriola

Bagaimana aku tak gila?
Wajah datang dan pergi
lebih manis, lebih menjanjikan
ketimbang kamu
Tapi nadiku bergeming

Aku mabuk!
Mabuk atas kegetiran yang ada padamu
Mabuk atas namamu yang menusuk-nusuk
arteriola jiwaku
Mabuk atas semua yang ada padamu

Aku gila!
Gila karena tak mampu menggantimu
Gila karena dekade tak mamu menghapusmu
Gila karena aku hanya ingin kamu!
.
Aku pahit
Aku getir
Aku mabuk
Aku gila
Aku hanya ingin: kamu

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 5 November 2017

#puisi #poem #poetry #sajak #sajakduka #tentangkamu #DukaSedalamCinta

Sabtu, 09 September 2017

IT, Ketulusan Berteman

Bagaimana rasanya kehilangan seorang adik kecil secara misterius padahal baru beberapa menit sebelumnya ia berpamitan untuk bermain di luar? Perasaan bersalah atas kepergian Georgie membuat Bill terus berusaha mencari tahu apa yang tersembunyi di Derry, kota kecil tempat tinggal mereka. Bersama sahabat-sahabatnya yang sering dianggap pecundang karena berbagai keunikan mereka, Bill yang cenderung berbicara gagap berusaha menelusuri kemungkinan-kemungkinan atas tingginya angka kehilangan orang di kota mereka. Richard, Eddie, dan Stanley menjadi sahabat yang mendukung Bill dalam penelusurannya. Seiring berjalannya waktu, bergabung pula Mike, Beverly yang satu-satunya perempuan, serta Ben yang terlibat cinta segitiga ala remaja bersama Beverly dan Bill.

Misteri kota Derry menghantui Bill dan kawan-kawan. Masing-masing mengalami kejadian seram dan mengejutkan yang berujung pada satu sosok yang sama, seorang badut. Bukan sembarang badut, melainkan monster badut yang siap mencelakai siapapun yang dia inginkan. Bertujuh, para remaja tanggung itu menguak misteri tentang si badut.

Sebuah film menegangkan yang dikomandoi secara apik oleh sutradara Andres Muchietti. Akting memukau dan terasa amat natural dari Jaiden Lieberher dan kawan-kawan bahkan mampu menyaingi para pemeran dewasa. Music scoring, penataan cahaya, perekaman gambar dan suara, serta grading warna tertata dengan baik. Produksi New Line Cinema yang didistribusikan Warner Bros Pictures ini tidak terjebak pada kisah horor yang melulu berbau eksorsis. Dengan demikian, saya yakin memberikan nilai 9,3 dari 10 untuk film yang diangkat dari novel karya Stephen King ini.

Jadi, sudah siap membersamai Bill Denbrough dan teman-temannya bertemu Pennywise the Dancing Clown?
.
Dio Agung Purwanto
Jakarta, 8 September 2017

Senin, 04 September 2017

DSC, Sebuah Perjalanan

Tahun lalu, Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP The Movie) menjadi salah satu pembuka film islami bernilai universal sepanjang tahun. Sempat menduduki posisi teratas di awal tahun sebagai film Indonesia ber-budget rendah yang paling banyak diminati, KMGP The Movie bahkan masih terus diputar di berbagai bioskop Nusantara dalam berbagai acara nonton bareng atas permintaan masyarakat berbulan-bulan setelah penayangan regulernya disudahi. Antusiasme ini tak lepas dari kisah yang menjadi sumber inspirasi film ini.



Diangkat dari kisah yang ditulis produsernya sendiri pada tahun 1992, digarap dengan gaya kekinian bersama tangan-tangan lihai kumpulan para pemenang Piala Citra, dikomandoi oleh sutradara yang terlibat langsung dalam produksi sejumlah film berpenghasilan tinggi karya anak bangsa. Pemeran utamanya adalah pemuda-pemudi berbakat yang sangat terang komitmennya dalam kebaikan. Didukung pula oleh sejumlah nama beken yang bersedia menjadi cameos.

Meskipun tidak banyak menggelontorkan biaya promosi, yang tentunya tak banyak terlihat iklannya di media massa, orang-orang yang terlibat dalam film ini tergolong berani dan sangat peduli. Setengah miliar rupiah hasil film ini disumbangkan untuk pendidikan anak-anak di bagian Timur Indonesia, setengah miliar lagi diinfakkan untuk anak-anak Palestina. Semangat berbagi ini menular ke sejumlah penontonnya yang merasakan bahwa film ini luar biasa dan layak diapresiasi, lalu muncullah gerakan 'sedekah tiket'. Para penonton bahu-membahu mengajak sebanyak mungkin komunitas remaja, anak-anak yatim di panti asuhan, serta kaum dhuafa untuk menyaksikan film ini langsung di bioskop. Sebuah hadiah yang sangat berkesan bagi mereka yang, mungkin, bahkan belum pernah menginjakkan kaki di karpet tebal lobi bioskop.

Namun, ada yang belum selesai pada KMGP The Movie. Para penonton masih dibuat penasaran dan tak sabar ingin menyaksikan kisah Gagah, Gita, Nadia, dan Yudi. Setahun lebih penantian pada KMGP The Movie 2, tentu kreatornya tidak hanya tinggal diam. Kesungguhan upaya menghadirkan film yang tidak biasa-biasa saja, terlebih menghadapi stigma sebagian masyarakat bahwa film Indonesia sudah pasti jelek, membuat sineas yang terlibat harus mengerahkan upaya lebih keras dan memakan waktu lama. Apalagi produser film ini dikenal sangat teguh mempertahankan hal-hal prinsipal dalam karyanya. Perhatikan saja tokoh Gagah dan Gita yang merupakan adik kakak yang sangat akrab, pemerannya yang bukan mahram sama sekali tidak bersentuhan. Menarik bukan? Tak banyak penggerak film seperti ini.

Purnama berganti, KMGP The Movie 2 semakin mendekati nyata untuk dinikmati. Dalam masa yang cukup panjang menuju KMGP The Movie 2 itu, tercetuslah sebuah judul yang diharapkan mampu memberikan warna yang lebih baru. Duka Sedalam Cinta dipilih sebagai judul besar KMGP The Movie 2. Pada gilirannya, frasa ini juga disajikan dalam bentuk buku kumpulan puisi sang produser yang juga merupakan sastrawan kenamaan Indonesia.

Perjuangan panjang menghasilkan tontonan berkualitas bagi keluarga-keluarga Indonesia, dan siapapun yang familiar dengan bahasa Indonesia, pada akhirnya mendapatkan kepastian. Setelah lika-liku proses yang melelahkan dan 'me-lillah-kan', 19 Oktober 2017 akan menjadi tanggal perdana penayangan buah karya para pendakwah budaya ini. Kini giliran kita, para penonton, yang seyogianya mengapresiasi sebaik-baiknya. Caranya? Mari kita siapkan dana untuk menyaksikan di bioskop sejak hari pertama, mengajak sebanyak mungkin orang, dan berulang-ulang. Dengan demikian akan terlihatlah bahwa selera masyarakat negeri ini adalah film bernilai kebaikan. Lalu para sineas akan berlomba-lomba membuat film bertema kebaikan, alih-alih horor yang mengarah kepada kemusyrikan atau adegan-adegan syur yang mendorong kemaksiatan. Pada gilirannya nanti kita akan menghadiahkan generasi penerus bangsa ini sebuah kebanggaan atas film-film Indonesia dengan pesan moral yang baik dan digarap dengan baik pula.

Jayalah perfilman Indonesia!

Link lengkap trailer: bit.ly/DSC19Oktober2017

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 4 September 2017

DSC Hadir Oktober 2017

Sebuah film yang ditunggu-tunggu, akhirnya akan tayang Oktober 2017 ini. Trailer-nya aja udah sekeren ini.

Duka Sedalam Cinta The Movie sebuah film dari produser Helvy Tiana Rosa yang disutradarai Firman Syah, akan diwarnai keindahan alam Halmahera Selatan yang sangat apik. Diperankan oleh bintang-bintang muda berbakat Izzah Ajrina, Hamas Syahid, Masaji Wijayanto, dan Aquino Umar. Didukung dengan peran Wulan Guritno, Mathias Muchus, Cholidi Asadil Alam, Salim A Fillah, Ali Syakieb, Asma Nadia, Chikita Fawzi, dan segenap nama beken lainnya.

Yuk, siapkan dana untuk tiket nonton berkali-kali dan mengajak teman-teman!

https://youtu.be/JJD83-R0fBE

Sabtu, 29 Juli 2017

Berjalan dengan Ponsel

Diakui atau tidak, sebagian dari kita berjalan menenteng ponsel sambil berkali-kali melihatnya disebabkan kurang pede menatap sekitar. Apa yang dilakukan dengan ponsel sambil berjalan?
1. Melihat Jam
Bahkan menitnya belum berubah sudah dilihat dua hingga tiga kali.
2. Clear Chache
Fasilitas one touch untuk membersihkan temporary files menjadi salah satu sasaran. Bahkan mungkin hanya 15MB chache lantaran baru saja dibersihkan semenit lalu.
3. Cek Notifikasi
Buka app facebook, instagram, twitter, path, dan sebagainya hanya untuk memastikan kalau-kalau ada satu saja notifikasi terbaru. Tidak ada notifikasi baru? Cari posting facebook yang terlihat akan ramai dikomentari, tinggalkan komentar walaupun sekadar satu kata, "jejak." Let's see, beberapa menit kemudian, notifikasi berdatangan.
4. Cek Grup
Buka line, whatsapp, dan sebagainya. Siapa tahu ada posting lucu yang belum ada di "grup sebelah", jadi bisa di-copy.
5. Lock and Unlock
Tampaknya yang ini cukup parah. Tapi memang ada loh, teman yang berjalan sambil berkali-kali membuka dan mengunci layar ponsel. Biasanya karena kombinasi pattern atau password agak rumit, jadi terlihat sedikit sibuk.

Salah? Nggak juga sih. Tapi berjalan sambil 'bercengkrama' dengan ponsel menurunkan kepekaan dan konsentrasi kita terhadap sekitar. Bisa tertabrak orang atau kendaraan, terbentur tiang, terjerembab, atau meringsek ke lubang yang luput dari perhatian. Ayo hentikan sejenak aktivitas 'iseng' dengan ponsel ketika berjalan. Tunggulah hingga kita berhenti dan duduk. Atau jika mendesak, menepilah dan berhenti sebentar. Kalau sedang berjalan, tegakkan badan dan edarkan pandangan ke sekitar. Jangan grogi, lha wong mereka pada lihatin ponsel, bukan merhatiin kita.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 29 Juli 2017

Rabu, 12 Juli 2017

Transformers dan Kejenuhan Bercerita

Jagat layar lebar kembali disemarakkan franchise film dari negeri paman Sam yang satu ini. Sampai pada seri kelima, tentu mengindikasikan bahwa Transformers diminati masyarakat dunia dan menguntungkan bagi para pembuatnya. Kemegahan produksi yang sangat mengandalkan komputerisasi ini berhasil membuat tercengang jutaan pasang mata dengan aksi tokoh-tokoh di dalamnya. Untuk aksi cepat yang menegangkan dan penuh dentuman suara pemacu denyut jantung, film ini sangat memenuhi unsur hiburan.

Akan tetapi, saya pun bertanya-tanya, di mana unsur kebaharuan film kelima yang diproduseri empat jutawan di bawah Paramount Pictures ini? Ceritanya masih berkutat seputar manusia makhluk bumi yang berdampingan dengan Autobots, lalu situasi memanas atas kehadiran kembali para Decepticon. Sebagai sebuah karya layar lebar dengan jangkauan putar lintasbenua, selayaknya karya sutradara Michael Bay ini memiliki poin unik yang layak dinantikan. Bukan hanya Decepticon datang, Autobots bekerja sama dengan manusia, lalu akhirnya bumi aman. Terlalu klise, tapi demikianlah adanya.

Memang ada kemunculan Quintessa, tapi apa sih kehebatannya? Hanya diserang sedikit saja bisa sedemikian hancur. Bukankah ia yang menciptakan Optimus Prime dan bangsanya? Memang ada sedikit konflik saat Optimus Prime menjadi jahat dan menyerang bumi, tapi lagi-lagi penyelesaiannya terlalu dipaksakan. Ingat cerita Batman jahat yang sadar hanya karena nama ibu  Superman sama dengan nama ibunya? Begitulah kira-kira Optimus Prime di bawah pengaruh Quintessa yang seketika luluh demi mendengar suara Bumblebee.

Kreator film ini hebat, harus diakui. Bukan hal yang mudah menampilkan durasi 150 menit dengan banyak sekali efek yang perfeksionis. Tentu memerlukan banyak tenaga, waktu, dan dana. Tetapi untuk dinilai sebagai sebuah film yang keren, menurut saya susah sekali. Para pemerannya hampir tidak dituntut akting yang demikian mumpuni, sepanjang film mayoritas disuguhi kemewahan CGI semata. Namun, sekali lagi, film ini cukup menghibur.

Bagi saya pribadi, poin 6.8 dari 10 untuk film ini.

Gambar: hdwallpapers.in

#transformers #film #ulasan #ulasanfilm #review #moviereview

Sabtu, 08 Juli 2017

Peter in a Homecoming Movie

Menyempatkan diri menyaksikan film yang ramai diperbincangkan bahkan sebelum rilis resmi ini, saya menikmatinya sebagai sebuah film utuh yang berdiri sendiri. Bukan sebagai sekuel, bukan sebagai serial, pun bukan sebagai remake. Ini adalah sebuah film baru, yang kebetulan saja saya sudah mengenal tokoh dengan nama yang sama di film-film terdahulu. Tak tergerak sedikitpun meraih handphone yang memang saya nonaktifkan, dari awal hingga akhir film ini memenuhi unsur menarik dan menghibur bagi saya.

Peter Parker digambarkan sebagai remaja di tahun kedua SMA. Sangat cocok untuk mendukung cerita tentang kegamangan jiwa mudanya. Bagian inilah yang paling menarik bagi saya. Film yang diproduseri Kevin Feige dan Amy Pascal ini bukan hanya menampilkan Peter beraksi sebagai Spider-Man membantu berbagai warga kota yang kesusahan atau melawan serangan alien dari planet lain. Lebih dari itu, karya apik sutradara Jon Watts ini mengungkap sisi-sisi kedewasaan keponakan Tante May tentang alasan bahwa dia layak menjadi Spider-Man. Tentang kata-kata Tony Starks bahwa Peter tak layak mendapatkan kostum jika tak mampu melakukan apa-apa, juga tentang pilihan Peter untuk meninggalkan Liz demi menghentikan kejahatan ayah gadis kulit gelap yang begitu disukainya itu. Jangan lupakan persahabatan Peter dan Ned yang menjadikan karakter utama di film ini semakin riil sebagai anak SMA. Meskipun tentu saja unsur fantasinya juga bagus.

Saya tidak akan membandingkan Spider-Man: Homecoming dengan pendahulunya. Karena seperti yang saya katakan sebelumnya, saya menikmati film ini sebagai sebuah karya utuh yang berdiri sendiri. Tom Holland bermain dengan sangat baik, begitupun pemeran lainnya. Hanya saja, sepertinya Marvel Studios kehabisan judul. Homecoming di film ini hanya seperti tempelan, tak banyak memberikan latar berarti. Secara keseluruhan, saya memberikan nilai pribadi 8.8 dari 10 untuk film yang didistribusikan Sony Pictures ini.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 8 Juli 2017

Jumat, 30 Juni 2017

Timbangan Angat

Libur lebaran kali ini memberi saya kesempatan membantu orangtua berjualan tomat, bawang merah, bawang putih, kentang, dan semacamnya. Tentu tak lepas dengan timbangan/dacin sebagai alat ukur komoditas yang diniagakan. Selayaknya jual beli tradisional bahan-bahan seputar dapur, pembeli terbiasa memilih dan mewadahi ke kantung plastik yang sudah disediakan hingga menimbang sendiri di timbangan yang mudah diakses dari depan.

Ketika mengawasi timbangan, sebagai penjual sangat takut jika jumlahnya kurang yang bisa saja mengurangi keberkahan jual beli. Maka seringnya agak dilebihkan sedikit dari yang seharusnya. Apalagi jika yang dibeli beberapa kilogram, diberikan diskon khusus meskipun tak begitu banyak. Bonus timbangan ini di kampung kami sering sebut 'angat'. Saya kurang tahu apakah angat ini berasal dari pengucapan sehari-hari yang diambil dari kata hangat yang di kampung kami seringnya mewakili panas (untuk makanan/minuman) atau gerah (untuk cuaca).

Seperti sudah saya ungkapkan, lebih merasa aman dengan memberikan sedikit 'timbangan angat' daripada kurang. Ternyata hal ini juga memengaruhi perilaku pembeli. Untuk sebagian pembeli menimbang pas, "Tambahlah sedikit", terlihat jelas mereka berterima kasih. Untuk sebagian pembeli yang ketika menimbang ada sedikit kelebihan, "Ambil sajalah," maka sama-sama senang. Tetapi untuk sebagian pembeli yang sukanya menawar harga dan melebihkan timbangan dengan sengaja, maka sebiji tomat berlebih pun akan saya ambil.

Timbangan angat adalah refleksi kehati-hatian berdagang sekaligus budaya kekeluargaan. Tak begitu banyak, namun memberikan arti yang mengendap di hati. Karena itu, sebagai pembeli, eloklah tahu diri. Cobalah berbelanja di supermarket, kelebihan lima puluh gram saja mengubah jumlah yang harus dibayar di kasir.

Pulau Beringin, 30 Juni 2017

Selasa, 30 Mei 2017

Berdosakah Ia yang Berjilbab?

Reaksi seperti apa yang kita sampaikan ketika seorang muslimah melepaskan jilbabnya saat bekerja, lalu menggunakannya kembali selepas bekerja? Sebagian dari kita mungkin akan memandang sinis, jilbab kok main-mainan? Sebagian lagi akan dengan mudahnya melontarkan ucapan untuk resign saja dari pekerjaan tersebut lalu bekerja di tempat yang mengizinkan berjilbab. Sebagian yang lain akan menambahi dengan ancaman neraka, ketidakridaan Allah, dan semacamnya. Namun, berapa banyak dari kita yang mencoba memandang sisi baiknya?

Beberapa waktu silam saya terkesan dengan sebuah unggahan Instagram dari akun milik pesohor senior negeri ini, "Tante Dewi" sapaan akrab saya saat bertemu sapa dengan pelantun Kau Bukan Dirimu itu. Dalam unggahan itu, tante Dewi berpose bersama seorang perempuan yang dalam keterangan gambarnya adalah petugas valet parking. Penggiat komunitas difabel ini memuji keuletan perempuan itu yang rela melepas jilbab, lalu mengenakannya lagi seusai giliran bekerja, seraya melontarkan harapan agar ia mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Sejuk, adem!

Bahwa menutup aurat bagi perempuan (dan laki-laki) muslim itu wajib, benar. Tetapi Islam juga mengajarkan untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Bukankah setidaknya perempuan yang berpose bersama tante Dewi itu sudah tergerak mengenakan jilbab?

Terkait tempatnya bekerja yang zalim melarang penggunaan jilbab, itu beda perkara. Kita tidak bisa serta-merta menyarankan orang lain berhenti bekerja untuk mencari pekerjaan di tempat lain, karena kita tidak pernah benar-benar tahu dapur rumah orang lain. Apakah kita sanggup menanggung biaya hidupnya dan orang-orang yang selama ini ia topang saat ia terlunta-lunta belum mendapatkan pekerjaan lain sementara pekerjaan yang sekarang sudah dilepas? Kalau kita baru bisa nyinyir atas lepas pasang jilbabnya, baiklah kita diam dan doakan saja. Sambil terus 'merangkul' dan menunjukkan bahwa ia memiliki saudara-saudara seiman yang sangat ingin kebaikan pada dirinya.

Bintaro, 30 Mei 2017

Minggu, 28 Mei 2017

Menjadi Imam di Pusat Perbelanjaan

Salat di musala pada pusat perbelanjaan tentu berbeda kondisinya dengan di masjid yang memang luas dan memiliki dewan kemakmuran sendiri. Area yang sempit, fasilitas wudu seadanya, terkadang juga pengap dan panas karena posisinya di tempat parkir. Suasana yang kurang mendukung ini seringkali ditambah jamaah yang berlama-lama wudu serta imam salat yang tidak mumpuni. Seyogianya para pemuda mengambil kesempatan ini untuk menjadi bagian yang mempermudah urusan orang lain.

Saat berwudu pada kondisi sempit demikian, segerakanlah dengan hanya membasuh satu kali pada masing-masing bagian wudu. Tidak perlu berlama-lama melaksanakan bagian sunnah seolah-olah berada di fasilitas wudu yang lapang. Apalagi di waktu salat Magrib yang sangat singkat, mengurangi sekian detik waktu wudu kita berarti memberikan kesempatan lebih kepada orang lain.

Perkara wudu selesai, pelaksanaan salat pun sering memperburuk keadaan. Karena ewuh pekewuh, para pemuda yang sebenarnya lancar membaca Alquran umumnya mempersilakan bapak-bapak yang terlihat lebih tua untuk mengimami. Padahal, para pemuda yang bacaannya lancar dan suaranya lantang justru diperlukan demi kelancaran ibadah di tempat sesak demikian.

Jangan menunggu lama-lama saling mempersilakan, segera ambil posisi dan isyaratkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Rakaat pertama, bacalah ayat yang agak panjang. Misalnya An-Naba atau An-Nazi’at ayat 1 hingga 18. Mengapa agak panjang? Karena perlu memberikan kesempatan jamaah lain untuk mengikuti salat sejak rakaat pertama sehingga meminimalkan makmum yang masbuk. Pada akhirnya nanti setelah salat selesai, barisan belakang tidak terlalu banyak yang melanjutkan salat untuk melengkapi rakaat, sehingga tidak banyak halangan dari jamaah barisan depan untuk keluar agar musala bisa digunakan rombongan jamaah berikutnya. Sementara itu untuk rakaat kedua dan seterusnya, sesuaikan saja agar tidak terlalu lama namun juga tidak tergesa-gesa.

Selain panjangnya bacaan, lantangnya suara juga perlu diperhatikan. Pastikan suara imam mampu menjangkau semua barisan salat. Karena biasanya tidak menggunakan pengeras suara, maka imam yang masih muda lebih pantas karena pada umumnya bisa lebih lantang suaranya. Terutama pada isyarat-isyarat takbir di antara gerakan-gerakan salat agar tidak ada makmum yang tertinggal.

Seusai salat, maka sebaiknya bergegaslah meninggalkan musala agar dapat dimanfaatkan rombongan jamaah berikutnya. Zikirnya di luar saja. Salat rawatib dilewatkan dahulu, jangan oportunis dengan menunaikan salat rawatib sedangkan musala dibutuhkan rombongan jamah berikutnya.

Pemuda itu harus responsif, mampu melihat dan menindaklanjuti keadaan dengan cepat dan cermat. Benar bahwa amalan sunnah itu dianjurkan, tetapi memberikan kesempatan saudara-saudara kita ikut beribadah juga adalah hal mulia. Kalau mau rawatib, zikir dan doa yang panjang, nanti saja ketika salat di masjid nan lapang. Ini bukan fikih, hanya buah pemikiran atas pengamatan terhadap fenomena. Wallahu a’lam bisshawab….

Bintaro, 28 Mei 2017.

Jumat, 31 Maret 2017

Diam

Kutanyakan kabarmu melalui dedaunan jati yang gugur ke rumput bumi. Kutitipkan salam rinduku padamu melalui gerbong-gerbong yang terbang ke negeri imaji. Kukabarkan kegembiraanku melalui riangnya merpati. Kusampaikan kedukaanku melalui bis malam yang menuju kerajaan dongeng.

Bukan tanpa perih lisan ini kubungkam. Bukan tanpa ngilu lema ini kuredam. Aku sama, seperti jutaan insan di luar sana. Hanya saja, aku tak mau kau terluka dengan janji-janji yang kurenda.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 31 Maret 2017

#puisi #poem #sajak #poetry #IndonesiaBerpuisi #DukaSedalamCinta #kata #lema #berpuisi #bersajak

Senin, 13 Maret 2017

Kekuatan Super Hero

Di sebuah seminar motivasi yang pernah saya ikuti, pembicaranya mengajukan pertanyaan kepada hadirin. “Jika kalian diberikan kesempatan untuk memilih dan memiliki satu kekuatan super hero, kekuatan seperti apa yang ingin kalian miliki?” Demikian disampaikan lelaki tiga puluhan berpostur sedang itu. Sayangnya, saya tidak mendapatkan kesempatan. Padahal ingin sekali rasanya maju dan menyampaikan kekuatan super hero yang saya pilih beserta alasannya. Bukan karena iming-iming doorprize, tapi ingin memaparkan alasan saya itu.

Well, kekuatan super hero yang saya pilih adalah milik Spiderman, yaitu kemampuan mengeluarkan jaring laba-laba super dari pergelangan tangan. Bahkan saat dulu pertama kali menyimak aksi heroik tokoh rekaan itu, saya sudah berlatih mengikuti gerakan jemari Peter Parker untuk mengeluarkan jaring-jaringnya. Apakah saya ingin bergelantungan di antara gedung-gedung pencakar langit agar segera tiba di tujuan tanpa kendaraan? Oh, tidak. Saya hanya ingin memiliki kekuatan itu untuk tujuan tertentu, pastinya bukan untuk bergelantungan seperti Spiderman.

Meskipun masa kecil dihabiskan di desa, saya dulu seorang anak yang gemar membaca. Sejak sebelum bersekolah dasar, berbagai majalah dan buku sudah saya lahap penuh semangat. Dari berbagai bacaan itu, saya mengerti betul konsep membuang sampah pada tempatnya. Bahwa sampah yang dibuang sesuai tempatnya saja masih berpotensi menyebar dan menimbulkan berbagai gangguan bahkan menjadi pemicu banjir, apatah lagi yang dibuang seenaknya di manapun kita suka. Dengan begitu, menjadi hal lumrah saat ransel sekolah dihuni sampah yang saya kumpulkan sebelum menemui tempat sampah yang seharusnya.

Gambar: devianart.net
Ada perasaan jengkel ketika di sekitar ada orang yang dengan entengnya membuang sampah ke sembarang tempat. Ketika di mobil, mereka cukup membuka jendela dan melemparkan sampah ke luar. Ketika bersepeda motor, dengan ringannya sampah itu dijatuhkan di mana saja. Ketika berjalan kaki, jejaknya bukan tapak alas kaki melainkan sampah berhamburan. Apakah tidak risih menjadi salah satu penyebab lingkungan kotor? Apakah tidak memikirkan kemungkinan sampah itu membahayakan orang lain, misalnya kulit pisang dan plastik berminyak yang jika terinjak bisa membuat orang terpeleset dan celaka? Terlebih jika termasuk orang berpendidikan dengan tingkat cukup tinggi, apakah tidak pernah mendapatkan pembelajaran tentang konsep menjaga lingkungan hidup?

Ingin sekali rasanya memiliki kemampuan mengeluarkan jaring-jaring layaknya Spiderman. Setiap kali berjumpa orang yang seenaknya membuang sampah tidak di tempat yang seharusnya, dengan sigap saya akan mengeluarkan jaring-jaring super dari pergelangan tangan. Sampah itu akan saya tangkap, lalu kembalikan ke orang yang membuangnya. Bila perlu, lemparkan sampah itu ke wajah orang yang sembarangan membuangnya. Sederhana saja, agar mereka sadar bahwa perbuatan membuang sampah sembarangan itu adalah kesalahan. Kesalahan yang mungkin dianggap remeh itu menjadi kesalahan besar ketika menjadi kebiasaan.

Lalu bagaimana jika orang itu marah karena sampahnya saya kembalikan bahkan lemparkan ke wajahnya? Ah, kau ini. Saya kan sudah punya jaring-jaring super. Boleh dong sesekali bergelantungan ala Spiderman? Biar nampak keren sikit lah….

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 13 Maret 2017

Minggu, 12 Maret 2017

Galih dan Ratna, Ide Menarik dengan Eksekusi Krik-Krik

Dari masa ke masa, kisah cinta dua anak manusia selalu menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita dengan berbagai sudut pandang. Kehadiran film Galih dan Ratna di perempat awal tahun ini menambah panjang daftar kisah kasih dengan perbedaan latar belakang yang dramatis. Galih dibesarkan oleh ibunya yang janda dalam kebersahajaan, Ratna tumbuh berkecukupan materi namun kehilangan sosok ibu sejak kecil. Keduanya bertemu dan bercengkrama dalam narasi yang (seharusnya) indah.


Gambar: 21cineplex.com
Sinopsis (diambil dari 21cineplex.com):
Cinta pertama. Atau cinta monyet. Atau apalah itu. Semua pasti pernah merasakannya, terutama di masa-masa remaja yang indah. Tetapi ini tidak pernah dirasakan oleh GALIH (Refal Hady), seorang siswa SMA teladan tetapi introvert yang hidup dalam bayang-bayang almarhum ayahnya dan tuntutan ibunya yang harus struggle sebagai single-mother.
RATNA (Sheryl Sheinafia), seorang siswi yang baru saja pindah ke SMA tempat Galih bersekolah. Pintar dan berbakat namun ia sendiri tidak tahu passion hidupnya apa. Ia hidup tanpa tujuan, selalu mengejar hal-hal yang sangat instan. Layaknya anak millenials saat ini.
Di suatu sore, di lapangan belakang sekolah, Galih dan Ratna pun bertemu. Sebuah pertemuan yang sederhana. Ratna tertarik dengan walkman yang sedang didengarkan oleh Galih. Galih membiarkan Ratna mendengarkan kaset mixtape pemberian Ayahnya.
Inikah yang disebut dengan cinta pertama? Yang manis, menggebu-gebu, dan juga pahit? Yang berawal dari sebuah momen sederhana di lapangan belakang sekolah? Pada akhirnya, cinta pertama inilah yang membawa Galih dan Ratna ke tahap baru dalam kehidupan mereka. Sebuah tahap pendewasaan dimana tanggung-jawab, tuntutan, dan passion saling berperang dan akhirnya berdamai. Dan cinta pertama inilah yang akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mereka lupakan.

Dengan durasi hampir dua jam, seharusnya ada banyak sisi drama yang bisa digali untuk membuat penonton mengharu biru. Sayangnya, separuh awal film ini terasa begitu lamban dan membosankan, diwarnai berbagai adegan yang seharusnya tidak perlu namun dipaksakan ada dalam film. Misalnya Galih yang berjalan masuk ke rumah tante Ratna tempat kekasihnya itu tinggal, adegan ini hanya menambah durasi tanpa menambah kedalaman cerita.  Konflik berupa kegundahan Ratna dan dilema dalam hati Galih pun tidak begitu terlihat di separuh awal film. Padahal sebetulnya mereka menghadapi permasalahan cukup berat sebagai remaja. Kalau dinilai sebagai kelemahan pemeran, saya kurang setuju. Karena di separuh terakhir film menjadi semakin cukup menarik dengan akting Refal Hady dan Sheryl Sheinafia yang tidak bisa dianggap remeh. Skenario dan penyutradaran lah yang cukup bisa ‘dipersalahkan’ atas kebosanan cerita ini.

Satu hal yang mengganjal dalam film ini adalah pemilihan para pemeran. Tokoh Galih, Ratna, dan teman-temannya yang merupakan siswa SMA masa kini tampaknya kurang cocok diperankan oleh aktor/aktris yang terlihat lebih cocok sebagai mahasiswa tingkat akhir universitas. Sudahlah seperti itu, tampak tidak ada upaya make over supaya mereka terlihat lebih meremaja. Melihat posternya pun, pada mulanya saya mengira ini adalah film dengan karakter seperti AADC 2 yang sudah sama-sama dewasa dan dalam usia aktif bekerja.

Harus diakui, ide film yang disutradarai Lucky Kuswandi ini menarik. Mengangkat keunggulan kaset pita dibandingkan media pemutar musik digital saat ini adalah sesuatu yang unik. Kegigihan Galih untuk membangkitkan toko Nada Musik, konsekuensi terhadap studinya, dan dukungan demi dukungan yang diberikan Ratna secara terang-terangan maupun diam-diam, adalah poin penting dalam pengisahan film ini. Sayangnya, di beberapa bagian poin penting ini justru disajikan dengan kurang greget. Seperti saya katakan sebelumnya, film ini seharusnya menarik, eksekusinya yang membuat krik-krik.

Tengoklah penataan musiknya yang di banyak bagian sangat mengganggu. Bukankah musik seharusnya mendukung suasana adegan? Namun tidak demikian di Galih dan Ratna, sebagian besar musik hanya menjadi penghias supaya suaranya tidak terlalu kosong. Lihatlah juga kualitas gambarnya, tone warna di awal film cenderung keruh dan tidak menarik.

Di balik eksekusi dengan kualitas yang pas-pasan itu, saya merasa secara keseluruhan film ini (seharusnya) cukup pantas ditonton sebagai wujud dukungan terhadap karya anak bangsa. Namun saya kaget dengan pesan homoseksual yang jelas terlihat di film ini. Tersebutlah dua orang teman sekelas Galih dan Ratna, dua-duanya perempuan yang terlihat ke mana-mana berdua. Apa yang terjadi di antara mereka? Ternyata keduanya saling menyukai sebagai pasangan sesama jenis, dan orang-orang di sekitarnya (bahkan guru mereka) seolah menganggap perilaku mereka adalah hal yang wajar. Miris sekali, apalagi mengingat film ini diberi rating sebagai film remaja (R13+), pesan homoseksual ini menjadi poin yang mengerikan bagi saya jika harus merekomendasikan Galih dan Ratna sebagai tontonan yang baik. Akan halnya dengan ending yang mungkin menggemaskan penonton, saya rasa itu adalah hak pembuat film untuk menyajikan ending sesuai pilihan mereka.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 12 Maret 2017

Aku Mohon Maaf

Aku mohon maaf, memoar itu tak pernah kucampakkan. Meskipun pernah kau bilang lenyapkan saja, bakar lalu buang abunya.

Aku mohon maaf, pintaku itu tak pernah kupupus. Walaupun pernah kau katakan bumihanguskan saja, jangan ada sisa.

Kau pikir apa diamku? Melenyapkan rasa yang telah kau titip sejak kita bertemu di dhuha itu? Sama sekali bukan. Karena di balik diam, ada mahadendam yang mati-matian aku redam.

Kau pikir apa heningku? Melupakan lema yang pernah kau hujamkan ke nadir paling jantung? Sungguh bukan itu. Di balik hening, ada rindu mahahebat yang mengutuk dalam tiap desau yang memenuhi alveoli.

Aku mohon maaf, surat yang dulu kau pinta robek dan buang, masih kusimpan rapi di lemari hati.

Wajah datang, wajah pergi, bersilih. Satu pun tak pernah wajahmu terganti.

Kamu memang pencuri paling mahir yang tak pernah kusesali. Karena yang kau curi, entah sengaja atau tidak, namanya kalbu.

Asal kau tahu saja... kalbu itu bertemali dengan jiwa, bersimpul dengan sukma, berikatan dengan cita.

Aku mohon maaf, dulu kupahat namamu dalam mahadendam yang membiru. Alangkah nestapa jika pahatan itu harus kubuang.

Aku mohon maaf...
Mungkin bahkan abad pun kelak berganti, namamu tetap di sini, di dalam dada ini.

Kamu memang perampok paling ulung yang tak pernah kutangisi. Karena yang kau rampok, entah sadar atau tidak, namanya harapan.

Asal kau tahu saja... harapan itu merekat pada nyawa, menaut pada cakra, melebur pada rasa.

Aku mohon maaf, telah kusuntikkan lakumu dalam setiap tetes darah yang mengalir ke segenap arteriola.

Bintaro, 12 Maret 2017

Selasa, 07 Maret 2017

Merindukan Surga, Mencinta Dengan Dewasa

Satu lagi novel karya Asma Nadia diadaptasi ke dalam film layar lebar. Setelah sukses dengan Surga Yang Tak Dirindukan pada tahun 2015, MD Pictures menghadirkan sekuelnya dengan tajuk Surga Yang Tak Dirindukan 2 sebagaimana judul novelnya. Berbeda dengan film pertama yang disutradarai Kuntz Agus, kali ini Manoj Punjabi sebagai produser memilih Hanung Bramantyo yang sudah malang melintang dalam produksi berbagai film berkualitas. Para pemainnya tetap dihiasi bintang-bintang ternama Fedi Nuril, Raline Shah, dan Laudya Cynthia Bella. Lebih menariknya lagi, Reza Rahadian turut mewarnai peran dalam SYTD2 ini.


Gambar: 21cineplex.com
Sinopsis (sumber: 21cineplex.com):

Pertemuan dengan Arini membuat Meirose menjadi ragu dengan pilihan hidupnya selama ini. Arini begitu tulus menyayangi dirinya dan Akbar, dan berharap agar Meirose kembali pada Pras. Mereka sudah menjadi keluarga. Apalagi ketika sosok Pras muncul dihadapannya, Meirose tidak bisa mengingkari bahwa cintanya pada laki-laki bijak itu masih ada dalam hatinya. Bahkan Arini didukung Nadia, berusaha keras menarik Meirose kembali.

Meirose bingung, maju dengan kehidupannya yang baru, yang dia sendiri tidak tahu akan jadi seperti apa, ataukah mundur pada kehidupannya yang lama, yang ingin dia tinggalkan selama ini, tapi menjanjikan hal yang lebih pasti bagi masa depannya?

Ada apa di balik motivasi Arini yang menggebu-gebu meminta Meirose kembali dalam kehidupan rumah tangganya yang sudah harmonis selama ini?

Apa yang akan dilakukan Pras, akankah dia kembali menerima Meirose? Sementara, dia meragukan kemampuannya untuk bersikap adil sebagaimana yang diwajibkan Allah pada laki-laki yang memilih berpoligami?

Siapa juga Dokter Syarief (Reza Rahadian) yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah persoalan mereka?

Lalu mengapa surga itu tiba-tiba menjadi dirindukan sekarang?

Seperti biasa, Alim Sudio sangat piawai menerjemahkan novel ke dalam skenario film layar lebar. Meskipun detail-detail cerita cukup banyak berbeda dengan novelnya, garis besar cerita tetap terasa “Asma Nadia banget”. Adaptasi apik ini membuat SYTD2 sebagai produk kreatif yang sangat pantas disaksikan di  bioskop berkali-kali.

Menyimak kisah para tokoh, SYTD2 menyajikan kekuatan cinta dengan konflik yang tidak biasa. Poligami sebagai isu sensitif mampu dihadirkan dalam nuansa yang mengundang gelak tawa lalu dilanjutkan tangis menyesakkan dada. Menariknya, film dari novel karya muslimah yang beberapa tahun terakhir dinobatkan sebagai 500 World’s Most Influental Muslim ini tidak menonjolkan konflik menggebu-gebu cinta segitiga sebagaimana kebanyakan kisah romansa yang melibatkan lebih dari dua insan. Sebaliknya, penonton disuguhi kedewasaan sikap para tokoh dalam menghadapi persoalan yang menyelimuti mereka. Kita bisa melihat bagaimana Arini demikian mampu mengendalikan egonya kepada Meirose yang notabene juga merupakan istri Pras, pun Meirose yang justru sangat mengasihi Arini alih-alih menyulut permusuhan di antara mereka.

Konflik mengancam karena, selain mereka bertiga, hadir pula sosok dokter Syarief yang ternyata selama beberapa waktu terakhir ikut menghiasi relung hati Meirose yang sudah cukup lama menghindar dari Arini dan Pras karena tidak tega menjadi pemecah kemesraan pasangan penuh kasih itu. Meirose berniat menggugat cerai Pras agar rumah tangganya bersama Arini utuh seperti sedia kala, demikian pula Pras berniat menjatuhkan talak demi menyaksikan kehidupan Meirose yang sudah jauh lebih layak dan agar Meirose bisa melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi di sisi lain, Arini bersikeras agar Pras tidak menceraikan Meirose atas sebuah alasan yang selama ini ia sembunyikan.

Kehadiran Nadia dan Akbar, buah hati mereka, turut membuat cerita film yang berhasil menggaet 205.000 penonton dalam dua hari pertama penayangannya ini semakin mengundang rasa penasaran untuk disimak adegan demi adegan. Nadia yang dibesarkan penuh kasih dan teladan tumbuh menjadi gadis cilik yang bersikap dewasa. Akbar pun dibesarkan Meirose tanpa melupakan hubungannya dengan Nadia sebagai kakaknya meskipun tidak ada pertalian darah bahkan sebagai saudara tiri, karena Akbar pun bukan anak Meirose bersama Pras. Mengetahui keinginan terbesar Arini, Nadia berusaha keras untuk turut mewujudkan harapan bunda terkasih. Di sisi lain, kedekatan Akbar dengan Syarief membuat Arini gamang dengan keinginannya menyatukan kembali Pras dan Meirose. Tak lupa pula kehadiran tokoh-tokoh pendukung semisal Panji, Sheila, Amran, Hartono, dan Lia, yang membuat film ini semakin berwarna. Keputusan mengajak serta Nora Danish, aktris kenamaan Malaysia, untuk turut berperan sebagai manajer Arini adalah pilihan cerdas untuk menambah kekayaan film yang juga ditayangkan di Malaysia dan Brunei ini.

Arini, Pras, Meirose, dan Syarief menuturkan kedewasaan dalam mencinta. Bukan tanpa cemburu saat Syarief mengetahui bahwa Pras adalah suami Meirose, bahkan harus menghadapi kisah yang tiba-tiba berubah drastis dalam hidupnya. Pun bukan tanpa kesedihan, Arini menghadapi kenyataan bahwa ada perempuan lain dalam dongeng hidupnya bersama suami tercinta. Pras, lelaki penuh tanggung jawab dan memiliki jiwa penolong yang teramat besar itu juga dihadapkan pada tuntutan kewajiban yang teramat sulit. Demikian juga Meirose yang harus menyelaraskan hasrat hatinya dengan keadaan orang-orang yang sudah menjadi perantara Allah atas hidayah dalam hidupnya, orang-orang yang sudah sangat ia kasihi.

Karya anak bangsa yang digarap penuh keseriusan dan sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 9 Februari 2017 ini teramat sayang jika dilewatkan. Sinematografi yang memukau, pesan-pesan yang mengisi jiwa, dan narasi yang memesona, sangat patut disaksikan oleh sebanyak mungkin orang yang peduli dengan hiburan bernilai positif. SYTD2 diakhiri dengan penyelesaian yang menyedihkan sekaligus membahagiakan. Film apik ini berkisah tentang kejujuran dalam mencinta. Dengan kejujuran itu, hadir kedewasaan. Kecemburuan bukan alasan mengabaikan kebaikan-kebaikan yang sudah ada. Dengan mengutamakan keikhlasan dalam berkorban, maka demikianlah cinta menunjukkan kesetiaannya.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 7 Maret 2017

Kamis, 12 Januari 2017

Balada Sayu

Ada gemericik teramat gagu
pada senja-senja yang kudaki
Sejak kugadaikan tembok angkuh
dan kutukar dengan desau tanpa warna

Ada semilir teramat hampa
pada malam-malam yang kuselami
Sejak kuniagakan menara ego
dan kutukar dengan mimpi tanpa cahaya

Pada rinai yang parau
Pada deras yang risau
Pada badai yang sengau
Aku bercengkrama, menerka-nerka
akhir semua balada sayu

Apa kata yang lebih tajam daripada rindu? Apa diftong yang lebih menyayat daripada kau? Apa duka yang lebih dalam daripada kita?

Sedangkan detik, lambat nian ia sampai

Dio Agung Purwanto
12 Januari 2016

Penghujung Januari Empat Tahun Lalu

Kukirimkan tanda tanya
Kau balas tanda seru
Lalu titik-titik panjang
Kemudian datanglah koma
Spasi yang sangat luas
kosong, bisu, dan tanpa ujung
Lalu tiba-tiba kalimat hadir
Kembali titik-titik panjang

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 12 Januari 2017

Minggu, 08 Januari 2017

Tadi Malam

Katamu bensin naik itu kejam, tadi malam
Katamu listrik naik itu sadis, tadi malam
Katamu uang ada kita tinggal kerja, tadi malam

Aku bangun pagi ini
penuh gempita berseri-seri
Kusampirkan harapan di depan
toko tua kami
Secerah pagi ini, toko pasti ramai sekali
Seceria tadi malam, bintang kerlip sekali

Dua tiga kereta lalu
Tanpa kuda, tanpa mesin
Hanya ada muatan bisu
Jerami kapitalis yang sebagiannya abu

Dua tiga gerobak lalu
Tanpa roda, tanpa gagang kayu
Hanya ada muatan tuli
Sampah busuk intrik politik

Aku gagu di depan tokoku
Ke mana hati?
Biasanya dia lewat berjualan roti
Ke mana malu?
Biasanya dia lalang berniaga susu

Ah, jangan bilang...

Bergegas kususul kereta dan gerobak
Terseok-seok kupanggul harapan
Hingga terkejar
Akupun hanya bisa gagu

Ya, muatan tuli dan bisu
adalah roti dan susu
yang ada dalam mimpiku
tadi malam

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 5 Januari 2017