Selasa, 04 Oktober 2011

Sadd Itu Kau yang Menciptakannya Sendiri

Rupanya, lentik jemarimu telah kau bawa kepada kenistaan.
Kau rapalkan mantra sahdah bak firman Tuhan, padahal itu tipuan.
Sekilas kau memang suci, sekelebat kau memang anggun.
Tapi bualan tak ‘kan selamanya menipu, bahwa sungguh kau t’lah durjana!

Sadd itu, kau yang menciptakannya sendiri.
Bukan ibu bapakmu yang punya tanggung jawab, bukan pula isteri-isterimu.
Apatah lagi manusia-manusia kecil yang tumbuh berkembang dari air hinamu.

Sadd itu, kau yang menciptakannya sendiri.
Dengan kepiawaian berlema, dengan kesahduan berpujangga,
kau tawarkan fatamorgana yang ternyata duri berbisa.
Sementara sahmura yang kau iming-imingkan, lagi-lagi tipu belaka.

Sadd itu, kau yang menciptakannya sendiri.
Janji-janji dalam bualan demi menangguk suara pilihan.
Beras, minyak, mi instan, t’lah kau ramu semacam saguer
yang memabukkan konstituen hingga pantatmu naik ke kursi itu.
Dan setelah itu, kau tumbalkan manusia yang memakan
beras, minyak, mi instan, yang telah kau hidangkan di atas safrah.

Sadd itu, kau yang menciptakannya sendiri.
Tak usah heran, bencana merayu mimpi.
Mereguk kesejahteraan, menelan kemakmuran.
Karena kau telah memancing murka Tuhan!!!
Maka nikmatilah sadd itu, sebagai ganjaran bagimu.
Sadd yang menghalangi hidup dan matimu dari keberkahan Tuhan.
Saat nanti maut menjemput, kami yakin sadd itu akan menimpamu.

Jurangmangu, 4 Oktober 2011
Makian untuk para politisi busuk yang hanya bisa membual.

Semburat Rantauan

Bukanlah janji akan harta berlimpah, ini adalah semangat berubah.
Harap tiada 'kan sirna, atas segala rengkuh yang tak jarang terkoyak luka.
T'lah kutautkan asa, t'lah kubentangkan sayap muda, t’lah kutapakkan ringkihnya kaki untuk berjalan mengarung dunia.
Serabut kerja bapak, satu semangat tak tertara. Lembut usap tangan ibu, renda terindah seluruh dunia.
Tak perlu berbanyak lema, sudah nyatalah bukti kasih.

Merapal segala gundah, meredam semua gelisah. Karena kutahu ada sinar di depan sana.
Duka? Tak mengapa. Takut? Bukanlah jiwa seorang ksatria.
Tika telah diputuskan, ini bukan lagi sekadar persoalan angan.
Tak peduli bungsu, tak peduli tunggal. Rantauan memberikan label sebagai lelaki.
Ya, lelaki. Takut merantau? Siaplah dikebiri!!

Labuhkanlah hati, tapi tetap jaga diri!
Tak berhati-hati? Siapkanlah diri makan hati.
Tapi risiko bukan untuk dihindari, ini tentang pundak lelaki.
Tak mau mengambilnya, sudahlah pulang saja! Sekali lagi, siaplah dikebiri!
Kata insan berilmu, tinggi risiko tinggi martabat. Sebab risiko berikan timbal balik.

Bukan, bukan risiko tak beradab yang bisa kau ambil!
Serantau-rantaunya tubuhmu, bukan Tuhan namanya jika meluputkanmu.
Karena bukan tanah sendiri, baiklah ia mengingatkan diri.
Sujudmu di rantauan, sama perlunya dengan ruku'-mu di tanah handai taulan.
Bahkan dengan semua hal di rantauan, seyogyanya dewasamu lebih cepat matang.

Maka di tanah orang, singkapkanlah lengan bajumu.
Maka di rantau orang, bentangkanlah kain tipismu.
Maka di rantau orang, lebarkanlah senyummu.
Maka di adat orang, tunaikanlah hak tetanggamu.
Maka di adat orang, berikanlah kebermanfaatanmu.
Karena jika tak mau, sekali lagi, bersiaplah kau dikebiri!!

Terluncur di Jurangmangu, pengawal hari di 4 Oktober 2011.