Senin, 22 Agustus 2011

Untuk Para Aktivis Kampus


“Gua maunya jadi panitia yang dapet jaket ama kaos, tapi kerjanya nggak capek-capek amat,” demikian kira-kira seorang teman berujar ketika saya menawarinya untuk ikut mendaftar menjadi panitia sebuah acara beberapa waktu lalu. Pernyataan yang meluncur dengan ringannya dalam suasana yang santai ini agaknya memang perlu kita perhatikan. Terutama bagi orang-orang yang mengaku dirinya ‘aktivis kampus’ (karena seperti itulah orang lain menyebutnya) lantaran berbagai kepanitiaan dan organisasi yang kerap diikutinya di kampus dan sekitarnya.

Sepintas, kita mungkin menganggap teman yang satu ini belum memahami seluk-beluk dunia kepanitiaan dan organisasi. Bahkan mungkin sebagian dari kita langsung memberikan cap ‘apatis’ kepada dirinya. Atau jika sang aktivis kampus juga merupakan seorang ekstrimis, bukan tidak mungkin teman yang satu ini langsung diberondong dengan sejumlah pernyataan yang menyudutkan tentang selorohannya. Ujung-ujungnya, perselisihan tidak dapat dihindari.

Sobat, mari kita review lagi perjalanan ‘keaktivisan’ kita. Seperti apa sosok kita dalam segudang aktivitas yang berkejaran dengan ruang dan waktu? Apakah kita benar-benar sibuk, atau hanya merasa sibuk? Seperti apa wajah kita ketika menyambut teman-teman kita di saat pekerjaan menumpuk masih membebani kita?

Kita, orang-orang yang mengaku sebagai aktivis, bahkan terkadang jenuh dengan formasi kepanitiaan yang tidak jauh dari orang-orang yang itu-itu juga. Kampus kita diisi oleh banyak sekali manusia yang diberi akal, jiwa, dan jasad, sama seperti kita. Akan tetapi, hanya sejumlah kecil orang-orang yang mau merelakan dirinya menjadi pengelola berbagai event dan organisasi kampus. Apa yang terjadi sebenarnya? Benarkah teman-teman kita itu yang apatis, atau justru kita yang mendorong mereka bersikap demikian?

Sungguh, saya sendiri bosan dengan kata ‘apatis’ yang sudah terlampau sering diangkat menjadi pembicaraan teman-teman para aktivis kampus. Tapi apa dinyana, kita tidak mungkin membiarkan gejala ini begitu saja karena kita (langsung atau tidak langsung) sudah menyatakan diri memiliki social responsibility yang tentu harus diaplikasikan di mana pun berada. Kitalah yang harus mengusir virus-virus apatisme itu.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mari kita mulai dari hal yang kecil. Coba ingat kembali rona wajah kita ketika bertemu teman-teman kita di saat sejumlah tugas kepanitiaan dan organisasi bertumpuk di ruang pikiran kita. Berapa banyak senyum mereka yang kita abaikan? Seberapa sering kita meninggalkan mereka begitu saja saat obrolan ringan baru saja akan bermula? Berapa wajah yang kita acuhkan ketika dengan sengaja mengarah kepada kita berharap say hello meluncur dari mulut kita? Pantas saja mereka beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut mengekang kebebasan hidup kita. Wajar jika banyak teman kita yang paranoid dengan kepanitiaan dan organisasi. Kita sering terlihat seperti disiksa oleh setumpuk tugas, lesu lantaran berjibaku dalam sejumlah rapat, dan kerap menampakkan sikap seolah berkata, “Jangan ganggu aku, aku sedang sibuk!”

Rona wajah kita mungkin agak cerah ketika mendapatkan reward kepanitiaan berupa kaos, jaket, topi, pin, atau ketika mendapatkan nametag kepanitiaan yang membuat berbangga hati. Maka jangan heran, itulah yang ditangkap oleh pikiran teman-teman kita. Keikhlasan seolah sudah tiada artinya lagi. Aktivitas-aktivitas itu lebih tampak hanya sebuah upaya memperpanjang curriculum vitae. Sedangkan kuliah tidak jarang dikorbankan, langsung atau tidak langsung.

Alhasil, muncullah anggapan itu. Anggapan yang ujung-ujungnya membuat gerah telinga kita juga. Masa iya ikut kepanitiaan cuma menginginkan reward? Sepintas mereka yang beranggapan seperti itu sering kita anggap “tidak tahu diri”. Tapi sebenarnya bisa jadi kitalah, para aktivis, yang tidak tahu diri. Sudah diberikan anugerah berupa semangat berkontribusi, tetapi tidak dikelola dengan baik. Malah sebaliknya, kontribusi kita malah menghambat orang lain yang sebenarnya memiliki keinginan juga untuk menyumbangkan tenaga, pikiran, dan waktunya. Jika pun mereka surut ke belakang, boleh jadi karena mereka melihat para aktivis yang kuliahnya terganggu, sering tidur di kelas, raut muka yang senantiasa kelelahan, senyum yang susah mengembang, kening yang sering berkerut tegang, bahkan rambut yang cepat beruban.

Masya Allah. Apakah ini bisa menjadi dosa? Semoga saja tidak. Semoga sisa umur ini bisa kita gunakan memperbaiki image seorang aktivis. Bahwa aktivis itu menjalani aktivitasnya penuh sukacita, keikhlasan, dan kesadaran berkontribusi. Lalu marilah kita berdoa agar semua yang telah kita kontribusikan berdampak positif dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amiiin....

Ditulis pada 22 Agustus 2010, diselesaikan pada 26 Mei 2011.
Gambar: http://inwdahsyat.wordpress.com/2010/01/20/sebagian-wajah-baru-kampus-stan/