Rabu, 24 November 2010

Lucunya Para Pencipta Lagu

Hidup kita saat ini tidak bisa terlepas dari pengaruh musik yang terealisasi dalam berbagai bentuk dan warna lagu. Beribu judul lagu mungkin sudah pernah kita dengarkan. Dan disadari ataupun tidak, sudah banyak sekali lirik lagu yang kita hafal. Akan tetapi, pernahkah kita mencermati isi lagu-lagu tersebut dengan seksama? Apakah lirik-lirik pada lagu-lagu tersebut sudah logis? Mari kita cermati beberapa contoh berikut ini.

“Sudah berulang kali aku bermain cinta. Jadi baru abang yang Adik cinta.” Sebagian besar dari kita mungkin pernah atau bahkan sering mendengar lagu dangdut yang satu ini. Tepat sekali! Judulnya adalah ‘Gadis atau Janda’. Dari dua bait itu, jelas sekali bahwa liriknya dibuat asal sesuai rimanya. Sudah jelas-jelas si perempuan mengatakan bahwa dia sudah berulang kali bermain cinta. Si laki-lakinya malah ke-ge-er-an beranggapan bahwa dialah yang pertama dicintainya.

Ada lagi lagu yang agak sendu. ”Ribuan hari aku menunggumu. Jutaan lagu tercipta untukmu.” Pencipta lagu ini mungkin saja tidak pernah belajar matematika. Coba kita misalkan ribuan hari itu cukup seribu hari, lalu jutaan lagu itu sebagai satu juta. Lalu jika dalam seribu hari ia bisa menciptakan sejuta lagu, apakah benar dalam sehari ia bisa menciptakan seribu lagu? Impossible!

Kembali ke dangdut, mungkin para remaja di tahun 90-an sering mendengarkan lagu ini. ”Ada angin timur, kau pergi ke timur. Ada angin barat, kau pun ikut ke barat.” Secara keseluruhan lagu Cinta Karet ini menceritakan orang yang tidak teguh pendirian sehingga diibaratkan mengikuti angin ke mana saja ia berhembus. Kita semua tahu bahwa angin timur adalah angin yang berhembus dari timur menuju ke barat. Jika demikian, dalam lirik lagu tersebut, orang yang diceritakan justeru menentang arah angin, bukan?

Aduh, kalo diperhatikan, masih banyak contoh yang lainnya. Coba deh kita perhatikan. Seringkali kita tidak peduli dengan syair lagu, yang penting nyanyi aja. Bahkan banyak syair lagu yang mengundang syahwat dan mengandung unsur kemusyrikan. Tidakkah hati kita terketuk? Masihkah kita hanya bernyanyi tanpa menelaah syairnya?

Diselesaikan di Jurangmangu, 24 Nopember 2010

Jumat, 19 November 2010

Otoritas Ambigu

Politik bukanlah hal yang baru, bukan pula hal yang tabu. Dalam berbagai lini kehidupan, secara sadar ataupun tidak, kita semua telah berpolitik. Adanya sebutan “politikus” hanya karena ada perbedaan orang dalam menyikapi dan mengemas politik tersebut. Seorang politikus memanfaatkan berbagai momentum untuk mengeluarkan doktrin-doktrinnya agar pemikiran target politiknya terpengaruh oleh ideologi yang ia bawa.

Berangkat dari politik inilah, saya ingin menyoroti berbagai hal janggal yang ada di depan mata kita. Walaupun bagi sebagian orang hal ini bukanlah sesuatu yang patut disoroti, namun bagi saya misi mencerdaskan masyarakat bisa bermula dari sini. Saat rekan-rekan saya sibuk berkutat dengan permasalahan klasik berupa apatisme mahasiswa, saya ingin sedikit mengulik perilaku orang-orang yang acapkali bersembunyi di balik kata “apatisme” untuk memperoleh otoritas yang sejatinya bukan menjadi haknya.

Sistem Akuntansi telah mengajarkan kita perlunya pemisahan tugas untuk masing-masing fungsi. Secara teoritis, hal ini dengan mutlak menegaskan bahwa penyimpangan-penyimpangan otoritas adalah hal yang sangat dibenci di manapun kita berada. Bahkan adanya kode etik profesi adalah sebuah wujud nyata pembatasan otoritas yang jika tidak dilakukan akan menjadi efek domino bagi kehancuran tatanan sosial. Itulah sebabnya akuntan pemerintah tidak diperkenankan bertindak sebagai akuntan publik, demikian juga dengan adanya pemisahan antara Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Tersebutlah kisah di negeri antah berantah, yang sebenarnya jelas kita mengenali negeri yang dimaksud. Ada sebuah kesatuan yang pada zaman dahulu kala disebut sebagai Senat Mahasiswa. Di manapun di seluruh perguruan tinggi di penjuru negeri, hampir bisa dipastikan eksistensi kesatuan ini. Secara definitif, kesatuan ini dijadikan sebagai payung besar atas semua tindak-tanduk mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan. Pihak perguruan tinggi belum akan mengonfirmasi kegiatan mahasiswa kepada penyelenggaranya sebelum meminta penjelasan dari pemimpin senat ini, apapun bentuknya. Lalu muncullah adat yang mengakar kuat bahwa semua organisasi, unit kegiatan, dan perkumpulan mahasiswa lainnya harus berada dalam jalur komunikasi dengan badan kemahasiswaan yang satu ini. Bukan adat sembarang adat, karena ternyata memang terbukti bahwa otoritas yang diberikan ini mempermudah perguruan tinggi untuk mengoordinasi kegiatan kemahasiswaan. Pun dengan mahasiswa yang secara relatif senantiasa mendapatkan “payung untuk berteduh”.

Perlu kita ingat bahwa keanggotaan badan kemahasiswaan ini biasanya berumur sangat pendek. Setahun adalah waktu yang sangat sempit bagi masing-masing kepemimpinan untuk menunjukkan kontribusi nyatanya bagi seluruh civitas akademika. Lalu formasinya bisa saja berganti, membawa berbagai suasana yang tak selamanya indah. Ada anggota yang bertahan, ada penambahan anggota, ada juga yang hengkang. Ironisnya, ada juga yang hengkang tetapi masih tidak menyadari bahwa dengan keluarnya dirinya dari keanggotaan maka otoritasnya pun harus ditinggalkan.
Tapi apa yang terjadi? Kampus kita ada di negeri antah berantah itu, Kawan. Bukan sebuah kampus yang biasa, melainkan kampus unik yang diisi oleh orang-orang yang tentunya juga unik. Saking uniknya, bahkan ada yang pantas diberi label “tidak tahu diri”. Mengapa demikian? Kembali lagi kepada otoritas, orang-orang yang tidak tahu diri ini dengan pongahnya telah membuat buram sistem dengan perilakunya yang melahirkan otoritas ambigu.

Orang-orang ini mengambil peran di jalan formal untuk beberapa saat, lalu ia keluar dengan berbagai alibi. Tidak masalah jika ia hanya menanggalkan keanggotaannya dengan turut meletakkan otoritas yang sempat melekat di tangannya. Namun yang terjadi adalah tanggung jawabnya saja yang dia tinggalkan, sementara otoritas yang sempat dipegangnya tetap dicomot untuk kemudian dimanfaatkan sebagai sarana penyimpangan yang sangat tidak senonoh. Jadilah kemudian bisnis gila dari sebuah otoritas yang ambigu. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, ada yang dengan pongahnya mencampuri urusan hubungan ke luar kampus yang selayaknya bukan menjadi ranah yang bisa ia pegang. Forum antarkampus yang seyogyanya ditangani oleh badan yang legal, malah disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang tidak bisa mempertanggungjawabkan keberadaan dirinya di forum itu. Anehnya, orang-orang itu masih melenggang dengan santai tanpa malu-malu. Menyedihkan, padahal mulanya orang-orang itu begitu lantangnya berteriak tentang profesionalisme dan integritas. Integritas macam apa jika ia menyerobot tupoksi orang lain seperti itu?? Integritas musiman? Atau mungkin integritasnya sudah membusuk seiring membusuknya mayat korban bencana negeri ini?

Kampus adalah sarana observasi, bisa jadi memang demikian adanya. Tapi kampus seharusnya diisi para intelektual yang tahu batasan dan tahu diri. Sehingga dengan demikian, observasi apa pun akan berjalan dengan harmonis tanpa menimbulkan kesenjangan yang tidak perlu.

Jurangmangu, 29 Oktober 2010