Rabu, 29 Desember 2010

Senja di Lampung Kota

Dua puluh tujuh Desember dua ribu sepuluh. Menjejakkan kaki di kota yang sering kusambangi waktu kecil itu, membuatku cukup merasa asing. Senja itu telah menghantarkanku, menemui atmosfer kota metropolis yang bersuasana maritim-agraris. Perjalanan baru separuh, aku masih harus mencari cara melanjutkan perjalanan untuk mencapai rumah yang jaraknya masih harus melintasi batas peradaban.

Di pinggir jalan depan Poltek Lampung, sedikit kebingungan menentukan angkutan mana yang harus saya ambil. Nah, tampaknya ada mahasiswa yang sedang menuju kampus. Tampangnya sih aktivis, setidaknya aku merasakan kesamaan frekuensi dengan aktivitasku di kampus di seberang pulau sana.

“Mas, maaf Mas. Numpang nanya.”
Berhenti sejenak, “Ya, ada apa?”
“Ke stasiun sebelah mana Mas? Naik angkutan mana ya?”
“Oh, Mas naik aja angkot biru muda yang kayak gitu,” menunjuk ke seberang jalan.
“Okay, ke arah mana?”
“Sama aja, ke sana bisa, ke sana juga bisa.”
“Oh, gitu? Makasih banyak ya, Mas.”
“Iya, sama-sama,” berlalu dengan sepeda motornya.

Sejenak kemudian angkot biru muda menghampiri.
“Stasiun?” Si sopir menggeleng dan memacu mobilnya.
Angkot yang kedua, sopir memberikan respon positif.

Bismillah, naik!

Innalillahi, desir itu begitu terasa. Menunduk, tapi dalam hati tetap salah tingkah. Tidak biasanya, karena diri ini bukan tipe yang begitu mudah membuka hati. Tapi naluri, atau entah apalah namanya. Sungguh, aku gugup!

Penumpang satu-satunya selain aku, ya itu dia. Dentum musik mobil yang begitu kencang membuat telingaku sedikit sakit, tapi tak terhiraukan. Yang terpikirkan dalam otakku saat itu hanya bagaimana caranya mengeluarkan suara untuk bertanya tempat stasiunnya di mana. Mudah memang kalau yang kuhadapi saat itu seorang bapak separuh baya yang sedang dalam perjalanan. Tapi ini? Aah, susah dijelaskan!

Lama aku menunduk, bergeser sedikit tapi belum berani menengadahkan kepala. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya, bukankah aku begitu luwes menghadapi orang-orang?
Setelah berusaha mengumpulkan tenaga, kutengadahkan kepala. Tapi aku hanya bisa melihat ke arah lain. Sedikit mencondongkan badan ke arah penumpang yang satu itu, suara serakku keluar juga meskipun tercekat entah oleh apa.

“Ehm, Mbak. Kalo ke stasiun bener naik mobil ini?”
“Maaf, gimana?”
Musik yang begitu kencang membuat aku harus lebih mendekat supaya suaraku terdengar.
“Ke stasiun, Mbak. Bener kan naik mobil ini?”
“Oh iya, iya. Bener naik mobil ini.”
Oh My! Jilbab lebar dan rapi, standarlah. Kira-kira semester tiga.

Beberapa menit kemudian.
“Mas, mau ke mana?”
“Ee, ke Palembang, Mbak. Eh, tepatnya ke Baturaja.”
“Udah tahu tempatnya?”
“Ee, nanti ada temen saya yang jemput kalo udah di sana.” Kebohongan publik! Padahal aku sedang menuju rumahku, pulang. Bukan berkunjung ke rumah teman.
”Bukan, maksud saya stasiunnya.”
“Oh, belum Mbak.”
Dia hanya mengangguk kecil.

Diam, suara musik masih terdengar kencang. Satu-persatu penumpang bertambah.
Beberapa saat kemudian, penumpang yang tadi bersamaku bersiap hendak turun.
“Mas, nanti turun di Masjid Taqwa aja. Mobilnya nggak nyampe stasiun.”
“Eh, gimana?”
“Nanti turun di Masjid Taqwa aja.”
“Oh, iya. Sebelah kiri bukan?”
“Iya, sebelah kiri. Saya turun di sini. Hati-hati, Mas.”
Degg!! Ah, suaraku tercekat lagi.
“Iya, makasih, Mbak.”

Dia turun, aku terpana. Entah bagaimana ekspresiku, dan sepertinya seisi angkot memperhatikanku. Sesal mengusik jiwa, mengapa tidak kutanyakan namanya? Atau setidaknya berterima kasih lebih banyak, menanyakan nomor handphone. Atau minimallah mengucapkan terima kasih dengan kata “syukron”, supaya lebih familiar. Aahhh!!

Praang!! Kutampar hatiku. Aku ini sedang apa? Mata setankah yang kupakai untuk memandangnya? Senyum apa aku ini? Senyum seperti orang gila, linglung, atau apalah namanya.

Azan Maghrib telah berkumandang beberapa menit yang lalu.

“Mas, itu stasiunnya.” Bapak yang duduk tepat di depanku mengingatkan.
“Oh, oh iya Pak. Makasih, Pak”

Masjid Taqwa, dekat sekali dengan Stasiun Tanjung Karang. Kusegerakan langkahku untuk mengantri tiket kereta api, lalu sholat Maghrib. Masih ada kesempatan. Illahi Robbi, ampuni hamba....


Baturaja, 29 Desember 2010.
00.24 WIB.

Sabtu, 25 Desember 2010

Waktu Itu 26 Desember di Hari Minggu

Kau, aku, kita semua pasti masih ingat. Saat enam tahun lalu, sebuah tragedi yang tak mungkin lekang dari sejarah. Bencana itu bukan sekadar bencana lokal yang membawa kesedihan parsial, melainkan bencana global yang telah mengukir catatan kelam. Bukan satu, bukan dua, bukan tiga. Nyawa-nyawa itu telah kembali ke haribaan. Ia telah melayang bersama awan. Ia telah tersapu oleh bah tanpa arah. Ia telah tenggelam bersama lumpur yang kemudian seolah tidur. Tiada harap lagi kita bersua dengannya, karena dunia tetaplah hal yang fana.

Mentari pagi ternyata tak selalu pertanda baik. Pagi itu, ia telah merenggut jiwa. Menyisakan pilu yang tiada terobati, kecuali pasrah dan mendekatkan diri. Setelah kejadian yang hanya terhitung ratusan detik, semua berubah. Sungguh, semua tiadalah sama, sampai kapan pun.

Hari ini, enam tahun kemudian. Harinya sama, di akhir pekan. Momennya sama, sedang liburan. Duhai, mungkin ada kekhawatiran dalam hati. Bisa jadi ada bencana lagi. Azab atau ujian? Kita tak berharap itu azab, tapi layakkah itu kita sebut ujian? Sedangkan ujian identik dengan kenaikan level. Tak yakin diri ini sudah begitu layak mendapatkan ujian. Jangan-jangan itu benar-benar azab, sementara diri tiada tersadarkan.

Ah, dua puluh enam Desember. Bukankah ini masa liburan? Lalu apa yang dijadikan dasar ini masa liburan? Tak pelak lagi, ada perayaan yang sejatinya hanya milik sebagian orang. Tapi heran, saudaraku seiman koq ikut merayakan? Padahal itu kepunyaan mereka, bukan kita. Bahkan lidah pun latah, seolah gatal jika tidak mengucapkan selamat.

Hei, ini perkara akidah, Kawan! Kalau ini saja kita sudah main-main, lalu bagaimana dengan ranah lainnya? Bukanlah bangga yang dirasakan, seharusnya. Biarkanlah mereka, tersesat tanpa kesadaran. Janganlah kita malah mengikuti mereka.

Lalu bencana itu? Bisa jadi benar-benar azab, karena mulut dan tingkah kita sering latah. Lantas Penguasa Jagad Raya tersinggung, dimurkailah kita. Kita muslim dan mendominasi di negeri ini, tapi perayaan akhir tahun ini sangat semarak. Sekali lagi, itu bukan milik kita! Tinggalkanlah, jauhilah, jangan latah! Hati ini benar-benar khawatir, jika Minggu di 26 Desember berbuah petaka lagi. Hanya karena kita latah. Wallahu a’lam bisshowab....

Jurangmangu, 25 Desember 2010

Rabu, 24 November 2010

Lucunya Para Pencipta Lagu

Hidup kita saat ini tidak bisa terlepas dari pengaruh musik yang terealisasi dalam berbagai bentuk dan warna lagu. Beribu judul lagu mungkin sudah pernah kita dengarkan. Dan disadari ataupun tidak, sudah banyak sekali lirik lagu yang kita hafal. Akan tetapi, pernahkah kita mencermati isi lagu-lagu tersebut dengan seksama? Apakah lirik-lirik pada lagu-lagu tersebut sudah logis? Mari kita cermati beberapa contoh berikut ini.

“Sudah berulang kali aku bermain cinta. Jadi baru abang yang Adik cinta.” Sebagian besar dari kita mungkin pernah atau bahkan sering mendengar lagu dangdut yang satu ini. Tepat sekali! Judulnya adalah ‘Gadis atau Janda’. Dari dua bait itu, jelas sekali bahwa liriknya dibuat asal sesuai rimanya. Sudah jelas-jelas si perempuan mengatakan bahwa dia sudah berulang kali bermain cinta. Si laki-lakinya malah ke-ge-er-an beranggapan bahwa dialah yang pertama dicintainya.

Ada lagi lagu yang agak sendu. ”Ribuan hari aku menunggumu. Jutaan lagu tercipta untukmu.” Pencipta lagu ini mungkin saja tidak pernah belajar matematika. Coba kita misalkan ribuan hari itu cukup seribu hari, lalu jutaan lagu itu sebagai satu juta. Lalu jika dalam seribu hari ia bisa menciptakan sejuta lagu, apakah benar dalam sehari ia bisa menciptakan seribu lagu? Impossible!

Kembali ke dangdut, mungkin para remaja di tahun 90-an sering mendengarkan lagu ini. ”Ada angin timur, kau pergi ke timur. Ada angin barat, kau pun ikut ke barat.” Secara keseluruhan lagu Cinta Karet ini menceritakan orang yang tidak teguh pendirian sehingga diibaratkan mengikuti angin ke mana saja ia berhembus. Kita semua tahu bahwa angin timur adalah angin yang berhembus dari timur menuju ke barat. Jika demikian, dalam lirik lagu tersebut, orang yang diceritakan justeru menentang arah angin, bukan?

Aduh, kalo diperhatikan, masih banyak contoh yang lainnya. Coba deh kita perhatikan. Seringkali kita tidak peduli dengan syair lagu, yang penting nyanyi aja. Bahkan banyak syair lagu yang mengundang syahwat dan mengandung unsur kemusyrikan. Tidakkah hati kita terketuk? Masihkah kita hanya bernyanyi tanpa menelaah syairnya?

Diselesaikan di Jurangmangu, 24 Nopember 2010

Jumat, 19 November 2010

Otoritas Ambigu

Politik bukanlah hal yang baru, bukan pula hal yang tabu. Dalam berbagai lini kehidupan, secara sadar ataupun tidak, kita semua telah berpolitik. Adanya sebutan “politikus” hanya karena ada perbedaan orang dalam menyikapi dan mengemas politik tersebut. Seorang politikus memanfaatkan berbagai momentum untuk mengeluarkan doktrin-doktrinnya agar pemikiran target politiknya terpengaruh oleh ideologi yang ia bawa.

Berangkat dari politik inilah, saya ingin menyoroti berbagai hal janggal yang ada di depan mata kita. Walaupun bagi sebagian orang hal ini bukanlah sesuatu yang patut disoroti, namun bagi saya misi mencerdaskan masyarakat bisa bermula dari sini. Saat rekan-rekan saya sibuk berkutat dengan permasalahan klasik berupa apatisme mahasiswa, saya ingin sedikit mengulik perilaku orang-orang yang acapkali bersembunyi di balik kata “apatisme” untuk memperoleh otoritas yang sejatinya bukan menjadi haknya.

Sistem Akuntansi telah mengajarkan kita perlunya pemisahan tugas untuk masing-masing fungsi. Secara teoritis, hal ini dengan mutlak menegaskan bahwa penyimpangan-penyimpangan otoritas adalah hal yang sangat dibenci di manapun kita berada. Bahkan adanya kode etik profesi adalah sebuah wujud nyata pembatasan otoritas yang jika tidak dilakukan akan menjadi efek domino bagi kehancuran tatanan sosial. Itulah sebabnya akuntan pemerintah tidak diperkenankan bertindak sebagai akuntan publik, demikian juga dengan adanya pemisahan antara Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Tersebutlah kisah di negeri antah berantah, yang sebenarnya jelas kita mengenali negeri yang dimaksud. Ada sebuah kesatuan yang pada zaman dahulu kala disebut sebagai Senat Mahasiswa. Di manapun di seluruh perguruan tinggi di penjuru negeri, hampir bisa dipastikan eksistensi kesatuan ini. Secara definitif, kesatuan ini dijadikan sebagai payung besar atas semua tindak-tanduk mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan. Pihak perguruan tinggi belum akan mengonfirmasi kegiatan mahasiswa kepada penyelenggaranya sebelum meminta penjelasan dari pemimpin senat ini, apapun bentuknya. Lalu muncullah adat yang mengakar kuat bahwa semua organisasi, unit kegiatan, dan perkumpulan mahasiswa lainnya harus berada dalam jalur komunikasi dengan badan kemahasiswaan yang satu ini. Bukan adat sembarang adat, karena ternyata memang terbukti bahwa otoritas yang diberikan ini mempermudah perguruan tinggi untuk mengoordinasi kegiatan kemahasiswaan. Pun dengan mahasiswa yang secara relatif senantiasa mendapatkan “payung untuk berteduh”.

Perlu kita ingat bahwa keanggotaan badan kemahasiswaan ini biasanya berumur sangat pendek. Setahun adalah waktu yang sangat sempit bagi masing-masing kepemimpinan untuk menunjukkan kontribusi nyatanya bagi seluruh civitas akademika. Lalu formasinya bisa saja berganti, membawa berbagai suasana yang tak selamanya indah. Ada anggota yang bertahan, ada penambahan anggota, ada juga yang hengkang. Ironisnya, ada juga yang hengkang tetapi masih tidak menyadari bahwa dengan keluarnya dirinya dari keanggotaan maka otoritasnya pun harus ditinggalkan.
Tapi apa yang terjadi? Kampus kita ada di negeri antah berantah itu, Kawan. Bukan sebuah kampus yang biasa, melainkan kampus unik yang diisi oleh orang-orang yang tentunya juga unik. Saking uniknya, bahkan ada yang pantas diberi label “tidak tahu diri”. Mengapa demikian? Kembali lagi kepada otoritas, orang-orang yang tidak tahu diri ini dengan pongahnya telah membuat buram sistem dengan perilakunya yang melahirkan otoritas ambigu.

Orang-orang ini mengambil peran di jalan formal untuk beberapa saat, lalu ia keluar dengan berbagai alibi. Tidak masalah jika ia hanya menanggalkan keanggotaannya dengan turut meletakkan otoritas yang sempat melekat di tangannya. Namun yang terjadi adalah tanggung jawabnya saja yang dia tinggalkan, sementara otoritas yang sempat dipegangnya tetap dicomot untuk kemudian dimanfaatkan sebagai sarana penyimpangan yang sangat tidak senonoh. Jadilah kemudian bisnis gila dari sebuah otoritas yang ambigu. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, ada yang dengan pongahnya mencampuri urusan hubungan ke luar kampus yang selayaknya bukan menjadi ranah yang bisa ia pegang. Forum antarkampus yang seyogyanya ditangani oleh badan yang legal, malah disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang tidak bisa mempertanggungjawabkan keberadaan dirinya di forum itu. Anehnya, orang-orang itu masih melenggang dengan santai tanpa malu-malu. Menyedihkan, padahal mulanya orang-orang itu begitu lantangnya berteriak tentang profesionalisme dan integritas. Integritas macam apa jika ia menyerobot tupoksi orang lain seperti itu?? Integritas musiman? Atau mungkin integritasnya sudah membusuk seiring membusuknya mayat korban bencana negeri ini?

Kampus adalah sarana observasi, bisa jadi memang demikian adanya. Tapi kampus seharusnya diisi para intelektual yang tahu batasan dan tahu diri. Sehingga dengan demikian, observasi apa pun akan berjalan dengan harmonis tanpa menimbulkan kesenjangan yang tidak perlu.

Jurangmangu, 29 Oktober 2010

Minggu, 22 Agustus 2010

Si Ikal

Imam sudah menucapkan salam, tiba-tiba si ikal datang. Ia baru saja bermain dengan teman-temannya, peluhnya masih membanjir. Ikal bukannya mengeluh capek, malah ia memulai sebuah gerakan. Tangannya diangkat, lalu bersedekap. Si ikal sholat!!

Polos nian ekspresinya, membuat gemas siapa pun melihatnya. Lalu si ikal merunduk ruku', i'tidal, dan seterusnya. Ia menyelesaikan empat rakaat, meskipun hanya gerakannya. Ya, hanya gerakannya. Sungguh sebuah pencapaian luar biasa untuk ukuran anak sekecil si ikal...!!

Lalu terpekur di dalam hati ini, sungguh si ikal menyindir diri. Di tengah asyiknya bermain, ia masih ingat sholat. Ingat Tuhan-nya! Lalu saya? Ah, entahlah. Sudah tak terhitung berapa banyaknya diri ini melalaikan panggilan azan hanya karena masih rapat. Kadang juga mengulur-ulur waktu untuk sholat karena urusan lainnya. Bahkan sudah sholat pun, terkadang lupa sudah rakaat keberapa. Sementara si ikal, gerakannya sempurna, penuh detailnya.

Ah, malu juga kalau diingat-ingat. Semoga saja si ikal cepat besar. Dan setelah dewasa ia akan mengerti, bahwa menjadi anak kecil polos seperti dirinya jauh lebih bermakna, daripada manusia-manusia dewasa yang lebih sering lupa kepada-Nya....


Ruang Nusantara Sekretariat BEM STAN, 21 Agustus 2010, 16.03 WIB

Minggu, 11 Juli 2010

Tenun

Tersebutlah kisah benang-benang yang beraneka rupa, tak satu pun di antara mereka yang memiliki kesamaan warna. Ada yang berserat kasar, yang mengilap, dan berbagai tekstur lainnya. Benang-benang yang tiada memiliki kesamaan sifat itu kemudian bertemu dalam sebuah benda yang kemudian mengubah sejarah mereka: mesin tenun.

Satu per satu benang-benang itu dijalin, bertaut satu sama lain. Semakin ditenun, semakin lebar kain yang terbentuk. Semula tercerai-berai, namun ikatan antara benang-benang itu semakin erat tak terpisahkan. Mereka tidak sama, tapi ternyata corak indah mulai terbentuk ketika disatukan dalam jalinan.

Semakin hari, corak-corak tenunan itu kian tegas. Beraneka warna, sedap dipandang. Hingga akhirnya, menjelmalah selembar kain kokoh dengan jalinan rapi di setiap simpul persilangan antarbenang. Tenunan itu telah selesai. Dan lihatlah! Sungguh selembar kain cantik nan menawan! Mana ada corak seindah itu jika hanya satu benang yang digumpalkan?

Erat sekali, disibakkan tidak terputuskan, diperas tiada lepas. Setiap simpul itu telah menjadi saksi benang yang bertautan tanpa rasa enggan. Serat-serat berbagai jenis itu bertaut tanpa peduli berapa kali mereka harus bersilangan.

Semua helai benang itu baru saja selesai ditenun. Kini kain tenunan itu siap untuk diolah lebih lanjut. Ia akan dipotong sesuai pola. Ada yang dijadikan bagian badan, lengan, kerah, dan saku. Lalu bagian-bagian pola itu dineci, dijahit, diobras, diberi kancing, dibordir, hingga jadilah ia kelak sehelai baju nan indah. Bukan tanpa alasan ada bagian yang harus dipotong, karena proses itulah yang akan menghantarkan jalinan benang-benang itu menjadi cantik dan siap pakai.

Kelak, jika sudah menjadi baju, benang-benang itu akan mendapati mereka bertaut dalam satu-kesatuan kokoh. Jalinan di antara mereka tak terpisahkan. Hanya waktulah yang akan membuat mereka lapuk, luluh, lebur menyatu dengan alam. Dan saat itupun, benang-benang itu sejatinya tetap menyatu, butir-butir partikel yang bertautan dalam keindahan abadi.


Jurangmangu, 11 Juli 2010.
22.18 WIB, penghujung Rajab 1431.
Terima kasih atas warna-warna itu. Terima kasih atas semua corak yang telah terabadikan. Terima kasih atas jalinan yang menyatukan.Maaf karena telah menjadi benang yang paling rapuh.

Titik yang Tiada Mengakhiri

Dalam kesyahduan, kerinduan itu membayangi setiap tapak perjuangan.
Ia mengalir, membasahi, melumasi setiap sudut penggerak semangat aktivitas keseharian.
Bukan darah yang mengikat, bukan suku yang menambat, tapi ia begitu erat.
Berat sekali meredam hati, membiarkan perbedaan di setiap hari.
Sudah kubangun istana megah di sanubari, khusus untuk teman sejati.
Bertahun kebersamaan, pahatan indah t’lah terukir di singgasana kalbu.
Entah akan ada lagi yang mengisi hati seperti ini.
Bukan berlebihan jika kunyatakan cinta.
Aku pun tiada mengerti, mengapa jalinan di antara kita demikian indah?
Ada rasa berat jika harus berpisah, ada rasa canggung jika harus merenggang.
Namun kisah ini sampai kapan pun ‘kan terpatri,
menghias sejarah diri yang akan menggaung sepanjang masa.
Visi itu telah menyatukan semangat kita, perbedaan itu telah mengeratkan jalinan cinta kita,
perselisihan itu telah memberi corak jalan hidup kita.
Kita telah bersatu, sampai kapan pun itu.
Maka jangan pernah kau hapus diriku, dari memori dan detak jantungmu.


Special for Genkers, 7 Juli 2010.
D307, 09.09 WIB

Sabtu, 19 Juni 2010

Sensus Penduduk

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000 yang sering diidentikkan dengan kata “millenium”, sebuah hajatan besar negara ini diselenggarakan. Pertama kalinya di era reformasi, pemerintah menyelenggarakan sensus penduduk. Semua pihak tentu mengharapkan hasil yang baik demi terciptanya kehidupan bernegara yang baik pula. Untuk sebuah negeri bernama Indonesia, bisa dikatakan sudah cukup bagus. Apalagi belum lama sebelum itu kita mengalami rangkaian peristiwa yang begitu menggemparkan terkait reformasi dan krisis multidimensi.

Tahun ini, sepuluh tahun kemudian, hajatan yang sama digelar kembali. Meskipun dengan harapan yang sama, sensus penduduk kali ini menghadirkan berbagai hal yang berbeda. Di awal proses pendataan, gema optimisme penyelenggara untuk menyelesaikannya dalam satu bulan cukup terasa. Petugas pun disiapkan dengan pembekalan yang tidak sedikit. Sebanyak 43 pertanyaan disiapkan untuk masing-masing subyek sensus. Menurut penyelenggara, hal ini dimaksudkan untuk memperolah data yang benar-benar akurat dan lengkap. Tidak salah memang, karena sensus kali ini juga ditujukan untuk mengetahui penggunaan teknologi di kalangan masyarakat.

Langkah antisipasi atas penyimpangan sudah dilakukan. Untuk meminimalisir keberadaan petugas gadungan, masyarakat diwanti-wanti untuk memperhatikan identitas petugas sensus. Nomor layanan pengaduan melalui SMS pun disediakan di 9788. Akan tetapi, tetap saja kita harus ingat kebiasaan buruk negeri ini. Tersiar sudah kabar mengenai data fiktif yang disajikan oleh petugas sensus. Di tempat lain, ada juga petugas sensus yang hanya meminta copy kartu keluarga. Alhasil, saya tidak yakin jika data yang diperoleh itu akurat.

Proses listing saya kira sudah berjalan cukup baik. Namun pada tahap pendataan, terlihat sekali bahwa Sensus Penduduk 2010 amburadul. Salah satu “korban” pendataan ini adalah para mahasiswa yang tidak berdomisili di alamat tetap. Para mahasiswa ini sudah terlanjur tidak didata di alamat tetap, karena yang menjadi dasar sensus adalah domisili, akan tetapi tidak pula didata di tempat domisilinya. Bukan hanya satu dua orang, melainkan lebih dari lima puluh persen teman saya secara acak menyatakan dirinya tidak didata.

Saya pun demikian, padahal pada proses listing nyata-nyata saya menyambut petugas yang datang. Namun hingga akhir Mei, saya tidak kunjung didata. Dengan maksud memberikan sedikit kontribusi, saya datang ke kantor kelurahan di tempat saya berdomisili untuk melaporkan hal ini. Sayang sekali, saya diterima dengan sikap yang kurang bersahabat, dipersilakan duduk pun tidak. Setelah perbincangan singkat, saya diminta menuliskan nomor hand phone di secarik kertas dengan alasan akan diberitahukan kepada petugas yang akan segera datang ke rumah kosan saya hari itu juga. Lama saya menunggu, malam pun tiba. Hingga saya mendengar berita bahwa proses pendataan Sensus Penduduk 2010 diperpanjang sampai dengan 15 Juni. Ya sudahlah, semoga saja masih ada hari esok.

Hari berganti, 15 Juni pun berlalu. SMS pengaduan sudah beberapa kali saya kirimkan dengan tarif tiga ratus rupiah per SMS. Namun sayang sekali, saya tetap tidak didata! Apakah saya dianggap tidak berarti sebagai elemen negeri ini? Ternyata bukan hanya saya, melainkan sebagian besar teman saya pun tidak didata. Nah, lalu bagaimana data Sensus Penduduk 2010 bisa akurat dan sesuai dengan yang diharapkan?

Lalu saya berpikir, jika demikian banyak mahasiswa tidak didata, lalu ke mana larinya kenyataan bahwa negeri ini memiliki begitu banyak kaum muda intelek? Sedikit rasa curiga mulai membayangi diri. Jangan-jangan ini ada unsur kesengajaan. Pemerintah dengan sengaja mengurangi pendataan terhadap kaum muda intelek. Siapa tahu ada dalang di belakang semua ini. Apakah ini hasil kerja konspirasi besar di belakang para aktor kekuasaan? Entahlah.


Dio Agung Purwanto
Jurangmangu, 17 Juni 2010

Rabu, 31 Maret 2010

Andai Aku Gayus Tambunan

Hari ini aku sudah kembali ke Jakarta, Indonesia tercinta. Secara khusus aku dan keluargaku dijemput dari Singapura. Lumayanlah, tidak usah beli tiket pesawat. Tiba di Jakarta, ternyata kedatanganku disambut dengan meriah. Sungguh tidak akan terjadi jika aku hanya seorang pegawai biasa.

Televisi, surat kabar, radio, dan berbagai situs internet sibuk memberitakanku. Bahkan saat kucari namaku di Google lewat Blackberry terbaruku, hasilnya 1.260.000! Hahaha...aku bisa mengalahkan kepopuleran Pak Tjiptardjo yang Cuma 153.000! Yah, nikmati sajalah. Kapan lagi dapat kesempatan dipotret media massa sedemikian hebohnya?

Ah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya belum lama aku lulus dari kampus yang sangat kubanggakan. Tapi sekarang, tampaknya ribuan adik kelasku di sana mencaci diriku, bahkan mungkin mereka melayangkan kutukan kepadaku. Tidak salah memang jika mereka marah lantaran nama kampus mereka selalu dicantumkan setiap profil diriku ditayangkan di TV. Ingin rasanya mampir ke kampus, singgah ke Jl. H. Sarmili tempat kosku dulu. Tapi apa kata dunia? Pasti ibu kosku akan marah besar dan mengajak warga kampung mengusirku bahkan membunuhku beramai-ramai. Tak bisa kubayangkan.

Aduh, bagaimana nasib anakku nanti? Waktu dia sekolah, pasti diolok-olok teman-temannya. Atau jangan-jangan pihak sekolah malah tidak menerima kedatangannya? Sungguh, ini semua salahku. Lalu bagaimana dengan istri dan keluarga besarku? Mereka pasti sangat malu. Maafkan aku, Bu. Maafkan anakmu yang sudah sangat mengecewakanmu....

Sekarang aku di sini, sebentar lagi pasti aku diinterogasi. Pengadilan sudah menunggu kehadiranku. Berapa pun ringannya pengacaraku bisa mengusahakan, tapi sepertinya tetap harus kujalani hukuman itu. Oh my God, masa’ iya Gayus Tambunan jadi tahanan?

Aaakgh...! Mengapa begitu cepat berlalu? Mengapa hanya bisa menyesal saat ini? Mengapa kulakukan dulu? Mengapaaa...?!!

Tuhan, kembalikanlah kesempatan itu. Berikanlah aku waktu untuk mengubah jalan hidupku. Sungguh, jika dulu aku masuk Islam hanya karena menikahi istriku, maka sekarang kumohon tunjukkanlah jalan untukku bahwa cahaya Islam mampu membawaku kepada ridho-Mu...! Engkau Maha Penerima Taubat, bukan? Kumohon, berikanlah kesempatan itu....

Oia, teman kosku itu! Ya, di mana dia sekarang? Dulu, dia yang selalu bercerita kepadaku asyiknya ikut li...liii..., liqo’. Ya, liqo’! Ke mana temanku itu sekarang? Katanya liqo’ membuka kesempatan menjalani Islam dengan luas. Liqo’, ya benar liqo’! Aku mau ikut liqo’!! Aku harus mencari tahu temanku itu. Aku mau dia memberitahuku bagaimana aku bisa ikut liqo’. Di mana pun setelah ini aku akan di tempatkan, aku mau liqo’, di penjara sekalipun!

Dio Agung Purwanto

Jurangmangu, 31 Maret 2010

Penuh kerinduan kepada saudara-saudaraku di kelompok liqo’, yang masih menikmati liburan akhir semester.

Kamis, 25 Maret 2010

Ayo Ikut Acara Seru Ini...!

Mengundang keluarga besar teman-teman Blogger
untuk hadir pada acara launching buku Maryam mah Kapok dan No Excuse bersama:

Asma Nadia (Penulis buku-buku best seller, CEO Penerbitan)
Isa Alamsyah (Penulis No Excuse)
Putri Salsa (Penulis, 13 th, Cool Skool, Best Friends Forever, Maryam mah Kapok)
Adam Putra Firdaus (Penulis cilik, 9 th)

Hari Sabtu, 27 Maret 2010
Pukul 16.00 - 18.00
TB. Gramedia Matraman, Jakarta Pusat

Acara Gratis!
Selain bakal ngegosipin dua buku baru: Maryam mah Kapok dan buku No Excuse, sebuah buku motivasi yang sebelum go national telah terjual lebih 60.000 eksemplar, insya allah akan soft launching juga buku karya pengarang cilik Adam Putra Firdaus.

Dengan terbitnya buku terbaru yang ditulis Adam, keluarga Isa Alamsyah - Asma Nadia resmi menjadi keluarga penulis, sebelumnya Adam sudah menulis beberapa cerpen, salah satunya dimuat di buku antologi Tangan-tangan Mungil Melukis Langit.

Putri Salsa sendiri telah menulis sejak usia tujuh tahun, dan sampai saat ini telah memiliki beberapa buku yang diterbitkan, yaitu:
Dunia Caca (dar!Mizan), My Candy (Mizan), The Cute Little Ghost, Cool Skool dan Best Friends Forever (Lingkar Pena). Cerpen-cerpennya juga telah dimuat di antologi Tangan-tangan Mungil Melukis

Temukan rahasia menulis best seller dari keluarga penulis ini,
dan bagaimana mereka membangun minat membaca dan menulis pada kedua ananda!


Hadiah souvenir menarik bagi setiap yang hadir.
Voucher atau cash back Rp50.000 untuk mengikuti workshop pelatihan*, parenting, dll yang diadakan AsmaNadia Publishing House.
serta banjir door prize!

Jangan lewatkan, ajak pasangan dan ananda
mengikuti Sabtu seru dan fun serta edukatif dalam acara launching keluarga penulis ini!

salam

AsmaNadia Publishing House

*ketentuan berlaku

Minggu, 07 Maret 2010

Biarkanlah

Kaki kecil itu menjejak lincah di sela-sela barisan. Tangan mungilnya mengayun penuh ceria seiring tawanya yang begitu bahagia. Bebas sekali, tanpa beban.

Biarlah, jangan kau halangi ia! Ini tempat dan saat bermain yang aman untuknya. Sebentar lagi toh dia akan keletihan dan tertidur. Dan kau malah akan merasa ada sesuatu yang hilang.

Coba perhatikan senyumnya yang demikian menggemaskan ketika ia berhasil melewati barikade barisan jamaah yang begitu rapat. Dengarkan tangisannya yang merdu ketika ia terjatuh lantaran kaki mungilnya tersangkut sajadah. Simaklah suaranya yang kebingungan di antara pagar betis yang menjulang jauh melebihi tingginya sambil berteriak, “Abi, Abi....” Lalu sesaat kemudian wajahnya memerah dan memekik seraya makin bingung mencari posisi ayahnya di antara barisan jamaah. Tak lama setelah itu, temannya menghampirinya, ia berhasil dikejar! Lantas pecahlah lagi tawanya penuh suka cita. Ia pun kembali berlomba melintasi arena lari yang tak lebih dari barisan orang-orang pendamba surga yang sedang melaksanakan titah-Nya.

Sudahlah, tak usah kau rintangkan tanganmu ketika ia melintasi tempat sujudmu! Dia tidak mengerti syariat dan memang seharusnya belum mengerti. Biarkan ia bebas bergerak sambil sesekali menggodamu dengan senyumnya yang menggemaskan. Ia hanya tahu bahwa ia senang bermain di sini.
Kita tak pernah tahu persis informasi yang masuk ke otak mungilnya itu. Dia itu perekam yang sangat baik! Setiap gerak sujud, ruku’, takbir, semua mengisi memorinya yang masih sangat segar. Sambil berlari, ia melihat rapatnya barisan. Sambil tertawa, ia memaknai sujud. Sambil berkejaran, ia menyimak lantunan surat cinta-Nya. Sambil menangis penuh manja, ia memperhatikan semua keteraturan dalam beribadah ini.

Subhanallah. Sekali lagi, janganlah kau halangi ia. Biarkan kaki kecilnya menjejak lincah ke semua sudut ruangan. Biarlah tangannya menggapai-gapai, menggodamu dengan senyumnya yang menggemaskan. Tak usah dihalangi ketika ia menembus barisan jamaah. Karena semua itu adalah pembelajaran berarti baginya. Kelak, ‘kan kau dapati bahwa ialah penerus dakwah ini.



Ba’da isya, 27 Nopember 2009