Sabtu, 19 Juni 2010

Sensus Penduduk

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000 yang sering diidentikkan dengan kata “millenium”, sebuah hajatan besar negara ini diselenggarakan. Pertama kalinya di era reformasi, pemerintah menyelenggarakan sensus penduduk. Semua pihak tentu mengharapkan hasil yang baik demi terciptanya kehidupan bernegara yang baik pula. Untuk sebuah negeri bernama Indonesia, bisa dikatakan sudah cukup bagus. Apalagi belum lama sebelum itu kita mengalami rangkaian peristiwa yang begitu menggemparkan terkait reformasi dan krisis multidimensi.

Tahun ini, sepuluh tahun kemudian, hajatan yang sama digelar kembali. Meskipun dengan harapan yang sama, sensus penduduk kali ini menghadirkan berbagai hal yang berbeda. Di awal proses pendataan, gema optimisme penyelenggara untuk menyelesaikannya dalam satu bulan cukup terasa. Petugas pun disiapkan dengan pembekalan yang tidak sedikit. Sebanyak 43 pertanyaan disiapkan untuk masing-masing subyek sensus. Menurut penyelenggara, hal ini dimaksudkan untuk memperolah data yang benar-benar akurat dan lengkap. Tidak salah memang, karena sensus kali ini juga ditujukan untuk mengetahui penggunaan teknologi di kalangan masyarakat.

Langkah antisipasi atas penyimpangan sudah dilakukan. Untuk meminimalisir keberadaan petugas gadungan, masyarakat diwanti-wanti untuk memperhatikan identitas petugas sensus. Nomor layanan pengaduan melalui SMS pun disediakan di 9788. Akan tetapi, tetap saja kita harus ingat kebiasaan buruk negeri ini. Tersiar sudah kabar mengenai data fiktif yang disajikan oleh petugas sensus. Di tempat lain, ada juga petugas sensus yang hanya meminta copy kartu keluarga. Alhasil, saya tidak yakin jika data yang diperoleh itu akurat.

Proses listing saya kira sudah berjalan cukup baik. Namun pada tahap pendataan, terlihat sekali bahwa Sensus Penduduk 2010 amburadul. Salah satu “korban” pendataan ini adalah para mahasiswa yang tidak berdomisili di alamat tetap. Para mahasiswa ini sudah terlanjur tidak didata di alamat tetap, karena yang menjadi dasar sensus adalah domisili, akan tetapi tidak pula didata di tempat domisilinya. Bukan hanya satu dua orang, melainkan lebih dari lima puluh persen teman saya secara acak menyatakan dirinya tidak didata.

Saya pun demikian, padahal pada proses listing nyata-nyata saya menyambut petugas yang datang. Namun hingga akhir Mei, saya tidak kunjung didata. Dengan maksud memberikan sedikit kontribusi, saya datang ke kantor kelurahan di tempat saya berdomisili untuk melaporkan hal ini. Sayang sekali, saya diterima dengan sikap yang kurang bersahabat, dipersilakan duduk pun tidak. Setelah perbincangan singkat, saya diminta menuliskan nomor hand phone di secarik kertas dengan alasan akan diberitahukan kepada petugas yang akan segera datang ke rumah kosan saya hari itu juga. Lama saya menunggu, malam pun tiba. Hingga saya mendengar berita bahwa proses pendataan Sensus Penduduk 2010 diperpanjang sampai dengan 15 Juni. Ya sudahlah, semoga saja masih ada hari esok.

Hari berganti, 15 Juni pun berlalu. SMS pengaduan sudah beberapa kali saya kirimkan dengan tarif tiga ratus rupiah per SMS. Namun sayang sekali, saya tetap tidak didata! Apakah saya dianggap tidak berarti sebagai elemen negeri ini? Ternyata bukan hanya saya, melainkan sebagian besar teman saya pun tidak didata. Nah, lalu bagaimana data Sensus Penduduk 2010 bisa akurat dan sesuai dengan yang diharapkan?

Lalu saya berpikir, jika demikian banyak mahasiswa tidak didata, lalu ke mana larinya kenyataan bahwa negeri ini memiliki begitu banyak kaum muda intelek? Sedikit rasa curiga mulai membayangi diri. Jangan-jangan ini ada unsur kesengajaan. Pemerintah dengan sengaja mengurangi pendataan terhadap kaum muda intelek. Siapa tahu ada dalang di belakang semua ini. Apakah ini hasil kerja konspirasi besar di belakang para aktor kekuasaan? Entahlah.


Dio Agung Purwanto
Jurangmangu, 17 Juni 2010