Senin, 27 November 2017

Penikmat Film yang Merdeka

Cukup sering saya mendapati teman yang demikian mengagung-agungkan rating, nama sutradara, bahkan menciptakan dikotomi antara film dalam negeri dan film impor. Tanpa perlu menyaksikan keseluruhan filmnya, mereka kadang bisa mengklaim film ini bagus dan film itu tidak. Lucunya, tak jarang pula mereka cenderung memaksakan pendapat orang lain agar sepakat dengannya. Apalagi jika sudah masuk ranah film festival, film yang diberi penghargaan, dan semacamnya. Seolah-olah jika orang lain berpendapat sebaliknya, itu adalah dosa besar yang pantas diolok-olok.

Gambar: https://www.warwickartscentre.co.uk/whats-on/2017/warwick-masterclass-an-introduction-to-analysing-film/
Saya sendiri penikmat film yang tak terlalu peduli rating dan siapa di balik filmnya. Bukan berarti abai sama sekali, tetapi bagi saya menikmati film itu harus merdeka. Tak peduli Dunkirk mendapatkan rating setinggi apapun, bagi saya tak sebagus itu. Tak peduli Marlina: si Pembunuh dalam Empat Babak mendapatkan penghargaan di luar negeri, bagi saya film membosankan yang tidak efisien dan penuh adegan tidak penting. Demikian pula film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata, saya akan menyampaikan film itu bagus jika memang mengesankan bagi saya. Dicap sebagai penyuka picisan ala sinetron, saya tetap menyukai Dear Nathan. Pun walaupun raksasa jaringan bioskop tak memberikan banyak layar kepada film Duka Sedalam Cinta, saya rela nonton berkali-kali menempuh jarak cukup jauh dengan mengajak sebanyak mungkin orang. Menilai film Marrowbone bagus pun saya sama sekali tidak melihat rating-nya atau pencapaian penghargaannya.

Bagi saya, rating hanya pendapat subjektif orang-orang yang terlibat dalam pemberian rating itu. Populasinya bahkan bisa dibilang tidak mewakili semua penonton filmnya. Pun penghargaan di festival-festival, belum tentu menggambarkan keindahan dan kualitas filmnya. Maka selayaknya orang yang mengaku mampu menikmati film-film yang menang festival ini-itu tak perlu jumawa dan menganggap kastanya lebih tinggi dibandingkan orang yang beranggapan film itu membosankan.

Masing-masing penikmat film memiliki latar belakang dan ketertarikan yang berbeda. Saya yang seorang muslim tentu sah-sah saja merasa tersinggung dan tidak menyukai American Assassin karena muslim digambarkan barbar dan minim adab di film itu. Begitu pula orang yang sinis kepada Islam akan merasa Duka Sedalam Cinta terlalu agamis dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea terlalu berlebihan mengangkat isu Palestina. Sah-sah saja selama tidak memaksakan kehendak kepada penikmat film lainnya. Rating, review, dan semacamnya itu hanya bumbu referensi yang sedikit memberikan gambaran bagi kita. Adapun penilaian bagus atau tidaknya, setiap penonton memiliki pendapat sendiri yang merdeka.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 27 November 2017

Kamis, 23 November 2017

Nikmat Kegagalan

“Aku belum jadi pindah ke sana.”
“Oh, nggak apa-apa. Qadarullah, pasti yang terbaik.”
“Iya, kemarin gagal di tahap ketiga.”

Seorang teman dekat bercerita tentang rencananya yang kandas karena satu lagi jatah kegagalan yang ia dapatkan. Bertahun-tahun yang lalu, ia juga pernah mengalami kegagalan untuk mewujudkan cita-cita berkecimpung di dunia medis. Setahun ia tertunda dari teman-teman seangkatan. Meskipun pada akhirnya ia mampu bangkit dan mewujudkan mimpinya dengan menaklukkan Fakultas Kedokteran Gigi di sebuah universitas negeri, keberhasilan itu ia dapatkan setelah memaksakan diri menelan pil pahit sebuah kegagalan.

Gambar:
Sad and depressive wallpaper app
Saya jadi teringat tentang perjalanan studi yang pernah saya jalani. Masuk ke SMP, SMA, hingga perguruan tinggi yang terbilang favorit mengharuskan saya mengikuti sejumlah tes. Dalam hal ini, tingkat keberuntungan saya cukup tinggi. Sekali tes saja, masuk. Bahkan di penghujung SMA mengajukan proposal penerimaan mahasiswa ke tiga perguruan tinggi melalui jalur penelusuran minat dan prestasi, tiga-tiganya menyetujui permohonan saya. Dalam perjalanan studi pun, meskipun saya bukan termasuk mahasiswa berprestasi, lulus-lulus saja tanpa effort yang terlalu besar. Sangat berbeda dengan kisah teman dekat saya itu tadi.

Tetapi memang hidup selalu hadir dengan dua sisi mata uang. Meskipun kegagalan-kegagalan didapatkan dalam hal ujian-ujian untuk studi maupun bekerja, ia mendapatkan kemudahan lain untuk berprestasi. Sebaliknya saya yang mudah melalui tes-tes yang ada, mendapatkan kegagalan dalam sisi lain di kehidupan.

Tak ada yang selalu mulus tanpa cela. Kegagalan demi kegagalan pasti mewarnai perjalanan hidup kita. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, mensyukuri setiap kegagalan yang menghampiri. Ah, kegagalan kok disyukuri? Ya, memang begitu. Kegagalan adalah semacam alarm bagi kita agar tetap menyadari posisi sebagai hamba. Bukankah kegemilangan selalu membuat kita cenderung lupa bahwa semua adalah milik-Nya?

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 23 November 2017

Senin, 20 November 2017

Marrowbone, Mencekam dan Beralasan

Menjadi lelaki sulung dari empat bersaudara seringkali memberikan posisi sulit yang serbasalah. Terlebih jika harus hidup di tempat terasing demi menjauhi sang ayah yang penjahat sadis bahkan tega melecehkan anak gadisnya sendiri. Semakin membuat terasa berat ketika sang ibunda harus meninggalkan keempat anak tercinta untuk selama-lamanya dengan satu pesan, keempat bersaudara harus tetap bersatu apapun yang berusaha memisahkan mereka.

Jack Marrowbone bersama ketiga adiknya bahu-membahu untuk bertahan hidup sambil terus merahasiakan kematian sang ibunda. Jane, putri satu-satunya membuat kue dengan bantuan Billy adiknya sambil menjaga si bungsu Sam. Jack bertugas menjadi distributor sekaligus pemasok yang berhubungan dengan “dunia luar”. Mereka ingin bertahan sebaik mungkin hingga Jack berusia 21 dan cukup umur untuk menguasai rumah dan harta peninggalan orangtua mereka tanpa diambil alih pihak-pihak yang akan merugikan mereka. Sampai kejadian itu datang. Ayah mereka yang pembunuh sadis menemukan tempat tinggal Jack dan adik-adiknya!
.
Sejak kedatangan sang ayah, berbagai kejadian aneh menghampiri. Hubungan asmara Jack dengan Allie gadis idamannya pun terbentur keberadaan Tom Porter sang pengacara keluarga. Tom yang ambisius dan oportunis itu berusaha memanfaatkan keadaan keluarga Marrowbone. Demi melancarkan ketertarikannya kepada Allie, Tom menghembuskan cerita-cerita negatif tentang Jack yang ternyata tak sepenuhnya mengada-ada. Ada sesuatu yang salah dengan Jack. Lalu apa yang terjadi dengan ketiga adiknya?

Akting George MacKay, Charlie Heaton, Mia Goth, dan Matthew Stagg sebagai keempat bersaudara berhasil menyajikan masing-masing karakter dengan baik. Kyle Soller pun mampu membuat kesal dengan perannya sebagai pengacara. Sang sutradara Sergio G. Sánchez yang juga menulis skenarionya berhasil mengarahkan para pemeran untuk menyajikan suasana mencekam, misterius, dan penuh alasan. Hanya saja, karakter Allie yang diperankan Anya Taylor-Joy rasanya terlalu angelic dan sedikit mengurangi rasa gereget dalam cerita film yang diproduseri Belén Atienza, Álvaro Augustin, Ghislain Barrois, dan J.A. Bayona ini.

Selebihnya dari segi kualitas gambar dan suara, penataan cahaya, kostum, dan berbagai unsur lainnya, film ini menarik. Meskipun cukup bisa ditebak arah akhirnya, penyelesaian film ini cukup menghentak. Suasana dalam film masih terus terngiang hingga beberapa waktu. Dirilis di Spanyol pada 27 Oktober 2017, karya apik yang ditayangkan dalam Toronto International Film Festival pada 11 September 2017 ini akan segera tayang reguler di bioskop-bioskop Indonesia. Saya yakin memberikan nilai 9 dari 10 untuk film berdurasi 110 menit milik Universal Pictures ini.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 20 November 2017

Minggu, 19 November 2017

Marlina, Sampah Empat Babak

Sampah! Ya, saya bilang film ini sampah. Besutan sutradara Mouly Surya ini masuk ke daftar film yang saya sesali menyaksikannya di bioskop, setelah A Copy of My Mind tahun 2015 lalu. Memang tidak semuanya sampah plastik, ada sebagian sampah organik yang menyuburkan di film ini.

Gaya penceritaan yang unik seharusnya menjadi daya tarik film ini. Tetapi ternyata keunikan itu hanya tempelan yang entah untuk apa. Tak usah berharap bahwa empat babak di sini adalah tahap pembunuhan yang dilakukan oleh Marlina. Empat babak dalam film ini benar-benar dimaksud sebagai penggalan-penggalan cerita dengan alur linear yang sangat lambat dan menjenuhkan. Ekspektasi atas akting Marsha Timothy dan para pemeran lainnya jauh dari terpenuhi. Semua terasa biasa-biasa saja.

Sampah organik yang menjadi nilai positif film ini ‘hanya’ ada pada keberaniannya mengangkat isu sosial yang mungkin lumrah terjadi di daerah terpencil bagian Timur Indonesia. Tentang akses kendaraan yang sangat susah, tentang pelayanan publik yang amat payah, dan tentang ketertindasan kaum lemah yang begitu kentara. Selebihnya adalah sampah plastik yang membuat saya bertanya-tanya, “Masih ada produksi film seperti ini di tahun 2017?”
.
Produser Rama Adi dan Fauzan Zidni sepertinya berminat menyajikan film yang tidak biasa-biasa saja, tetapi eksekusinya membuktikan bahwa para sineas film ini masih perlu banyak belajar tentang efisiensi penceritaan, kekuatan karakter, pengambilan gambar, dan segala hal tentang pembuatan film yang tidak hanya nyeleneh tapi juga menarik untuk disaksikan. Jika dilihat empat babak yang dimaksud pun, film ini tidak bisa dibilang empat babak kecuali ada pemotongan dengan tulisan babak I, babak II, dan seterusnya. Penamaan babak pun tidak logis. Contohnya saja penulisan, “Babak I, Setengah Jam Sebelum Pembunuhan.” Isi ceritanya malah dari siang/sore hingga malam. Setengah jam durasi film, maksudnya?

Dua kali adegan pemerkosaan dengan sudut pengambilan gambar yang vulgar sekali jelas sangat mengganggu dalam film ini. Tetapi di sisi lain banyak adegan yang akan lebih menarik jika dibuat mendetail justru diambil dengan kamera dari jarak sangat jauh. Ditambah lagi mayoritas gambar statis, tripod oriented. Semakin membosankanlah film ini.

Thriller? Rasanya film ini hanya drama lamban yang minim penokohan. Saya memberikan nilai pribadi 4,5 dari 10 untuk film di bawah naungan Sinesurya Production ini. Karena memberikan nilai 3 terlalu kejam rasanya. Not recommended at all.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 19 November 2017

Kamis, 09 November 2017

Sembunyi di Balik Lema

Bukankah waktu adalah
kumpulan tunggu?
T'lah kularung mahadendam
yang melambung
ke langit senyap
Setiap kali semesta bertanya,
kujawab
hanya dengan namamu

Aku terpasung
dalam gelora mendambamu
Mungkinkah meredam mahadendam
yang mengakar?

Kumpulan lema ini adalah
tempatku bersembunyi
dari ganasnya namamu

Derap-derap sajak ini adalah
suara langkahku
berlari dari kungkung rindu

Aku berpuisi karena tak mampu
meneguk senyummu
yang berkibar-kibar
merobek jumawaku

Setiap larut
kudeklamasikan namamu,
getar jantungku meraung-raung
di nadir palung
antara hidup dan tiada

Setiap senyap,
kularung binarmu
dalam soneta
yang tak kunjung bermuara

Kamu, perempuanku

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 9 November 2017

Senin, 06 November 2017

Picisan Rembulan

Kutatap rembulan
Berharap senyummu memantul di sana
Tapi gemanya kosong
Tanpa mampu melarutkan sepi

Entah bagaimana Tuhan meracik rindu
Dijejalkannya ke palung hati
Sampai berdarah-darah karena namamu
Hingga mendidih karena mendambamu

Ah, purnama...
T'lah berjuta kisah terpahat karenamu
T'lah bermilyar picisan tercipta karenamu
Tetapi jiwa yang retak tak peduli
Hanya tahu bahwa dalam bisu
ia tak mampu melihat ujungnya
Seperti harap atau sebaliknya penuh senyap

Hei, apakah kau pun menatap rembulan?
Tadi kutitip salam melalui desau
Sudahkah ia sampaikan?

Hanya diam, seperti setiap malam saat kudamba senyummu menjelma.

Mungkin picisan ini hanya angan
Mana bisa sebelah menjadi tepuk tangan?

Jangan-jangan kau sedang tertidur di samping sang pangeran berkuda putih yang bukan aku.

Terkutuklah rinduku.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 6 November 2017

#puisi #poem #poetry #sajak #kisahkita #kata #DukaSedalamCinta #rindu

Minggu, 05 November 2017

Kebaruan Karya yang Apik: Duka Sedalam Cinta

Apa yang menarik dari sebuah film? Akting pemerannya, isi ceritanya, alurnya, setting-nya, atau pesannya? Pada sebagian film, mungkin kita tidak mendapatkan kelebihan dari unsur-unsur yang membuat menarik tersebut. Namun ternyata film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata ada yang hadir dengan hampir memenuhi keseluruhan unsur untuk dinilai sebagai film yang menarik. Seperti halnya sebuah karya anak bangsa yang satu ini.

Setelah debutnya di Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) 2016 lalu, tahun ini Helvy Tiana Rosa kembali memproduseri sebuah film berjudul Duka Sedalam Cinta (DSC) yang tak lain adalah sekuel/lanjutan KMGP. Masih disutradarai Firman Syah, film ini menghadirkan sudut penceritaan yang unik. Penonton diajak melompat-lompat dari scene yang satu ke scene yang lain dengan alur yang tidak linear. Cara bercerita seperti ini sangat jarang dijumpai, terutama pada film Indonesia.

Alkisah kakak beradik Gagah-Gita terlibat konflik karena perubahan yang terjadi
dalam diri Mas Gagah yang juga memengaruhi mama dan sahabat Gita, Tika. Dengan cerdas, kreator DSC menyajikan kembali garis besar KMGP. Sehingga penonton yang tidak menyaksikan KMGP pun langsung terhubung dengan cerita.

Mendapati perubahan yang terjadi kepada orang-orang di sekitarnya, beberapa waktu kemudian sikap Gita perlahan melunak. "Dik Manis"-nya mas Gagah pun mampu menerima perubahan-perubahan yang ada. Bahkan Gita juga ingin ikut berubah. Sebuah teka-teki bergelayut di benak penonton, terlambatkah Gita?

Keindahan alam Halmahera Selatan menghiasi film yang dibintangi Aquino Umar, Masaji Wijayanto, Izzah Ajrina, dan Hamas Syahid ini. Kualitas gambar dan suara sangat detail dan jernih, hingga properti dan make up tertentu semacam jenggot Gagah menjadi terlihat tak natural. Catatan untuk film ini bahwa jika sudah menggunakan peralatan maksimal, semua sisi lain termasuk artistik dan tata rias juga harus diperhatikan dengan saksama.

Sebagai para bintang baru, empat pemeran muda film ini patut diacungi jempol. Terutama untuk Aquino Umar, pemeran Gita, yang terlihat sangat total dan mampu 'menyihir' semua penonton untuk merasakan atmosfer cerita. Saya bahkan ikut terisak-isak saat menyaksikan Gita menangis pada setidaknya dua adegan. Sedangkan tiga pemeran lainnya, meskipun masih terlihat cukup kaku pada berbagai adegan, sudah mampu menghadirkan karakter masing-masing dengan cukup baik. Terlebih dengan kehadiran pemeran kenamaan lain seperti Mathias Muchus, Wulan Guritno, Ali Syakieb, Asma Nadia, Salim A. Fillah, dan semua pendukung semakin memperkaya film yang telah diterbitkan buku puisinya dengan judul yang sama.

Hikmah bertebaran dalam film ini, pesan-pesan kebaikan tersampaikan dalam narasi dan dialog. Memang agak membosankan di bagian-bagian tertentu. Tetapi dengan dinamisnya penceritaan dan tampilan yang tak biasa, film ini puitis dengan sendirinya. Selain tentunya puitis karena narasi-narasi yang disampaikan dengan suara Masaji, Hamas, Aquino, dan Izzah. Indah dan sangat pantas disaksikan siapa saja. Sebagai sebuah hiburan pun, film ini berkelas dan mengesankan. Ingat salah satu adegan yang membuat para penonton menoleh ke kanan? Nah, tak hanya tangisan yang mewarnai film ini, gelak tawa dan senyum mengembang pun hadir di tengah saya dan para penonton lainnya.

Hanya saja, memang sineas yang terlibat dalam membuat film ini masih harus memerhatikan beberapa hal detail. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, jenggot Gagah yang sangat kentara tidak asli itu cukup mengganggu, terlebih karena kamera yang digunakan membuat gambar yang dihasilkan sangat mendetail. Selain itu, padatnya cerita di sekitar sepertiga awal film benar-benar membuat penonton tak bisa lengah sedikitpun. Bagus, tetapi menjadi tidak konsisten dengan beberapa adegan. Sebut saja adegan Gagah dan Yudi bertemu ustaz Muhammad Kasuba dan bupati, lanturan cerita pada bagian ini rasanya tak begitu penting dan terlalu berkesan dipaksakan ada. Padahal jika tidak ada adegan itu pun, keseluruhan cerita tidak terganggu.

Sebuah karya apik layar lebar tentu merupakan hasil proses yang tidak mungkin hanya sehari-dua hari. Duka Sedalam Cinta membuktikan bahwa meskipun bukan rumah produksi besar, KMGP Pictures mampu menghadirkan karya menarik yang tak sekadar tontonan tanpa pesan. Semoga hasil karya berikutnya akan semakin baik dan menjadi bagian kejayaan film dalam negeri.

Usai menyaksikan film ini, saya merasa bahwa ada sesuatu yang harus saya lakukan. Film ini hanya diberikan kesempatan sedikit sekali oleh raksasa jaringan bioskop di Indonesia. Padahal isi dan penggarapannya sangat patut ditonton oleh sebanyak mungkin orang. Maka sejak hari pertama, saya merelakan waktu, tenaga, dan biaya untuk mengajak sebanyak mungkin orang. Pejaten Village adalah tempat yang saya pilih karena lokasinya yang paling dekat dari tempat tinggal dan kantor. Meskipun tak sepenuhnya hingga akhir jadwal penayangan reguler, saya lega membersamai Duka Sedalam Cinta di dua pekan pertama penayangannya. Mendengar cerita tentang kesan para penonton setelah menyaksikan film ini, rasanya memang harus lebih banyak lagi film yang tak hanya menarik namun juga penuh pesan kebaikan.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 5 November 2017

Aku Suka Karena Kamu Pahit Seperti Kopi

Kopi itu menarik
getirnya memberikan semangat
Sebagian ada asamnya
menyegarkan
Jika suka, tambahkan gula
manisnya menambahkan rasa

Tak ubahnya mendambamu
: pahit

Tetapi benar pepatah digdaya
tentang rasa yang buta itu
: gila

Bagaimana aku tak gila?
Sudah tahu mendambamu pahit
namamu kupompa ke setiap sudut alveolus
Sudah tahu menginginkanmu getir
senyummu kualirkan ke semua arteriola

Bagaimana aku tak gila?
Wajah datang dan pergi
lebih manis, lebih menjanjikan
ketimbang kamu
Tapi nadiku bergeming

Aku mabuk!
Mabuk atas kegetiran yang ada padamu
Mabuk atas namamu yang menusuk-nusuk
arteriola jiwaku
Mabuk atas semua yang ada padamu

Aku gila!
Gila karena tak mampu menggantimu
Gila karena dekade tak mamu menghapusmu
Gila karena aku hanya ingin kamu!
.
Aku pahit
Aku getir
Aku mabuk
Aku gila
Aku hanya ingin: kamu

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 5 November 2017

#puisi #poem #poetry #sajak #sajakduka #tentangkamu #DukaSedalamCinta