Minggu, 19 November 2017

Marlina, Sampah Empat Babak

Sampah! Ya, saya bilang film ini sampah. Besutan sutradara Mouly Surya ini masuk ke daftar film yang saya sesali menyaksikannya di bioskop, setelah A Copy of My Mind tahun 2015 lalu. Memang tidak semuanya sampah plastik, ada sebagian sampah organik yang menyuburkan di film ini.

Gaya penceritaan yang unik seharusnya menjadi daya tarik film ini. Tetapi ternyata keunikan itu hanya tempelan yang entah untuk apa. Tak usah berharap bahwa empat babak di sini adalah tahap pembunuhan yang dilakukan oleh Marlina. Empat babak dalam film ini benar-benar dimaksud sebagai penggalan-penggalan cerita dengan alur linear yang sangat lambat dan menjenuhkan. Ekspektasi atas akting Marsha Timothy dan para pemeran lainnya jauh dari terpenuhi. Semua terasa biasa-biasa saja.

Sampah organik yang menjadi nilai positif film ini ‘hanya’ ada pada keberaniannya mengangkat isu sosial yang mungkin lumrah terjadi di daerah terpencil bagian Timur Indonesia. Tentang akses kendaraan yang sangat susah, tentang pelayanan publik yang amat payah, dan tentang ketertindasan kaum lemah yang begitu kentara. Selebihnya adalah sampah plastik yang membuat saya bertanya-tanya, “Masih ada produksi film seperti ini di tahun 2017?”
.
Produser Rama Adi dan Fauzan Zidni sepertinya berminat menyajikan film yang tidak biasa-biasa saja, tetapi eksekusinya membuktikan bahwa para sineas film ini masih perlu banyak belajar tentang efisiensi penceritaan, kekuatan karakter, pengambilan gambar, dan segala hal tentang pembuatan film yang tidak hanya nyeleneh tapi juga menarik untuk disaksikan. Jika dilihat empat babak yang dimaksud pun, film ini tidak bisa dibilang empat babak kecuali ada pemotongan dengan tulisan babak I, babak II, dan seterusnya. Penamaan babak pun tidak logis. Contohnya saja penulisan, “Babak I, Setengah Jam Sebelum Pembunuhan.” Isi ceritanya malah dari siang/sore hingga malam. Setengah jam durasi film, maksudnya?

Dua kali adegan pemerkosaan dengan sudut pengambilan gambar yang vulgar sekali jelas sangat mengganggu dalam film ini. Tetapi di sisi lain banyak adegan yang akan lebih menarik jika dibuat mendetail justru diambil dengan kamera dari jarak sangat jauh. Ditambah lagi mayoritas gambar statis, tripod oriented. Semakin membosankanlah film ini.

Thriller? Rasanya film ini hanya drama lamban yang minim penokohan. Saya memberikan nilai pribadi 4,5 dari 10 untuk film di bawah naungan Sinesurya Production ini. Karena memberikan nilai 3 terlalu kejam rasanya. Not recommended at all.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 19 November 2017

Tidak ada komentar: