Sabtu, 26 November 2011

Pengakuan (Eks) Mahasiswa Bandel

Saat ini, masa-masa tiga tahun menjadi mahasiswa itu seolah berkelebat dalam ingatan. Ada banyak hal manis yang bisa dikenang, dan sebetulnya juga bisa diambil pelajaran. Dan kali ini, saya ingin membuat sebuah pengakuan. Pengakuan dari seorang mantan mahasiswa yang juga calon mahasiswa (DIV/S1, S2, S3), bahwa ternyata dulu ketika menjadi Mahasiswa DIII STAN, saya terhitung bandel juga. Ternyata kuliah di kampus yang tiap semester ada yang drop out itu tidak menyurutkan kebandelan saya.

Malu? Iya juga sih. Tapi semoga ini bukan aib. Baik, berikut bentuk-bentuk bandelnya saya sebagai mahasiswa.

Tidur di Kelas

Dosen yang hanya duduk di depan kelas, membacakan buku, sesekali menulis di papan tulis, tidak interaktif. Apalagi siang-siang cuaca terik, baru makan siang pula! Wah, sedikit buaian angin sepertinya sangat lembut dan mengantarkan jiwa ke awang-awang. Melayang, terbang, dan plop! Mata tertutup, telinga semakin samar mendengar, kepala pun terangguk-angguk. Pernah bahkan sampai ngences. Iya, betul! Untung saya selalu sedia sapu tangan atau tissue di saku kemeja.

Aktivitas tidur di kelas yang paling parah ketika semester pertama. Dosen Principal Accounting namanya Cucu Pujasetia. Saya hampir selalu datang di ‘kloter’ terakhir dibandingkan teman-teman sekelas, maka saya selalu kebagian duduk di deretan bangku paling depan. Delapan belas menit pertama masih sibuk mencatat dan memperhatikan. Lalu mata mulai sayu, tangan lemas, pendengaran memudar, tidur. Posisi duduk saya sendirian di depan, tepat berhadapan dengan meja dosen. Dan ini tidurnya bukan dalam posisi duduk saja, benar-benar tertelungkup ke meja. Lucunya, Pak Cucu hanya melihat dan sesekali tersenyum. Hingga pelajaran hampir berakhir, Pak Cucu memberikan kesempatan bagi yang ingin bertanya. Parahnya, saya malah angkat tangan! Jamin dah itu teman-teman sekelas pasti ada yang jengkel.

Tidak Mengerjakan Tugas

Kebandelan yang satu ini sering terjadi di semester ketiga dan semester keempat. Aktivitas di luar kuliah yang cukup menyita waktu dan tenaga memang sering membuat saya melalaikan tugas kuliah. Sebenarnya bukan karena aktivitas-aktivitas itu, melainkan prioritas waktu saya yang tidak ditata dengan baik. Sudahlah pulang malam, buku yang dibuka bukan buku pelajaran. Ada tugas? Nanti sajalah. Ujung-ujungnya malah tertidur, tugas pun lewat. Seringnya saya kerjakan hanya sebagian. Ketika diminta mengumpulkan tugas, saya ikutan. Tapi ya itu, teman-teman satu bundelan, saya cuma tiga halaman. Itu pun kadang seenaknya saya saja menjawab, bahkan ada yang salah soal tetap saya kumpulkan.

Satu yang masih mengganjal bagi saya. Saat itu ada tugas mata kuliah Hukum Perdata dan Bisnis. Sebagai tugas akhir semester, Pak Bambang memberikan tugas membandingkan dua buah peraturan perundang-undangan. Dan parahnya, sampai sekarang saya tidak mengumpulkan tugas tersebut. Sampai sekarang, dan hanya saya seorang! Pak Bambang pun sudah tak terlihat mengajar di STAN.

Maka dari itulah, tak perlu heran semester ketiga dan keempat berturut-turut 2,87 dan 2,96. Dan saya pun teramat santai menghadapinya. Aneh, bukan?

Terlambat Kuliah

Ada-ada saja yang membuat saya terlambat kuliah. Mulai dari aktivitas kepanitiaan, terlambat mandi, nonton tv, sampai dengan sengaja memperlambat tempo berjalan. Apalagi kalau saya sudah hapal dosennya akan terlambat sekian puluh menit, makin asyik tuh petantang-petenteng. Ee...begitu saya masuk kelas, ketua kelas mengumumkan bahwa kuliahnya batal. Nah, rugi kan yang datang duluan? Logika saya memang aneh.

Pernah dulu saat kuliahnya Pak Diaz, dosen Perpajakan II, saya datang terlambat yang kebangetan. Pak Diaz memang berpesan jika ada mahasiswa yang terlambat karena suatu urusan, harap mengirimkan sms kepada beliau. Dan saya sore itu memang sedang menghadiri sebuah acara, walaupun sebenarnya bisa saya tinggalkan. Saya pun mengirimkan sms ke Pak Diaz, akan hadir menjelang jam empat sore, padahal kuliah sudah dimulai jam dua siang. Dan begitu saya datang, tidak sampai setengah jam, kuliah selesai.

Lain lagi halnya dengan Pak Luther, dosen Perpajakan I. Beliau dikenal ramah dan sebenarnya suka bercanda, meskipun dengan logat Batak-nya yang khas. Biasanya, Pak Luther ini terlambat sekitar lima belas menit, dan saya sudah hapal kebiasaan beliau. Akan tetapi suatu hari, kuliah dimulai pukul 8.00, saya tepat tiba di muka pintu kelas pukul 8.06. Pak Luther sudah di kelas, dan dua orang teman saya yang terlambat tidak diperkenankan masuk, apapun alasannya. Mendapati dua teman saya tidak diperbolehkan masuk, saya urung minta ijin masuk kelas. Saya pikir pasti saya juga tidak diperbolehkan masuk. Ya sudah, saya pulang saja. Tanpa mengetuk pintu kelas pun!

Berpenampilan Tidak Sesuai Aturan

Dalam ketentuan yang berlaku, ada aturan-aturan khusus dalam berpenampilan bagi Mahasiswa STAN. Sebut saja tentang rambut yang tidak menutupi telinga-alis-kerah baju, kemeja polos dengan pilihan warna yang ditentukan, celana katun gelap, dan sepatu. Kecuali potongan rambut, saya pernah melanggar semua itu! Di-list sajalah pakaian yang pernah saya kenakan:
  1. Kaus berkerah
  2. Kemeja batik
  3. Kemeja Panitia Dinamika 2009
  4. Celana jeans
  5. Celana gunung
  6. Sandal
  7. Baju koko
  8. Kemeja kotak-kotak

Pakaian yang tidak sempat saya gunakan adalah perpaduan jeans dan kaus oblong. Terlalu nekad juga kalau sampai kuliah dengan pakaian seperti itu.

Mendebat Direktur

Di perguruan tinggi pada umumnya, mungkin menjadi hal biasa ketika ada mahasiswa yang berunjuk rasa kepada rektor. Tetapi bagi Mahasiswa STAN, sebuah hal yang tabu dan penuh risiko untuk melakukan hal serupa kepada direktur. Saya pernah melakukannya, mendebat Pak Kusmanadji, Direktur STAN.

Saat itu saya menjadi Koordinator Pusat STAN Annual Festival 2011. Salah satu acara dalam rangkaian dies natalis STAN itu sudah fix menggunakan Gedung G. Beberapa hari menjelang acara digelar, rupanya ada kabar bahwa akan diadakan reuni Alumni STAN angkatan 1982 (angkatan Pak Kusmanadji). Hebohlah panitia, kebingungan menyiasati acara.

Sebagai koordinator pusat, saya mengambil langkah untuk menemui direktur secara langsung. Sebenarnya saya sudah yakin akan seperti apa jawaban beliau, tapi saya tetap ngotot. Hasilnya? Saya sampai panik sendiri setelah mendebat beliau, tanpa perubahan keputusan. Alhasil, hingga puncak penutupan STAN Fest 2011 pun, Pak Kusmanadji masih sangat mengenali saya dan menunjukkan sikap tidak respect. Oo, seraaam!!

Datang Paling Akhir, Pergi Paling Awal

Nah, ini kalau musim ujian. Saya tidak begitu suka menyimak perbincangan teman-teman di ruangan saat menit-menit menjelang ujian dilaksanakan, pun mendengar celotehan mereka tentang ujian yang baru dilaksanakan setelah keluar dari ruangan. Makanya, saya hampir selalu datang ujian saat pengawas sudah ada di ruangan, dan segera meninggalkan kelas jika saya rasa sudah cukup menjawab soal-soal ujian. Tak peduli meskipun belum ada satupun teman satu ruangan yang keluar.

Karena demikian lancar? Tidak juga. Sering saya menemukan jalan buntu saat menjawab soal-soal ujian. Lantas saya menjawab tanpa kaidah yang berlaku, saya buat ketentuan sendiri. Alhamdulillah, nyatanya lulus juga.

Bolos Kuliah

Ketentuan bagi Mahasiswa STAN untuk bisa mengikuti ujian adalah kehadiran tatap muka minimal 80%. Itu artinya, dalam tiap semester, ada dua sampai tiga kali kesempatan untuk tidak menghadiri perkuliahan untuk masing-masing mata kuliah. Dan selama menjadi Mahasiswa DIII STAN, hampir semua mata kuliah saya ambil ‘jatah bolos’-nya. Bahkan jika sudah akhir semester dan saya belum pernah absen di mata kuliah tertentu, malah sengaja bolos.

Alasan bolos pun bermacam-macam. Kalau sakit, itu tak bisa saya elakkan. Tapi yang lain juga sering. Bolos karena ikut unjuk rasa, menjadi panitia pemira, ikut seminar, menjadi pembawa acara, atau bahkan bolos di kuliah pagi agar bisa mengerjakan tugas untuk kuliah siang.


Ya, begitulah saya di masa kuliah DIII STAN. Tidak patut dicontoh memang, dan bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Namun demikian, saya bersyukur bisa lulus hingga yudisium dengan segala kebandelan saya sebagai mahasiswa. Mungkin masih ada yang terlewatkan dari yang saya ceritakan ini.

Akan tetapi, perlu dicatat. Kebandelan saya masih dalam batas yang bisa saya ukur. Saya memang tidak pernah mendapatkan IP/IPK cumlaude dalam tiga tahun ini, tetapi saya mengambil batas aman untuk tidak perlu dipanggil ke Sekretariat STAN karena nilai saya yang sangat rawan mendekati ambang batas drop out, misalnya. Saya memang pernah berpakaian tidak sesuai aturan, tetapi saya tahu karakter dosen saya saat saya memutuskan berpenampilan seperti itu. Saya memang mendebat direktur, tetapi saya tidak melupakan batasan-batasan komunikasi yang sopan kepada beliau.

Semoga saja kebandelan ini tidak terus-menerus melekat sebagai kebiasaan buruk. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman hidup, semoga semua itu bisa menjadi pelajaran yang mendewasakan. Ya, pelajaran dari kenangan yang tak terlupakan bahwa pernah menjadi Mahasiswa STAN dan lulus! Alhamdulillah....

­­Jurangmangu, 26 Nopember 2011.
Mari sambut psikotes dengan gembira!!

8 komentar:

Unknown mengatakan...

ini jenis tulisan yang membahayakan untuk di-publish ya =="

Unknown mengatakan...

Mungkin juga sih. Menurut Edis bahayanya di mana?

zaky mengatakan...

saya juga pernah mas beberapa hari yg lalu malah.. sengaja bolos 5 sks (2 matkul) cuma buat nonton final badminton seagames.. haha parah :D

Ahmad Sumitro Gammardi mengatakan...

udah kek gini, tetep aja dapet lebih tinggi. Gak terima!! huf.. #ngambek #pulaang

Unknown mengatakan...

Zaky. Selamat, Anda sepertinya berbakat jadi penerus saya. Hhehee....

Dirga. Hmm, ada faktor doamu juga sampe saya dapet lebih tinggi. Makasih doanya. :)

Dian Puspitasari Izzulhaq mengatakan...

bandel sekali =,=

Unknown mengatakan...

^___^

Unknown mengatakan...

Ga bandel itu ga seru, Yoo....

CONGRATS!!
Kamu berhasil menikmati hidup sbg mahasiswa...

Hah ha ha...