Jumat, 30 Juni 2017

Timbangan Angat

Libur lebaran kali ini memberi saya kesempatan membantu orangtua berjualan tomat, bawang merah, bawang putih, kentang, dan semacamnya. Tentu tak lepas dengan timbangan/dacin sebagai alat ukur komoditas yang diniagakan. Selayaknya jual beli tradisional bahan-bahan seputar dapur, pembeli terbiasa memilih dan mewadahi ke kantung plastik yang sudah disediakan hingga menimbang sendiri di timbangan yang mudah diakses dari depan.

Ketika mengawasi timbangan, sebagai penjual sangat takut jika jumlahnya kurang yang bisa saja mengurangi keberkahan jual beli. Maka seringnya agak dilebihkan sedikit dari yang seharusnya. Apalagi jika yang dibeli beberapa kilogram, diberikan diskon khusus meskipun tak begitu banyak. Bonus timbangan ini di kampung kami sering sebut 'angat'. Saya kurang tahu apakah angat ini berasal dari pengucapan sehari-hari yang diambil dari kata hangat yang di kampung kami seringnya mewakili panas (untuk makanan/minuman) atau gerah (untuk cuaca).

Seperti sudah saya ungkapkan, lebih merasa aman dengan memberikan sedikit 'timbangan angat' daripada kurang. Ternyata hal ini juga memengaruhi perilaku pembeli. Untuk sebagian pembeli menimbang pas, "Tambahlah sedikit", terlihat jelas mereka berterima kasih. Untuk sebagian pembeli yang ketika menimbang ada sedikit kelebihan, "Ambil sajalah," maka sama-sama senang. Tetapi untuk sebagian pembeli yang sukanya menawar harga dan melebihkan timbangan dengan sengaja, maka sebiji tomat berlebih pun akan saya ambil.

Timbangan angat adalah refleksi kehati-hatian berdagang sekaligus budaya kekeluargaan. Tak begitu banyak, namun memberikan arti yang mengendap di hati. Karena itu, sebagai pembeli, eloklah tahu diri. Cobalah berbelanja di supermarket, kelebihan lima puluh gram saja mengubah jumlah yang harus dibayar di kasir.

Pulau Beringin, 30 Juni 2017