Senin, 14 Februari 2011

Sejengkal Mentari


Rinai hujan masih menghiasi dedaunan di taman depan rumah. Aku tepekur, sendiri. Entah angin apa yang merasuk pagi ini. Aku merasakan keharuan yang tiada tara. Duhai, indah nian kurasa sejuknya pagi ini. Oksigen yang menyelusup hingga ke unit-unit terkecil alveolus, dan dibawa ke seluruh jaringan tubuh ini, terasa begitu nikmat dan menyegarkan.

Sudah kutunaikan pagi ini, sesuatu yang tiada terbersit dalam memori. Saat keletihan merasuki diri, pagi ini kutemukan sejuknya kembali. Hangat dan nyaman, sesegar pucuk-pucuk dedaunan di luar sana. Ya, ada sesuatu di hatiku pagi ini. Lama nian sejak dulu, dhuha telah kupanjatkan lagi.

Dan kau tahu seperti apa sosok yang kulihat di cermin? Ah, mengapa dulu pernah kucampakkan? Kurenggut mahligaiku, hanya demi kebahagiaan sesaat nan sesat. Sekarang, saat semuanya telah berubah, aku melihat sesuatu yang kembali di cerminku. Kutelusuri setiap inchi sudut cerminku, dan kulihat ada sosok yang memulai senyum merekah, indah. Sungguh sebuah senyum yang berbeda sekali dibandingkan dengan senyumku yang penuh kepalsuan, dulu. Tapi tunggu dulu, senyum itu kini memudar, berganti kesedihan mendalam.

Aku ingat, semuanya berawal dari ratapanku. Ratapan seorang gadis yang tak pernah mau mengerti arti kesabaran orang yang darahnya mengalir di tubuhku. Saat itu yang kuinginkan, hanya aku ingin bebas sekehendakku. Entah di mana pekertiku, kutinggalkan mata sayu wanita tua itu dengan penuh pongah, dengan alasan mengejar cita-citaku. Padahal apa yang kusebut cita-cita saat itu hanyalah kepalsuan dunia yang menyilaukan nuraniku. Biadab benar aku saat itu, hingga kabar bahwa ibu sakit keras pun hanya kuanggap angin lalu. Pernah ayah menyambangi kontrakanku, tapi dengan akal bulus kupenjarakan ayahku. Ya, dia ayahku, yang darahnya mengalir di urat nadiku.

Ijinkan aku merajam hatiku, mengutuk diri sendiri saat semua telah berubah. Semua sudah musnah, seperti musnahnya harapan bersujud di kaki mereka. Semuanya telah lenyap, bagaikan lenyapnya kesempatan menciumi pipi mereka.

Aku naif, sungguh aku telah durhaka. Kiranya benar bahwa tanpa restu semuanya semu. Memang telah kutemukan apa yang dulu kusebut cita-cita. Saat itu, cita-citaku adalah meninggalkan madrasah, berangkat ke ibu kota, menjadi terkenal dan berlimpah harta. Sudah kudapatkan, malah berlebih. Aku seperti terlahir kembali dalam kehidupan baru, tanpa bayang-bayang potret kemiskinan orangtuaku. Kutemukan lelaki yang menjadi pujaan hatiku, kudapatkan dua putra yang menghibur hari-hari hampaku, bahkan kudapatkan lagi seorang putri yang enam bulan ini telah menghuni rahimku. Tapi itu semua kepalsuan, tak ada yang benar-benar membahagiakan.

Tiga bulan terakhir, satu per satu kebahagiaan semu itu luntur. Bermula saat suatu malam putraku yang pertama diantar pulang oleh dua orang temannya. Anakku mabuk berat! Dan yang lebih menyedihkan, sekujur tubuhnya lebam lantaran dikeroyok segerombolan preman. Sedih, kecewa, bingung, bercampur menjadi satu. Suamiku sedang ditugaskan keluar kota, putraku yang kedua sedang berkemah bersama teman-temannya di Cibubur.

Esok harinya, pagi-pagi kubawa putra pertamaku ke rumah sakit. Dokter mendiagnosis ada dua rusuk kanan yang remuk dan harus segera dioperasi. Kusetujui saja, aku masih punya sisa honor bermain sinetron sebelum kuputuskan istirahat karena hamil. Aku terus menghubungi suami, tapi hand phone-nya selalu tidak aktif. Kupikir memang karena di sana agenda kerjanya banyak, maka sengaja hand phone dimatikan agar tidak mengganggu. Baiklah, sms cukuplah untuk memberitahukan keadaan putra pertama kami.

Tiga jam operasi berjalan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa penanganan medis selesai. Aku masih berusaha menunggu, pembantuku kuminta menyiapkan segala keperluan yang kami perlukan selama di rumah sakit. Setelah lima jam, dokter bedah yang menangani putraku meminta untuk berbicara di ruangannya. Kuikuti saja langkah dokter paruh baya itu. Lalu kabar menghenyakkan kuterima. Ternyata bukan hanya rusuknya yang patah, melainkan organ hatinya juga mengalami kerusakan akibat terlalu banyak mengonsumsi obat. Ternyata selama ini putraku mengonsumsi obat penenang dalam dosis besar. Tindakan operasi lebih lanjut harus dilakukan, tapi dengan risiko kematian. Kabut tebal menghiasi pikiranku, petir menggelegar menyambar jantungku, aku pingsan.

Pertama kali yang kulihat saat kubuka mataku adalah langit-langit ruangan yang putih bersih, dengan pencahayaan yang cukup terang. Ternyata setengah jam aku terbaring di UGD. Setelah mengecek kondisiku, dokter memperbolehkanku kembali melihat anakku. Tanpa terlalu banyak berpikir, kusetujui operasi berlanjut, apapun risikonya.

Kutelusuri lagi setiap sudut cerminku. Kulihat sosok itu, sembab. Sosok yang sering menghiasi layar kaca dengan berbagai lakon yang mendatangkan ratusan juta rupiah. Hingga bukan masalah jika harus membeli seratus cermin semacam ini. Sedikit kupalingkan wajah ke jendela, matahari sejengkal jaraknya dari garis horizon. Kulihat jam dinding, jarum menitnya baru bergeser satu garis dalam lamunan panjangku tadi.

Putra pertamaku hanya tujuh jam di rumah sakit. Selebihnya, kami diperbolehkan membawanya pulang. Tidak dengan taksi, tidak pula dengan mobil pribadi, melainkan dengan ambulans. Tak hentinya hujan membasahi hati, saat rumah telah penuh oleh kerabat, baik yang dekat maupun yang sok dekat. Tak seorang pun di antara mereka yang benar-benar kerabat yang bertalian darah denganku. Yang ada hanya mertua dan saudara-saudara iparku, yang sekian tahun mengetahui bahwa aku yatim piatu. Padahal dulu masih lengkap orangtuaku, saat aku mengenal suamiku pertama kalinya.

Tamu terus berdatangan, putra pertamaku telah disholatkan. Aku mendapati kenyataan pahit lagi. Di sampingku, pembantuku yang belum bersuami itu mual-mual dan muntah. Ibu mertuaku dengan instingnya mencurigai pembantuku hamil. Tanpa ampun ia paksa untuk mengetes pembantuku itu. Benar adanya, dan ia mengakui bahwa suamiku yang telah menggaulinya berulang kali. Petir menyambar, aku pingsan lagi.

Siuman bukan membuatku lega, malah kesedihan menyayat terus merambat dalam hati. Betapa tidak? Tamu masih juga berdatangan, putra keduaku dibawa pulang dalam bentuk jenazah juga. Overdosis, demikianlah kabarnya. Kering sudah air mataku, sungguh hari yang penuh badai. Kudengar sudah ada yang menyusul suamiku, membawa kembali harapanku yang tinggal satu-satunya.

Mendung menghampiri, sejengkal mentariku bersembunyi ditutupi awan. Bulir-bulir air mulai turun lagi. Kulihat cerminku, sosok itupun menangis lagi. Basah sudah kain yang menutupi dadanya, menyemburatkan kesedihan yang tiada terbayar.

Hari itu sungguh badai elnino yang tak terampuni. Kabar hina yang menistakan keluarga kami, datang di saat ketua putraku baru saja dimakamkan. Suamiku tercinta, menghiasi segenap stasiun tv dengan kabar tertangkapnya seorang pengusaha yang terlibat penggelapan pajak. Ironisnya, ia tertangkap di sebuah hotel dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Ya, lelaki itu adalah suamiku, dan wanita itu adalah lawan mainku di sinetron terbaru kami. Dulu, wanita itulah yang telah memperkenalkanku dengan suamiku untuk yang pertama kali.

Untuk pingsan pun aku sudah tak sanggup. Aku menangis, layaknya seorang wanita. Tapi tangisku tanpa suara, hanya linangan air mata yang terus mengalir deras. Ratapanku kini benar-benar sebuah ratapan atas kehancuran yang tak berujung. Belum kering tanah kuburan kedua putraku, kubanjiri dengan nyanyian hati yang bersahut-sahut menggema, pilu.

Tepat saat ini, di depan cermin ini, kudapati sosok yang sangat kukenali. Dulu, seperti inilah penampilanku. Berjilbab rapi, tertutup rapat. Dulu, mahkota ini kucampakkan demi keindahan semu. Hari ini, kukenakan lagi semuanya. Seperti dulu lagi. Hanya saja, sekarang memang semua telah berubah. Tak ada lagi ibu, pun ayah yang kudurhakai. Tapi aku di sini, masih bernapas, memenuhi segenap alveolus dengan udara sejuk di rumah tua ini. Saat semua telah tergadai, kuputuskan menapaki hari di rumah ini, rumah yang dulu kutinggalkan, rumah yang penuh kenangan. Di sisa-sisa hari menanti kehadiran putriku. Aku menoleh ke arah jendela, mendung telah sirna. Sejengkal mentariku merambat naik. Ingin kuulangi dhuha-ku, sekali lagi.

Jurangmangu, 14 Pebruari 2011. Mari biasakan sholat dhuha!!

Sumber gambar: http://konsultasisyariah.com/waktu-dhuha