Kamis, 12 Januari 2017

Balada Sayu

Ada gemericik teramat gagu
pada senja-senja yang kudaki
Sejak kugadaikan tembok angkuh
dan kutukar dengan desau tanpa warna

Ada semilir teramat hampa
pada malam-malam yang kuselami
Sejak kuniagakan menara ego
dan kutukar dengan mimpi tanpa cahaya

Pada rinai yang parau
Pada deras yang risau
Pada badai yang sengau
Aku bercengkrama, menerka-nerka
akhir semua balada sayu

Apa kata yang lebih tajam daripada rindu? Apa diftong yang lebih menyayat daripada kau? Apa duka yang lebih dalam daripada kita?

Sedangkan detik, lambat nian ia sampai

Dio Agung Purwanto
12 Januari 2016

Penghujung Januari Empat Tahun Lalu

Kukirimkan tanda tanya
Kau balas tanda seru
Lalu titik-titik panjang
Kemudian datanglah koma
Spasi yang sangat luas
kosong, bisu, dan tanpa ujung
Lalu tiba-tiba kalimat hadir
Kembali titik-titik panjang

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 12 Januari 2017

Minggu, 08 Januari 2017

Tadi Malam

Katamu bensin naik itu kejam, tadi malam
Katamu listrik naik itu sadis, tadi malam
Katamu uang ada kita tinggal kerja, tadi malam

Aku bangun pagi ini
penuh gempita berseri-seri
Kusampirkan harapan di depan
toko tua kami
Secerah pagi ini, toko pasti ramai sekali
Seceria tadi malam, bintang kerlip sekali

Dua tiga kereta lalu
Tanpa kuda, tanpa mesin
Hanya ada muatan bisu
Jerami kapitalis yang sebagiannya abu

Dua tiga gerobak lalu
Tanpa roda, tanpa gagang kayu
Hanya ada muatan tuli
Sampah busuk intrik politik

Aku gagu di depan tokoku
Ke mana hati?
Biasanya dia lewat berjualan roti
Ke mana malu?
Biasanya dia lalang berniaga susu

Ah, jangan bilang...

Bergegas kususul kereta dan gerobak
Terseok-seok kupanggul harapan
Hingga terkejar
Akupun hanya bisa gagu

Ya, muatan tuli dan bisu
adalah roti dan susu
yang ada dalam mimpiku
tadi malam

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 5 Januari 2017