Minggu, 18 Desember 2016

Rafli, Nania, dan Dongeng Pengantar Tidur


Saat mendapatkan kabar cerita ini difilmkan, saya sempat bertanya-tanya. Dari sekian banyak cerita karya Asma Nadia, mengapa Cinta Laki-Laki Biasa yang diangkat ke layar lebar? Apalagi di saat yang hampir bersamaan digarap pula SYTD2, sekuel Surga Yang Tak Dirindukan yang merupakan film favorit saya di antara film-film lain yang diangkat dari karya penulis langganan Writers in Residence ini. Sampai akhirnya menjelang akhir tahun, film ini diumumkan untuk tayang mulai 1 Desember 2016 di bioskop-bioskop. Sebagai penikmat film dan orang yang mengagumi sang penulis cerita, saya menyaksikan besutan sutradara Guntur Soeharjanto ini di hari pertama tayang. Agak terkejut karena peminatnya di XXI Blok M Square ternyata cukup banyak, belakangan saya ketahui sebagian besar penonton yang bersama saya saat itu adalah Devalova (sebutan untuk para penggemar Deva Mahenra) dan Velovers Family (sebutan untuk para penggemar Vaelove Vexia). Sebelum saya bahas lebih lanjut, inilah sinopsis Cinta Laki-Laki Biasa sebagaimana dicantumkan pada 21cineplex.com, website resmi grup Cinema 21.

Nania Dinda Wirawan (Velove Vexia) bertemu dengan Muhammad Rafli Imani (Deva Mahenra) di kala Rafli menjadi mentor saat Nania melakukan kerja praktek di proyek pembangunan rumah sederhana. Nania tidak saja mendapatkan bimbingan mengenai ilmu membangun rumah, tapi juga tuntunan untuk menjalani hidup yang lebih penuh arti, bahwa kebahagiaan tidak dibangun dalam kemewahan, tapi kesederhanaan yang diwarnai keakraban dan ketulusan.

Tidak ada yang mengira bahwa akhirnya Nania mau menerima lamaran Rafli. Padahal secara status sosial, mereka berbeda bagai bumi dan langit. Nania berasal dari keluarga terpandang. Sedangkan Rafli hanyalah laki-laki biasa. Tidak heran jika ibu Nania (Ira Wibowo) menentang keras, demikian juga ketiga kakak perempuannya (Dewi Rezer, Fanny Fabriana, Donita) yang sukses menikah dengan laki-laki yang mapan (Agus Kuncoro, Uli Herdinansyah, Adi Nugroho) secara bibit, bebet, bobot, dimata ibunya. Apalagi Nania sudah akan dijodohkan dengan Tyo Handoko (Nino Fernandez), seorang dokter yang memiliki jaminan masa depan yang sukses. Berbagai usaha, baik halus dan kasar dilancarkan untuk membatalkan niat Nania, tapi Nania tidak goyah, dia percaya bahwa hanya dengan Rafli, hidupnya akan bahagia.

Namun bahkan setelah Nania dan Rafli menikah, dan dikaruniai dua anak, Yasmin dan Yusuf, keduanya harus melalui berbagai tekanan dan cobaan yang tidak ada habisnya. Rafli harus berjuang untuk membuktikan pada Nania, dan semua yang melecehkannya bahwa sekalipun dia hanya laki-laki biasa, tapi cinta yang dimilikinya adalah cinta luar biasa.

Dongeng sekali, bukan? Ada pemuda biasa, bertemu anak orang kaya/bangsawan, saling jatuh cinta, lalu menikah tentu dengan berbagai tentangan dari orang-orang di sekeliling mereka. Demikian yang ada dalam pikiran saya saat itu, masih beranggapan tiga besar film dari cerita karya Asma Nadia itu adalah:
  1. Surga Yang Tak Dirindukan
  2. Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea
  3. Rumah Tanpa Jendela

Walaupun ada teman yang mempertanyakan mengapa Assalamu’alaikum Beijing tidak masuk tiga besar, toh sah-sah saja saya mengurutkan seperti ini, bukan?

Sumber gambar: 21cineplex.com
Usai menyaksikan Cinta Laki-Laki Biasa pertama kali, saya tidak mampu langsung berdiri. Sepanjang film, segala gengsi sebagai lelaki luntur sudah. Saya menangis, bahkan pada adegan tertentu sampai  sesenggukan. Ternyata bukan hanya saya, semua penonton terlihat sayu, matanya sembab, bahkan hingga film usai pun masih ada yang berurai air mata. Sungguh di luar ekspektasi! Tanpa ragu, saya langsung memperbaiki ranking saya atas film-film dari karya Asma Nadia. Cinta Laki-Laki Biasa langsung menempati urutan pertama dengan skor yang jauh melampaui Surga Yang Tak Dirindukan. Apa pasal? Ada banyak keberhasilan film dengan cerita biasa ini menjelma luar biasa. Bahkan kemudian saya menyaksikan film ini berulang kali, mengajak orang sebanyak mungkin.

Kekuatan karakter sangat terasa dalam film ini. Sebutlah saja pemilihan nama Muhammad Rafli Imani yang demikian menggambarkan dari keluarga sederhana (Muhammad di awal nama adalah hal yang sangat lumrah dan ‘pasaran’ di masyarakat Indonesia, tanpa maksud merendahkan nama Baginda Nabi) dan Nania Dinda Wirawan yang memperkuat karakter dari keluarga terpandang putri pak Wirawan. PIlihan mobil, pakaian, rumah, bahkan handphone yang terkesan ‘antik’ juga kekuatan bagi sosok Rafli sebagai laki-laki biasa. Di sisi lain, kehadiran tiga kakak Nania memberikan perbandingan karakter yang nyata dengan si bungsu. Ini tidak terhenti pada karakter tokoh utama saja. Semua tokoh pada film ini berperan penting dalam membangun cerita.

Selain karakter, unsur lain yang tentu sangat penting adalah cerita itu sendiri. Dengan alur yang hampir semuanya linear, film ini mudah dipahami. Namun dibalik kemudahan pemahaman itu, penonton dibawa hanyut adegan per adegan. Pun hampir tidak ada adegan yang tidak perlu. Alim Sudio berhasil menuangkan cerita ini ke dalam skenario yang mengesankan, jauh melampaui Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea yang juga ia tulis skenarionya dan disutradarai oleh orang yang sama.
Pemandangan? Apa lagi yang kurang dari sejuknya pemandangan Pengalengan yang hijau dan sangat meneduhkan? Salah satu unsur daya tarik sebuah film berhasil dirangkum dengan porsi yang pas dalam film ini. Tidak berlebihan, namun juga tidak terkesan hanya tempelan.

Lalu tentu saja akting pemainnya sangat penting dalam menjadikan sebuah film dinilai bagus atau tidak. Menyaksikan film-film sebelumnya, saya sama sekali tidak menyangka Deva Mahenra berkolaborasi demikian apik dengan Vaelo Vexia dalam film ini. Ini adalah akting terbaik mereka sejauh ini. Raut wajah, gerak-gerik, dialog, bahkan lirikan mata pun demikian sukses mereka perankan. Tidak ketinggalan peran pendukung semisal Nino Fernandez yang sukses membuat penonton sempat berburuk sangka lalu malah mengacungi jempol kepada tokoh Tyo Handoko, pun Muhadkly Acho sebagai Tolle Syukur yang berkali-kali membuat penonton tertawa tanpa lawakan. Kalau akting pemeran seniornya sih tidak usah ditanya lagi. Cok Simbara, Dewi Yull, dan Ira Wibowo juga ikut memainkan emosi penonton campur aduk dengan peran mereka.

Nah, bagaimana pesan di dalamnya? Bukankah ini disebut juga film Islami yang diangkat dari cerita salah satu dari 500 Muslim Berpengaruh Dunia? Tentu harus ada pesan-pesan dakwah di dalamnya, kan? Ternyata, satu lagi kecerdasan film ini. Pesan-pesan di dalamnya disampaikan dengan santai, masuk ke dalam cerita, dan mudah dicerna. Tanpa begitu disadari, penonton diberikan pesan-pesan yang sesungguhnya sangat Islami. Tentang harta yang sebagiannya milik orang lain, tentang Islam cinta damai, tentang jilbab, tentang kesabaran, tentang penghormatan terhadap orangtua, tentang pendidikan anak, tentang keharmonisan rumah tangga, dan masih banyak lagi.

Dari tadi membahas kelebihannya melulu, lantas apa yang kekurangan dari film ini?

Sebenarnya terlalu jauh kalau disebut kekurangan dari film ini, karena pada dasarnya hal-hal itu sangat bisa dimaklumi dalam sebuah industri film. Apalagi kepiawaian akting para pemerannya sangat menutupi dan membuat kekurangan-kekurangan itu termaafkan.

Di antara hal yang aneh dalam film ini adalah Yasmin yang dilahirkan secara prematur. Lalu mengapa pada adegan Rafli dan Nania memandangi dari balik kaca terlihat sebagai bayi normal dengan ukuran tubuh bukan seperti bayi baru lahir? Pun Nania yang langsung bisa berjalan tanpa dipapah, padahal baru sadar setelah kemarin diberikan tindakan operasi caesar yang tentunya menyisakan luka yang membuat kesulitan berjalan. Tapi untuk kasus ini termaafkan karena anggaplah obat bius dan pereda nyeri di rumah sakit mahal bekerja sangat efektif, lagipula Nania berjalan pelan dan sempat mengaduh.

Agak kurang logis juga mengapa Nania dengan mudah mengingat Dokter Tyo, sementara suaminya sendiri tidak ia kenali? Tapi ternyata termaafkan karena jelas sekali penampilannya dokter dan menggunakan badge nama “Tyo Handoko” yang sangat mudah terbaca. Demikian juga agak kurang logis dengan anak Tolle dan Ida yang berusia sekitar dua tahun tapi sudah seperti sekitar empat tahun saat adegan singkat Tolle mengangkatnya untuk melambaikan tangan kepada Rafli.

Tapi lagi-lagi, kekurangan-kekurangan seperti ini lumrah, dapat diterima, dan tertutupi oleh adegan para pemainnya. Bukan hanya pemeran dewasa, Messi Gusti yang memerankan Yasmin pun turut mendapatkan perhatian istimewa dari para penonton. Tidak banyak aktris cilik bisa berperan sedemikian apik, bahkan menangisnya pun terlihat begitu nyata.

Akhir kata, saya mencoba memberikan nilai dalam angka. Dalam rentang 1 sampai dengan 10, saya memberikan nilai 9,83 untuk Film Cinta Laki-Laki Biasa. Itu artinya saya juga sangat merekomendasikan siapapun untuk menyimak film ini minimal satu kali di bioskop. Oh, ya. Jangan lupa bawa selampai atau tisu sebelum masuk bioskop yang menayangkan film ini. Untuk para laki-laki yang mungkin gengsi, pakai kaus lengan panjang saja yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk beberapa kali mengusap air mata.

Ternyata benar ini dongeng pengantar tidur. Berhari-hari setelah menyaksikan film ini, masih terngiang-ngiang. Teringat sebelum tidur, bahkan terbawa dalam mimpi.

Dio Agung Purwanto

Bintaro, 18 Desember 2016

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Setuju sekali, Kang.
Kekurangan yang lumrah, tertutupi oleh bagusnya peran para cast.
sangat suka aktingny yasmin ❤
suka terus dengan karya2 bunda Asma Nadia, selalu ada kejutan. Awesome pokoknya.