Selasa, 07 Juni 2011

Aku dan Untukmu Syuhada


Suatu sore di SMA-ku, pernah air mataku mengalir. Aku tak tahu persis detail pikiranku saat itu, yang pasti kekalutan menyelimuti semua asa. Namun aku ingat betul posisiku saat itu, berdiri menyandarkan bahu dan kepala di tiang depan pintu kelas yang saat itu disebut sebagai Ruang Bahasa Indonesia. Menghadap serong ke lapangan basket yang sepi, aku cukup menikmati suasana sore itu. Di masjid sekolah yang tak jauh dari tempatku berdiri, beberapa teman masih sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang membaca, ada yang bercengkrama, ada pula yang masih menyelesaikan tugas membersihkan masjid.

Senandung itu, ya, senandung itu masih melekat dalam ingatanku. Sore yang membiru dalam hatiku itu ditemani oleh sebuah senandung dari Izzatul Islam, Untukmu Syuhada, dari tape-recorder di dalam masjid. Sungguh, air mataku mengucur saat itu. Ada sebuah keharuan yang membuncah dalam dada. Bahwa saat itu aku adalah generasi tertua siswa SMA Plus Negeri 4 OKU, bahwa sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah itu, bahwa banyak sekali rencanaku yang tak terlaksana saat SMA dulu!! Dan hal yang membuat air mata mengalir semakin deras sore itu, bagaimana dengan masa depanku?

Bukan khawatir tidak mendapatkan tempat kuliah, bukan pula bingung melangkahkan kaki menapak masa depan mau ke mana. Karena saat itu diri ini memang memiliki optimisme tingkat tinggi, selalu yakin bahwa aku bisa mendapatkan jalanku. Apalagi tiket masuk FKIP Pendidikan Ekonomi Akuntansi di Universitas Sriwijaya telah kukantongi. Hal yang membuatku khawatir adalah warna jalanku kelak. Masihkah aku akan mengenal Izzatul Islam dengan senandung-senandungnya yang selalu menyemangati di kala keceriaan meredup? Apakah nanti aku bisa mempertahankan idealisme dan komitmenku yang kubangun keping demi keping? Atau mungkin malah aku akan terbawa arus yang selalu dengan ganasnya menggilas pribadi-pribadi yang dengan mudahnya melunturkan segala kepribadian yang dibangun sudut demi sudut itu? Ah...Untukmu Syuhada memang selalu bisa membuatku terenyuh.

Kehidupan bagaikan roda, seribu zaman terus berputar.
Namun satu tak akan pudar, cahaya Allah tetap membahana.
Duh Gusti, apakah diri ini kelak akan terlindas putaran roda kehidupan?

Majulah Sahabat mulia, berpisah bukan akhir segalanya.
Lepas jiwa terbang mengangkasa, cita kita tetap satu jua.
Ya Rabbi, apakah diri ini akan tetap berkomitmen membangun diri di jalan yang sama dengan saudara-saudaraku para penebar manfaat? Atau mungkin kelak diri ini mengkhianati cita-cita bersama itu?

Aku tahu, ada seseorang yang memerhatikan tangisku sore itu. Ingin kuhentikan, tapi tak bisa kubendung tangis itu. Biarkanlah saudaraku itu, mungkin yang lain pun, tahu bahwa aku bahagia bersama mereka dan merasakan kesedihan harus berpisah. Dan sore itu berlalu dengan diriku yang seolah tak mau meninggalkan tempat penuh kenangan itu.
Aku paham tipikal diri ini yang memiliki kecenderungan mengikuti dunia glamour. Berada tak jauh dari pusat peradaban Nusantara, apakah itu berarti aku akan menjadi seseorang yang mengejar hedonitas ibukota? Lalu akan kucampakkan ke mana keping-keping komitmen dan idealisme yang kusatukan selama ini?

Benar adanya bahwa mengikuti berbagai casting, menjadi populer di jagad entertainment, adalah mimpi yang sempat bergelayutan dalam jiwa mudaku. Tapi naluriku tidak mau jika sampai hal itu terjadi, karena kutahu akan banyak syariat yang kulanggar demi semua itu. Sudah pahamlah aku tentang dunia belakang panggung yang kebanyakan tak kenal malu saat berganti pakaian, menjadi hal yang wajib untuk bersinggungan sangat banyak dengan lawan jenis yang bukan mahram, bahkan sangat rentan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.

Oh, tidak! Aku bukan takut jika aku tidak terpilih dan tidak menjadi terkenal, aku justru takut jika hal itu benar-benar bisa kudapatkan! Bermain sinetron atau FTV dengan adegan berpacaran, berpelukan, bergenggaman tangan? Waraskah aku jika mengunggulkan ketenaran daripada kebersihan diri ini? Belum lagi jika dengan semua ketenaran itu, aku harus mengorbankan keberadaanku sebagai mahasiswa lantaran segudang aktivitas karier entertainment-ku. Sama sekali tidak, aku masih cukup waras untuk menghindari semua itu.

Tapi seberapa lama aku bisa bertahan dengan komitmenku? Bagaimana caranya agar aku bisa terus memupuk pemahaman dan keteguhan memegang prinsipku? Jika derasnya arus hedonitas ibukota terus melanda, bukan tidak mungkin jika aku benar-benar terjerumus ke dalam semua yang kukhawatirkan itu.

Nanti dulu! Seburuk itukah kondisi yang akan kuhadapi? Belum juga kulaksanakan daftar ulang, masih ada banyak kemungkinan. Asalkan ada keteguhan, bukankah ada jalan? Aku masih berstatus sebagai Mahasiswa Unsri saat kegundahan itu memeras air mata, tak ingin meninggalkan kampus dengan tagline “Ilmu Alat Pengabdian” itu. Sudah kurancang banyak hal untuk menempuh segala tantangan di kampus itu. Jika saja lidahku tiada kelu, tentu ayah dan ibuku dulu telah paham bahwa inilah yang membuatku keukeuh tak mau berpindah ke STAN, dulu.

Bersingkat dalam cerita, kuseberangi Selat Sunda untuk memenuhi kelulusanku dalam USM STAN. Saking kurang berpenuhnya hati, ijazah asli yang harusnya dibawa, tertinggal di Sumatera sana. Dengan sedikit negosiasi, murni negosiasi, akhirnya diperbolehkan dengan catatan aku harus segera melapor saat perkuliahan pertama. Nyatanya laporan itu tak pernah terjadi, dan aku bertahan di STAN hingga kini.

Jauh dari sore itu, sampailah aku pada sebuah tempat yang tak pernah serius kudambakan. Aku terdampar dalam kesendirian, menjadi mahasiswa baru di kampus yang tidak ada sama sekali teman SMA-ku. Kekhawatiran itu sungguh memuncak, Untukmu Syuhada bergema tiada henti di relung hatiku. Duhai Allah, inikah saatnya aku bermetamorfosis menjadi seorang Dio Agung Purwanto yang baru? Apakah benar jika aku akan menanggalkan semua identitas kepribadianku?
Sahabat, kami rela kau pergi.
Jihad kita ‘kan terus bersemi.
Ya, benar. Sahabatku di Unsri sana, tetap diriku dengan senandung Untukmu Syuhada. Kita memang terpaut jarak, namun cita-cita kita tetap sama. Alhamdulillah, telah dipertemukan kepadaku saudara-saudaraku yang luar biasa di STAN. Sahabat yang selalu membuatku teguh, tetap pada prinsip. Tak perlu aku ragu, karena perjalanan di kampus ini telah begitu banyak mewarnai kehidupanku.

Cukuplah aku dikenal orang dengan keterlibatanku dalam berorganisasi. Cukuplah aku dikenal dengan kontribusiku dalam kepanitiaan-kepanitiaan. Cukuplah aku dikenal sebagai pembawa acara atau moderator dalam berbagai event. Cukuplah aku dikenal sebagai penyiar radio komunitas bernafas Islam. Cukuplah, karena semua itu jauh melebihi cukup bagiku. Aku tetap pada prinsipku, dan aku tetap berkembang sesuai duniaku.

Bidadari nan bermata jeli, menyongsong dengan wajah berseri.

Ah, sebelum tulisanku menyimpang ke tema lain, lebih baik kusudahi saja. Untukmu Syuhada, bergema dalam sanubari. Terima kasih atas semua warna itu. Tak kurang dari dua bulan lagi, ingin kucecap indahnya Ramadhan, masih di kampus tercinta ini.

Jurangmangu, pukul satu pagi di 7 Juni 2011.
Gambar: http://smandarohis.blogspot.com/2009/10/download-nasyid.html