Selasa, 30 Mei 2017

Berdosakah Ia yang Berjilbab?

Reaksi seperti apa yang kita sampaikan ketika seorang muslimah melepaskan jilbabnya saat bekerja, lalu menggunakannya kembali selepas bekerja? Sebagian dari kita mungkin akan memandang sinis, jilbab kok main-mainan? Sebagian lagi akan dengan mudahnya melontarkan ucapan untuk resign saja dari pekerjaan tersebut lalu bekerja di tempat yang mengizinkan berjilbab. Sebagian yang lain akan menambahi dengan ancaman neraka, ketidakridaan Allah, dan semacamnya. Namun, berapa banyak dari kita yang mencoba memandang sisi baiknya?

Beberapa waktu silam saya terkesan dengan sebuah unggahan Instagram dari akun milik pesohor senior negeri ini, "Tante Dewi" sapaan akrab saya saat bertemu sapa dengan pelantun Kau Bukan Dirimu itu. Dalam unggahan itu, tante Dewi berpose bersama seorang perempuan yang dalam keterangan gambarnya adalah petugas valet parking. Penggiat komunitas difabel ini memuji keuletan perempuan itu yang rela melepas jilbab, lalu mengenakannya lagi seusai giliran bekerja, seraya melontarkan harapan agar ia mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Sejuk, adem!

Bahwa menutup aurat bagi perempuan (dan laki-laki) muslim itu wajib, benar. Tetapi Islam juga mengajarkan untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Bukankah setidaknya perempuan yang berpose bersama tante Dewi itu sudah tergerak mengenakan jilbab?

Terkait tempatnya bekerja yang zalim melarang penggunaan jilbab, itu beda perkara. Kita tidak bisa serta-merta menyarankan orang lain berhenti bekerja untuk mencari pekerjaan di tempat lain, karena kita tidak pernah benar-benar tahu dapur rumah orang lain. Apakah kita sanggup menanggung biaya hidupnya dan orang-orang yang selama ini ia topang saat ia terlunta-lunta belum mendapatkan pekerjaan lain sementara pekerjaan yang sekarang sudah dilepas? Kalau kita baru bisa nyinyir atas lepas pasang jilbabnya, baiklah kita diam dan doakan saja. Sambil terus 'merangkul' dan menunjukkan bahwa ia memiliki saudara-saudara seiman yang sangat ingin kebaikan pada dirinya.

Bintaro, 30 Mei 2017

Minggu, 28 Mei 2017

Menjadi Imam di Pusat Perbelanjaan

Salat di musala pada pusat perbelanjaan tentu berbeda kondisinya dengan di masjid yang memang luas dan memiliki dewan kemakmuran sendiri. Area yang sempit, fasilitas wudu seadanya, terkadang juga pengap dan panas karena posisinya di tempat parkir. Suasana yang kurang mendukung ini seringkali ditambah jamaah yang berlama-lama wudu serta imam salat yang tidak mumpuni. Seyogianya para pemuda mengambil kesempatan ini untuk menjadi bagian yang mempermudah urusan orang lain.

Saat berwudu pada kondisi sempit demikian, segerakanlah dengan hanya membasuh satu kali pada masing-masing bagian wudu. Tidak perlu berlama-lama melaksanakan bagian sunnah seolah-olah berada di fasilitas wudu yang lapang. Apalagi di waktu salat Magrib yang sangat singkat, mengurangi sekian detik waktu wudu kita berarti memberikan kesempatan lebih kepada orang lain.

Perkara wudu selesai, pelaksanaan salat pun sering memperburuk keadaan. Karena ewuh pekewuh, para pemuda yang sebenarnya lancar membaca Alquran umumnya mempersilakan bapak-bapak yang terlihat lebih tua untuk mengimami. Padahal, para pemuda yang bacaannya lancar dan suaranya lantang justru diperlukan demi kelancaran ibadah di tempat sesak demikian.

Jangan menunggu lama-lama saling mempersilakan, segera ambil posisi dan isyaratkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Rakaat pertama, bacalah ayat yang agak panjang. Misalnya An-Naba atau An-Nazi’at ayat 1 hingga 18. Mengapa agak panjang? Karena perlu memberikan kesempatan jamaah lain untuk mengikuti salat sejak rakaat pertama sehingga meminimalkan makmum yang masbuk. Pada akhirnya nanti setelah salat selesai, barisan belakang tidak terlalu banyak yang melanjutkan salat untuk melengkapi rakaat, sehingga tidak banyak halangan dari jamaah barisan depan untuk keluar agar musala bisa digunakan rombongan jamaah berikutnya. Sementara itu untuk rakaat kedua dan seterusnya, sesuaikan saja agar tidak terlalu lama namun juga tidak tergesa-gesa.

Selain panjangnya bacaan, lantangnya suara juga perlu diperhatikan. Pastikan suara imam mampu menjangkau semua barisan salat. Karena biasanya tidak menggunakan pengeras suara, maka imam yang masih muda lebih pantas karena pada umumnya bisa lebih lantang suaranya. Terutama pada isyarat-isyarat takbir di antara gerakan-gerakan salat agar tidak ada makmum yang tertinggal.

Seusai salat, maka sebaiknya bergegaslah meninggalkan musala agar dapat dimanfaatkan rombongan jamaah berikutnya. Zikirnya di luar saja. Salat rawatib dilewatkan dahulu, jangan oportunis dengan menunaikan salat rawatib sedangkan musala dibutuhkan rombongan jamah berikutnya.

Pemuda itu harus responsif, mampu melihat dan menindaklanjuti keadaan dengan cepat dan cermat. Benar bahwa amalan sunnah itu dianjurkan, tetapi memberikan kesempatan saudara-saudara kita ikut beribadah juga adalah hal mulia. Kalau mau rawatib, zikir dan doa yang panjang, nanti saja ketika salat di masjid nan lapang. Ini bukan fikih, hanya buah pemikiran atas pengamatan terhadap fenomena. Wallahu a’lam bisshawab….

Bintaro, 28 Mei 2017.