Minggu, 28 Mei 2017

Menjadi Imam di Pusat Perbelanjaan

Salat di musala pada pusat perbelanjaan tentu berbeda kondisinya dengan di masjid yang memang luas dan memiliki dewan kemakmuran sendiri. Area yang sempit, fasilitas wudu seadanya, terkadang juga pengap dan panas karena posisinya di tempat parkir. Suasana yang kurang mendukung ini seringkali ditambah jamaah yang berlama-lama wudu serta imam salat yang tidak mumpuni. Seyogianya para pemuda mengambil kesempatan ini untuk menjadi bagian yang mempermudah urusan orang lain.

Saat berwudu pada kondisi sempit demikian, segerakanlah dengan hanya membasuh satu kali pada masing-masing bagian wudu. Tidak perlu berlama-lama melaksanakan bagian sunnah seolah-olah berada di fasilitas wudu yang lapang. Apalagi di waktu salat Magrib yang sangat singkat, mengurangi sekian detik waktu wudu kita berarti memberikan kesempatan lebih kepada orang lain.

Perkara wudu selesai, pelaksanaan salat pun sering memperburuk keadaan. Karena ewuh pekewuh, para pemuda yang sebenarnya lancar membaca Alquran umumnya mempersilakan bapak-bapak yang terlihat lebih tua untuk mengimami. Padahal, para pemuda yang bacaannya lancar dan suaranya lantang justru diperlukan demi kelancaran ibadah di tempat sesak demikian.

Jangan menunggu lama-lama saling mempersilakan, segera ambil posisi dan isyaratkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Rakaat pertama, bacalah ayat yang agak panjang. Misalnya An-Naba atau An-Nazi’at ayat 1 hingga 18. Mengapa agak panjang? Karena perlu memberikan kesempatan jamaah lain untuk mengikuti salat sejak rakaat pertama sehingga meminimalkan makmum yang masbuk. Pada akhirnya nanti setelah salat selesai, barisan belakang tidak terlalu banyak yang melanjutkan salat untuk melengkapi rakaat, sehingga tidak banyak halangan dari jamaah barisan depan untuk keluar agar musala bisa digunakan rombongan jamaah berikutnya. Sementara itu untuk rakaat kedua dan seterusnya, sesuaikan saja agar tidak terlalu lama namun juga tidak tergesa-gesa.

Selain panjangnya bacaan, lantangnya suara juga perlu diperhatikan. Pastikan suara imam mampu menjangkau semua barisan salat. Karena biasanya tidak menggunakan pengeras suara, maka imam yang masih muda lebih pantas karena pada umumnya bisa lebih lantang suaranya. Terutama pada isyarat-isyarat takbir di antara gerakan-gerakan salat agar tidak ada makmum yang tertinggal.

Seusai salat, maka sebaiknya bergegaslah meninggalkan musala agar dapat dimanfaatkan rombongan jamaah berikutnya. Zikirnya di luar saja. Salat rawatib dilewatkan dahulu, jangan oportunis dengan menunaikan salat rawatib sedangkan musala dibutuhkan rombongan jamah berikutnya.

Pemuda itu harus responsif, mampu melihat dan menindaklanjuti keadaan dengan cepat dan cermat. Benar bahwa amalan sunnah itu dianjurkan, tetapi memberikan kesempatan saudara-saudara kita ikut beribadah juga adalah hal mulia. Kalau mau rawatib, zikir dan doa yang panjang, nanti saja ketika salat di masjid nan lapang. Ini bukan fikih, hanya buah pemikiran atas pengamatan terhadap fenomena. Wallahu a’lam bisshawab….

Bintaro, 28 Mei 2017.

Tidak ada komentar: