Kamis, 12 Mei 2016

Penjaga Pintu

Crowd Funding? Aku harus ikut! Sekecil apapun, harus ada uangku di sana!
Menancap rasanya tekad itu saat pengumpulan dana demi film yang ditunggu-tunggu itu diumumkan. Film dari cerita yang telah dinanti banyak orang untuk diangkat ke layar lebar lebih dari dua dekade. Banyak pengakuan orang bahwa cerita itu telah menginspirasi mereka untuk menjadi lebih baik, dan tak sedikit dari mereka yang memutuskan perubahan-perubahan besar dalam hidupnya setelah membaca Ketika Mas Gagah Pergi. Aku pun demikian, merasa tergugah bahwa menjadi orang baik bisa dimulai dari hal-hal mudah pada diri sendiri, sejak mengenal sosok Mas Gagah.
Sepuluh ribu, dua puluh ribu, kukumpulkan demi ikut merasakan buncahnya dada ketika film itu nyata kelak. Meskipun mungkin kalaupun berkesempatan, hanya bisa menyaksikannya satu kali penayangan. Ya, kala itu aku masih merantau untuk menjemput rejeki di Meulaboh yang terlampau jauh dari bioskop. Medan adalah kota tempat bioskop terdekat kala itu. Untuk mencapainya dari Meulaboh, perlu perjalanan darat lebih dari dua belas jam.
Ramadan menjelang, lebaran pun datang. Kabar demi kabar perkembangan film itu mengalir deras. Audisi pemain, proses karantina dan shooting, juga segenap informasi lain tak luput kuikuti perkembangannya dari kejauhan. Bahagia sekali rasanya, sebentar lagi film itu nyata. Ah, tak apa kalaupun harus menyaksikan maksimal hanya satu kali, setidaknya secuil bagianku sudah ada di film itu.
September 2015, gema itu menjelma di dada. Selamat tinggal Meulaboh, halo Jakarta! Gusti Allah Maha Agung, hamba bisa memilih ibukota sebagai tempat pilihan pada penjualan tiket presale. Satu tiket? Tidak, harus tiga! Debar menggempar menantikan tanggal keramat: enam belas Januari. Meskipun kemudian keramatnya harus digeser: dua puluh satu Januari. Hal terpenting adalah aku akan bisa menyaksikannya lebih dari satu kali.
Pondok Indah Mall, tempat pertama yang menyaksikan kehadiranku di sebuah studio yang menayangkan film yang akhirnya nyata: Ketika Mas Gagah Pergi. Durasi 99 menit tak terasa, mengalir begitu saja. Ada embun membasahi hati demi menyaksikan kualitas film yang jauh melampaui ekspektasi, ada gemeretak yang teramat menyentak bahwa ini bukan film biasa. Dana yang terbatas sama sekali tak mengurangi kualitas. Ini baru namanya film! Langkah pertama keluar ke lobi utama, terpatri asa dalam dada. Aku harus menyaksikan layar lebar dihiasi film ini sebulan penuh! Lalu, sejak itulah aku menjadi ‘penjaga pintu bioskop’.
Setiap sore/malam kusambangi bioskop yang menayangkan KMGP The Movie. Langgananku yang terdekat dari tempat tinggal tentulah Lotte Mart Bintaro. Usai membeli tiket, biasanya aku akan duduk di dekat pintu masuk lobi bioskop. Setiap melihat ada pengunjung yang datang, rasanya berdebar-debar. Lalu aku bergumam, “Ayo... Nonton KMGP aja, KMGP aja, filmnya bagus loh!” Lantas, “Yes!” Berbunga-bunga rasanya ketika kulihat mereka masuk ke studio yang menayangkan Ketika Mas Gagah Pergi.
Oh iya, mungkin kau bertanya-tanya, seberapa istimewa film ini hingga aku harus mengunjungi bioskop di Lotte Mart Bintaro hampir setiap hari? Ya, ‘hampir setiap hari’ selama penayangan reguler karena kadang aku juga ‘mengambil jatah’ di Blok M Square atau tempat lainnya. Aku memang cukup terlambat mengenal cerita KMGP. Walaupun ia hadir sebelum Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang fenomenal itu, namun aku baru mengenal Ketika Mas Gagah Pergi di awal tahun 2009. Saat itu di kediaman seorang sahabat kutemukan buku yang sudah lusuh dan mulai menghitam di sana-sini, dengan cover wanita berjilbab menunduk sendu dan siluet seorang lelaki. Tak lain buku itu adalah salah satu masterpiece karya sastrawan terkemuka, Helvy Tiana Rosa, ialah Ketika Mas Gagah Pergi. Kala itu, cerita tentang Mas Gagah menyadarkanku bahwa untuk menjadi orang baik tak selalu harus serumit dan se-complicated menjadi seperti Mas Fahri di AAC dan Mas Azam di KCB, bahwa menjadi orang baik cukup dimulai dengan perubahan walaupun sangat kecil. Kehadiran Mas Gagah membuka mataku bahwa siapa saja bisa menjadi orang baik, termasuk diriku. Apalagi mendapati kualitas KMGP The Movie yang tidak bisa dianggap remeh, maka tekad untuk menyaksikan film ini sesering mungkin semakin membulat.
Pekan pertama ‘menjaga pintu’ pun berlalu, hasrat menyaksikan filmnya berulangkali sebagian sudah terpenuhi, adegan demi adegan bahkan mulai kuhapal dan kugunakan untuk mengompor-ngompori teman yang belum ambil bagian sebagai penonton. Namun hilangnya sebagian besar bioskop dari daftar yang menayangkan KMGP The Movie membuatku tersentak. Aku harus berbuat lebih! Ya, tidak boleh hanya aku yang menikmati suguhan pesan sarat makna dalam balutan sinematografi yang ciamik ini. Tidak cukup hanya mengharapkan ada orang-orang di luar sana yang melakukan hal yang sama denganku, nonton berulang kali.
Kulihat saldo tabungan, sepertinya cukup untuk mentraktir beberapa puluh teman untuk nonton bareng film ini. Tapi rasanya masih kurang. Jika saja bisa lebih banyak tiket, tentu lebih banyak lagi orang yang mendapatkan hikmah dengan cara asyik melalui film ini. Saat itulah aku mulai bergerilya, berusaha mengumpulkan dana sebanyak mungkin yang aku bisa demi mengajak sebanyak mungkin orang untuk menyaksikan film ini.
“Mas, sampeyan ada tabungan nganggur? Ta’ pinjem sampe April boleh?”
“Bang, kau ada uang yang bisa kupinjam nggak? Pinjam lah, Bang. Nanti aku balikinnya nyicil.”
“Mbak, kemarin cari laptop ya? Beli laptopku aja mau?”
“Pak, harga dinar sekarang berapa? Saya mau jual.”
“Kaaak, aku boleh pakai uangmu dulu? Bulan depan aku balikin sebagian, bulan depannya lagi lunas.”
Rombongan anak jalanan, penderita kanker, sepasang kakek-nenek, relawan bencana, mereka hadir dan tersenyum puas menenteng tiket bioskop melewati pintu yang kujaga. Bukan hanya sekali mata ini basah, terenyuh menyaksikan sumringahnya mereka menemuiku dan bertanya, “Masih ada tiketnya, Mas?” Ya, sebagian mereka bahkan menginjak lobi bioskop pun belum pernah sebelumnya. KMGP The Movie lah pengalaman pertama mereka.
“Filmnya bagus, Mas. Makasih yaa.”
“Diooo, makasih loh atas tiketnya. Akhirnya bisa nonton juga.”
“Kak, aku sedih lihat Gita bilang benci Mas Gagah.”
“Pak Dio, ya? Ini kemarin saya yang mendampingi anak-anak asuh di rumah yatim. Filmnya bagus sekali, Pak.”
“Mas, nongki-nongki canci yuk! Kali ini saya dan teman-teman yang traktir, yaa.”
Aku hampir lupa harapanku atas ‘paralel perilaku’, dengan adanya orang-orang di luar sana yang berkali-kali nonton KMGP The Movie sebagaimana yang kulakukan. Hingga di suatu sore akun facebook penulis kawakan yang beberapa tahun terakhir tercatat sebagai bagian dari 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia itu mengumumkan dibentuknya komunitas pembaca setia karya-karyanya. Bergabung di grup yang di kemudian hari namanya menjadi Helviers itu mempertemukanku dengan orang-orang yang juga menyaksikan KMGP The Movie berulang kali. Bahkan muncul istilah ‘murajaah skenario’, bersahut-sahutan menirukan dialog-dialog yang ada di film ini. Kesamaan dukungan dan serunya bercengkrama membahas berbagai hal membuat kami mantap mengukuhkan keberadaan Helviers sebagai ‘komunitas keluarga’. Ternyata harapanku atas ‘perilaku paralel’ menyaksikan film ini berkali-kali pun nyata sudah.
Pekan kedua pun berlalu, petugas XXI Lotte Mart Bintaro sudah hapal dan terbiasa dengan kehadiranku. Hingga hari itu, gelak penonton saat adegan “Dik Manis” masih membuktikan penikmatnya belum tergerus. Namun menjadi film Indonesia terlaris di pekan pertama penayangannya tidak membuat film ini berhasil meluluhkan pihak bioskop agar bersedia menayangkannya lebih lama. Memang bukan KMGP jika jalannya tidak terjal. Satu per satu layar yang menayangkan film ini diturunkan di seluruh Indonesia. Bahkan XXI Lotte Mart Bintaro langgananku dua pekan itu menurunkan layarnya untuk film ini hanya sehari sejak terakhir kusaksikan penontonnya masih ramai.
Menembus hujan yang mendesau, kupacu sepeda motorku ke Kota Tangerang. XXI Mall Balekota, labuhan harapanku selanjutnya. Haru biru ‘jajan tiket’ pun berlanjut. Sayangnya, tak lama pula ia bertahan di sana. Hingga tersisa satu di XXI Mega Mall Bekasi. Aku hanya tahu rute lewat Kalimalang, tetap kuterjang genangan air hujan bercampur lumpur dengan ‘si putih’ yang berkali-kali kubisiki jangan sampai mogok atau pecah ban. Jarak antara Bintaro dan Bekasi yang ditempuh dengan sepeda motor di tengah padatnya lalu lintas ibukota dan cuaca yang hampir selalu membuatku berbasah-basahan tidak bisa disebut dekat. Hampir dapat dipastikan, tiba di Mega Mall Bekasi aku pun harus menjalankan rutinitas baru, bersih-bersih dan berganti pakaian di toilet dekat parkir sebelum naik ke bioskop. Menggigil kedinginan, sesekali aku bergumam, makan apa aku hingga akhir bulan nanti? Lalu tersenyum dan menghibur diri, lihat bagaimana nanti saja. Ah, sampai tulisan ini kuselesaikan pun aku masih bisa makan. Selalu ada rejeki dari-Nya.
Hingga akhirnya, penayangan reguler pun benar-benar habis. Ada ruang hati yang kosong ketika sore/malam tidak menjalankan rutinitas menjadi ‘penjaga pintu bioskop’. Ada perasaan yang mengganjal, mendapati kenyataan bahwa film sebagus ini perolehannya tak seperti yang diharapkan. Ada secercah kecewa, mengingat banyak orang yang mengaku mendukung film ini namun belum menyaksikannya karena keburu turun layar lantaran mereka terus menunda-nunda dengan bermacam agenda. Ada geram yang tak teredam, mengingat pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan mereka semata. Ya, bukan KMGP namanya jika perjalanannya tidak berduri.
Beberapa waktu lagi, KMGP 2 akan hadir. Perjuangan menjadi orang baik tak cukup sampai di sini. Pertarungan memperjuangkan Ketika Mas Gagah Pergi The Movie masih belum berakhir. Di penayangan KMGP 2, kutekadkan upaya diri harus lebih baik lagi. Bukan karena ‘terima kasih’ atau ucapan lainnya, tapi karena menjadi Mas Gagah tak harus serumit menjadi Mas Fahri dan Mas Azam.

Bintaro, 17 April 2016