Kamis, 26 April 2012

Kapan Saya Akan Menyampaikan Undangan Pernikahan Saya?

Sumber gambar: jomblosampaihalal.com
Sebuah perbincangan relatif lama dengan kepala kantor saya beberapa hari lalu membawa hadir tulisan ini ke tuts keyboard dan akhirnya Anda baca. Perbincangan santai, namun menjadi hal yang tidak biasa karena sebelumnya saya belum pernah bercakap-cakap berdua dengan beliau apalagi tentang hal di luar pekerjaan. Di senja itu, pertama kalinya saya berhadapan dengan beliau sebagai “bapak dan anak”, bukan sebagai atasan dan bawahan.
Singkat cerita, dalam perbualan itu beliau memberikan advice kepada saya untuk segera menikah. Beliau mengisahkan pernikahan beliau sendiri yang baru dikaruniai keturunan setelah sekian tahun. Lalu ada juga contoh teman seangkatan beliau yang hingga kini masih membujang. Ada juga kisah lain seseorang yang menikah di atas usia tiga puluh, lalu ketika pensiun kebingungan dengan biaya kuliah anaknya. Beliau pun menyatakan bahwa pilihannya menikah muda dahulu adalah ingin menggendong anaknya di waktu masih memiliki kemampuan yang cukup untuk menggendongnya. Yah, pada intinya, “Segeralah menikah, Dio.” Demikian pesan Muhammad Faiz, lulusan S3 kelahiran 1970, bapak kami di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lahat.

Kali ini saya tak akan mengutarakan seperti apa jawaban saya senja itu, yang jelas satu lagi pelajaran berharga dalam hidup yang saya dapatkan kala itu. Oh, bukan! Bukan satu, melainkan banyak lagi pelajaran hidup yang saya rekam dalam sanubari.

Setelah senja itu, saya berpikir. Usia saya sudah di tahun ke-22, sebentar lagi tahun ke-23. Dalam pandangan masyarakat umum, memang sudah sewajarnya saya memiliki pasangan. Entah itu seorang kekasih, tunangan, atau bahkan seorang istri. Saya masih melajang, mungkin memang wajar jika saya menjalin hubungan dengan seorang perempuan sebagai kekasih. Dan saya yakin orangtua dan kakak-kakak saya pun tak akan merasa heran jika saya hang-out berduaan dengan seorang kekasih. Tak perlu sembunyi-sembunyi dari mereka layaknya kebanyakan remaja belasan tahun yang menjalin kasih.

Perlukah saya memiliki seorang kekasih, atau lebih familiar dengan sebutan pacar?

Flash back, sekian orang teman perempuan yang pernah saya kagumi tak pernah ada satupun yang menjadi pacar saya sejak saya mengenal ketertarikan kepada lawan jenis hingga saat ini. Bukan karena tak berani mengutarakan, karena saya sangat yakin dengan kemampuan saya untuk mengomunikasikan perasaan itu dan menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Walaupun sempat hampir menjalin hubungan khusus itu, hingga sekarang rekor saya itu belum saya pecahkan. Saya jomblo, dan tak punya seorang mantan pacar pun. Lalu apakah saya malu? Tidak! Saya justru bangga, bangga bahwa saya bisa melalui kerasnya gemeretak dada usia belasan tanpa perlu menjalin hubungan yang tak pasti manfaatnya itu. Bukan tak pernah saya merasakan ketertarikan dengan teman perempuan, bahkan sering, dan Anda hampir pasti tahu betapa membuncahnya perasaan seperti itu. Tetapi sekali lagi, saya bangga tak pernah memiliki pacar. Mengapa? Karena bukan hal yang mudah untuk menjalani pilihan saya itu.

Orang-orang beralasan pacaran untuk mengetahui karakteristik pasangan. Apakah benar? Banyak sekali contoh yang saya dapatkan, masa berpacaran bukan cerminan kepribadian pasangan.

Lalu bagaimana saya mempersiapkan diri untuk menghadapi manusia berbeda jenis kelamin jika kelak saya menikah? Literatur, pengalaman orang lain, dan keyakinan pada Tuhan, itulah yang saya genggam. Bagaimana perbedaan pola komunikasi antara lelaki dan perempuan, bagaimana menyiasati kesalahpahaman, itu semua ada ilmunya. Dan saya sangat yakin, tak perlu pacaran untuk mendapatkan ilmu mengenai kesemuanya itu. Dan saya hampir tidak yakin bahwa berpacaran merupakan cara yang efektif untuk memahami hal-hal tentang hubungan seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam mengarungi bahtera sinergi kehidupan.

Lantas bagaimana saya menemukan seorang calon istri saya kelak? Bukankah saya harus menentukan seseorang yang pas dan bersedia untuk mendampingi hidup saya? Bagaimana caranya jika tidak dengan berpacaran? Oh, tidak masalah! Saya yakin, ada cara lain yang akan Tuhan berikan kepada saya dengan segala keberkahannya. Maka dari itulah, saya tetap pada prinsip tak perlu menjalin hubungan dengan berpacaran. Kalau kata sebuah lagu, I’m single and very happy.Tentunya saya tak menginginkan sepanjang hidup dengan status single. Akan ada masanya, jika usia ini ditakdirkan tiba di sana, seorang manusia berjenis kelamin perempuan hadir sebagai istri bagi saya.

Nah, kapan saya akan menyampaikan undangan pernikahan saya? Mungkin di tulisan saya berikutnya. Atau jika tidak, mungkin di tulisan berikutnya lagi, berikutnya lagi, lagi, dan lagi.

Jomblo till halaal!!

Lahat, 21 April 2012, 17.52 WIB.