Rabu, 29 Desember 2010

Senja di Lampung Kota

Dua puluh tujuh Desember dua ribu sepuluh. Menjejakkan kaki di kota yang sering kusambangi waktu kecil itu, membuatku cukup merasa asing. Senja itu telah menghantarkanku, menemui atmosfer kota metropolis yang bersuasana maritim-agraris. Perjalanan baru separuh, aku masih harus mencari cara melanjutkan perjalanan untuk mencapai rumah yang jaraknya masih harus melintasi batas peradaban.

Di pinggir jalan depan Poltek Lampung, sedikit kebingungan menentukan angkutan mana yang harus saya ambil. Nah, tampaknya ada mahasiswa yang sedang menuju kampus. Tampangnya sih aktivis, setidaknya aku merasakan kesamaan frekuensi dengan aktivitasku di kampus di seberang pulau sana.

“Mas, maaf Mas. Numpang nanya.”
Berhenti sejenak, “Ya, ada apa?”
“Ke stasiun sebelah mana Mas? Naik angkutan mana ya?”
“Oh, Mas naik aja angkot biru muda yang kayak gitu,” menunjuk ke seberang jalan.
“Okay, ke arah mana?”
“Sama aja, ke sana bisa, ke sana juga bisa.”
“Oh, gitu? Makasih banyak ya, Mas.”
“Iya, sama-sama,” berlalu dengan sepeda motornya.

Sejenak kemudian angkot biru muda menghampiri.
“Stasiun?” Si sopir menggeleng dan memacu mobilnya.
Angkot yang kedua, sopir memberikan respon positif.

Bismillah, naik!

Innalillahi, desir itu begitu terasa. Menunduk, tapi dalam hati tetap salah tingkah. Tidak biasanya, karena diri ini bukan tipe yang begitu mudah membuka hati. Tapi naluri, atau entah apalah namanya. Sungguh, aku gugup!

Penumpang satu-satunya selain aku, ya itu dia. Dentum musik mobil yang begitu kencang membuat telingaku sedikit sakit, tapi tak terhiraukan. Yang terpikirkan dalam otakku saat itu hanya bagaimana caranya mengeluarkan suara untuk bertanya tempat stasiunnya di mana. Mudah memang kalau yang kuhadapi saat itu seorang bapak separuh baya yang sedang dalam perjalanan. Tapi ini? Aah, susah dijelaskan!

Lama aku menunduk, bergeser sedikit tapi belum berani menengadahkan kepala. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya, bukankah aku begitu luwes menghadapi orang-orang?
Setelah berusaha mengumpulkan tenaga, kutengadahkan kepala. Tapi aku hanya bisa melihat ke arah lain. Sedikit mencondongkan badan ke arah penumpang yang satu itu, suara serakku keluar juga meskipun tercekat entah oleh apa.

“Ehm, Mbak. Kalo ke stasiun bener naik mobil ini?”
“Maaf, gimana?”
Musik yang begitu kencang membuat aku harus lebih mendekat supaya suaraku terdengar.
“Ke stasiun, Mbak. Bener kan naik mobil ini?”
“Oh iya, iya. Bener naik mobil ini.”
Oh My! Jilbab lebar dan rapi, standarlah. Kira-kira semester tiga.

Beberapa menit kemudian.
“Mas, mau ke mana?”
“Ee, ke Palembang, Mbak. Eh, tepatnya ke Baturaja.”
“Udah tahu tempatnya?”
“Ee, nanti ada temen saya yang jemput kalo udah di sana.” Kebohongan publik! Padahal aku sedang menuju rumahku, pulang. Bukan berkunjung ke rumah teman.
”Bukan, maksud saya stasiunnya.”
“Oh, belum Mbak.”
Dia hanya mengangguk kecil.

Diam, suara musik masih terdengar kencang. Satu-persatu penumpang bertambah.
Beberapa saat kemudian, penumpang yang tadi bersamaku bersiap hendak turun.
“Mas, nanti turun di Masjid Taqwa aja. Mobilnya nggak nyampe stasiun.”
“Eh, gimana?”
“Nanti turun di Masjid Taqwa aja.”
“Oh, iya. Sebelah kiri bukan?”
“Iya, sebelah kiri. Saya turun di sini. Hati-hati, Mas.”
Degg!! Ah, suaraku tercekat lagi.
“Iya, makasih, Mbak.”

Dia turun, aku terpana. Entah bagaimana ekspresiku, dan sepertinya seisi angkot memperhatikanku. Sesal mengusik jiwa, mengapa tidak kutanyakan namanya? Atau setidaknya berterima kasih lebih banyak, menanyakan nomor handphone. Atau minimallah mengucapkan terima kasih dengan kata “syukron”, supaya lebih familiar. Aahhh!!

Praang!! Kutampar hatiku. Aku ini sedang apa? Mata setankah yang kupakai untuk memandangnya? Senyum apa aku ini? Senyum seperti orang gila, linglung, atau apalah namanya.

Azan Maghrib telah berkumandang beberapa menit yang lalu.

“Mas, itu stasiunnya.” Bapak yang duduk tepat di depanku mengingatkan.
“Oh, oh iya Pak. Makasih, Pak”

Masjid Taqwa, dekat sekali dengan Stasiun Tanjung Karang. Kusegerakan langkahku untuk mengantri tiket kereta api, lalu sholat Maghrib. Masih ada kesempatan. Illahi Robbi, ampuni hamba....


Baturaja, 29 Desember 2010.
00.24 WIB.

Sabtu, 25 Desember 2010

Waktu Itu 26 Desember di Hari Minggu

Kau, aku, kita semua pasti masih ingat. Saat enam tahun lalu, sebuah tragedi yang tak mungkin lekang dari sejarah. Bencana itu bukan sekadar bencana lokal yang membawa kesedihan parsial, melainkan bencana global yang telah mengukir catatan kelam. Bukan satu, bukan dua, bukan tiga. Nyawa-nyawa itu telah kembali ke haribaan. Ia telah melayang bersama awan. Ia telah tersapu oleh bah tanpa arah. Ia telah tenggelam bersama lumpur yang kemudian seolah tidur. Tiada harap lagi kita bersua dengannya, karena dunia tetaplah hal yang fana.

Mentari pagi ternyata tak selalu pertanda baik. Pagi itu, ia telah merenggut jiwa. Menyisakan pilu yang tiada terobati, kecuali pasrah dan mendekatkan diri. Setelah kejadian yang hanya terhitung ratusan detik, semua berubah. Sungguh, semua tiadalah sama, sampai kapan pun.

Hari ini, enam tahun kemudian. Harinya sama, di akhir pekan. Momennya sama, sedang liburan. Duhai, mungkin ada kekhawatiran dalam hati. Bisa jadi ada bencana lagi. Azab atau ujian? Kita tak berharap itu azab, tapi layakkah itu kita sebut ujian? Sedangkan ujian identik dengan kenaikan level. Tak yakin diri ini sudah begitu layak mendapatkan ujian. Jangan-jangan itu benar-benar azab, sementara diri tiada tersadarkan.

Ah, dua puluh enam Desember. Bukankah ini masa liburan? Lalu apa yang dijadikan dasar ini masa liburan? Tak pelak lagi, ada perayaan yang sejatinya hanya milik sebagian orang. Tapi heran, saudaraku seiman koq ikut merayakan? Padahal itu kepunyaan mereka, bukan kita. Bahkan lidah pun latah, seolah gatal jika tidak mengucapkan selamat.

Hei, ini perkara akidah, Kawan! Kalau ini saja kita sudah main-main, lalu bagaimana dengan ranah lainnya? Bukanlah bangga yang dirasakan, seharusnya. Biarkanlah mereka, tersesat tanpa kesadaran. Janganlah kita malah mengikuti mereka.

Lalu bencana itu? Bisa jadi benar-benar azab, karena mulut dan tingkah kita sering latah. Lantas Penguasa Jagad Raya tersinggung, dimurkailah kita. Kita muslim dan mendominasi di negeri ini, tapi perayaan akhir tahun ini sangat semarak. Sekali lagi, itu bukan milik kita! Tinggalkanlah, jauhilah, jangan latah! Hati ini benar-benar khawatir, jika Minggu di 26 Desember berbuah petaka lagi. Hanya karena kita latah. Wallahu a’lam bisshowab....

Jurangmangu, 25 Desember 2010