Dua puluh tujuh Desember dua ribu sepuluh. Menjejakkan kaki di kota yang sering kusambangi waktu kecil itu, membuatku cukup merasa asing. Senja itu telah menghantarkanku, menemui atmosfer kota metropolis yang bersuasana maritim-agraris. Perjalanan baru separuh, aku masih harus mencari cara melanjutkan perjalanan untuk mencapai rumah yang jaraknya masih harus melintasi batas peradaban.
Di pinggir jalan depan Poltek Lampung, sedikit kebingungan menentukan angkutan mana yang harus saya ambil. Nah, tampaknya ada mahasiswa yang sedang menuju kampus. Tampangnya sih aktivis, setidaknya aku merasakan kesamaan frekuensi dengan aktivitasku di kampus di seberang pulau sana.
“Mas, maaf Mas. Numpang nanya.”
Berhenti sejenak, “Ya, ada apa?”
“Ke stasiun sebelah mana Mas? Naik angkutan mana ya?”
“Oh, Mas naik aja angkot biru muda yang kayak gitu,” menunjuk ke seberang jalan.
“Okay, ke arah mana?”
“Sama aja, ke sana bisa, ke sana juga bisa.”
“Oh, gitu? Makasih banyak ya, Mas.”
“Iya, sama-sama,” berlalu dengan sepeda motornya.
Sejenak kemudian angkot biru muda menghampiri.
“Stasiun?” Si sopir menggeleng dan memacu mobilnya.
Angkot yang kedua, sopir memberikan respon positif.
Bismillah, naik!
Innalillahi, desir itu begitu terasa. Menunduk, tapi dalam hati tetap salah tingkah. Tidak biasanya, karena diri ini bukan tipe yang begitu mudah membuka hati. Tapi naluri, atau entah apalah namanya. Sungguh, aku gugup!
Penumpang satu-satunya selain aku, ya itu dia. Dentum musik mobil yang begitu kencang membuat telingaku sedikit sakit, tapi tak terhiraukan. Yang terpikirkan dalam otakku saat itu hanya bagaimana caranya mengeluarkan suara untuk bertanya tempat stasiunnya di mana. Mudah memang kalau yang kuhadapi saat itu seorang bapak separuh baya yang sedang dalam perjalanan. Tapi ini? Aah, susah dijelaskan!
Lama aku menunduk, bergeser sedikit tapi belum berani menengadahkan kepala. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya, bukankah aku begitu luwes menghadapi orang-orang?
Setelah berusaha mengumpulkan tenaga, kutengadahkan kepala. Tapi aku hanya bisa melihat ke arah lain. Sedikit mencondongkan badan ke arah penumpang yang satu itu, suara serakku keluar juga meskipun tercekat entah oleh apa.
“Ehm, Mbak. Kalo ke stasiun bener naik mobil ini?”
“Maaf, gimana?”
Musik yang begitu kencang membuat aku harus lebih mendekat supaya suaraku terdengar.
“Ke stasiun, Mbak. Bener kan naik mobil ini?”
“Oh iya, iya. Bener naik mobil ini.”
Oh My! Jilbab lebar dan rapi, standarlah. Kira-kira semester tiga.
Beberapa menit kemudian.
“Mas, mau ke mana?”
“Ee, ke Palembang, Mbak. Eh, tepatnya ke Baturaja.”
“Udah tahu tempatnya?”
“Ee, nanti ada temen saya yang jemput kalo udah di sana.” Kebohongan publik! Padahal aku sedang menuju rumahku, pulang. Bukan berkunjung ke rumah teman.
”Bukan, maksud saya stasiunnya.”
“Oh, belum Mbak.”
Dia hanya mengangguk kecil.
Diam, suara musik masih terdengar kencang. Satu-persatu penumpang bertambah.
Beberapa saat kemudian, penumpang yang tadi bersamaku bersiap hendak turun.
“Mas, nanti turun di Masjid Taqwa aja. Mobilnya nggak nyampe stasiun.”
“Eh, gimana?”
“Nanti turun di Masjid Taqwa aja.”
“Oh, iya. Sebelah kiri bukan?”
“Iya, sebelah kiri. Saya turun di sini. Hati-hati, Mas.”
Degg!! Ah, suaraku tercekat lagi.
“Iya, makasih, Mbak.”
Dia turun, aku terpana. Entah bagaimana ekspresiku, dan sepertinya seisi angkot memperhatikanku. Sesal mengusik jiwa, mengapa tidak kutanyakan namanya? Atau setidaknya berterima kasih lebih banyak, menanyakan nomor handphone. Atau minimallah mengucapkan terima kasih dengan kata “syukron”, supaya lebih familiar. Aahhh!!
Praang!! Kutampar hatiku. Aku ini sedang apa? Mata setankah yang kupakai untuk memandangnya? Senyum apa aku ini? Senyum seperti orang gila, linglung, atau apalah namanya.
Azan Maghrib telah berkumandang beberapa menit yang lalu.
“Mas, itu stasiunnya.” Bapak yang duduk tepat di depanku mengingatkan.
“Oh, oh iya Pak. Makasih, Pak”
Masjid Taqwa, dekat sekali dengan Stasiun Tanjung Karang. Kusegerakan langkahku untuk mengantri tiket kereta api, lalu sholat Maghrib. Masih ada kesempatan. Illahi Robbi, ampuni hamba....
Baturaja, 29 Desember 2010.
00.24 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar