Jumat, 31 Maret 2017

Diam

Kutanyakan kabarmu melalui dedaunan jati yang gugur ke rumput bumi. Kutitipkan salam rinduku padamu melalui gerbong-gerbong yang terbang ke negeri imaji. Kukabarkan kegembiraanku melalui riangnya merpati. Kusampaikan kedukaanku melalui bis malam yang menuju kerajaan dongeng.

Bukan tanpa perih lisan ini kubungkam. Bukan tanpa ngilu lema ini kuredam. Aku sama, seperti jutaan insan di luar sana. Hanya saja, aku tak mau kau terluka dengan janji-janji yang kurenda.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 31 Maret 2017

#puisi #poem #sajak #poetry #IndonesiaBerpuisi #DukaSedalamCinta #kata #lema #berpuisi #bersajak

Senin, 13 Maret 2017

Kekuatan Super Hero

Di sebuah seminar motivasi yang pernah saya ikuti, pembicaranya mengajukan pertanyaan kepada hadirin. “Jika kalian diberikan kesempatan untuk memilih dan memiliki satu kekuatan super hero, kekuatan seperti apa yang ingin kalian miliki?” Demikian disampaikan lelaki tiga puluhan berpostur sedang itu. Sayangnya, saya tidak mendapatkan kesempatan. Padahal ingin sekali rasanya maju dan menyampaikan kekuatan super hero yang saya pilih beserta alasannya. Bukan karena iming-iming doorprize, tapi ingin memaparkan alasan saya itu.

Well, kekuatan super hero yang saya pilih adalah milik Spiderman, yaitu kemampuan mengeluarkan jaring laba-laba super dari pergelangan tangan. Bahkan saat dulu pertama kali menyimak aksi heroik tokoh rekaan itu, saya sudah berlatih mengikuti gerakan jemari Peter Parker untuk mengeluarkan jaring-jaringnya. Apakah saya ingin bergelantungan di antara gedung-gedung pencakar langit agar segera tiba di tujuan tanpa kendaraan? Oh, tidak. Saya hanya ingin memiliki kekuatan itu untuk tujuan tertentu, pastinya bukan untuk bergelantungan seperti Spiderman.

Meskipun masa kecil dihabiskan di desa, saya dulu seorang anak yang gemar membaca. Sejak sebelum bersekolah dasar, berbagai majalah dan buku sudah saya lahap penuh semangat. Dari berbagai bacaan itu, saya mengerti betul konsep membuang sampah pada tempatnya. Bahwa sampah yang dibuang sesuai tempatnya saja masih berpotensi menyebar dan menimbulkan berbagai gangguan bahkan menjadi pemicu banjir, apatah lagi yang dibuang seenaknya di manapun kita suka. Dengan begitu, menjadi hal lumrah saat ransel sekolah dihuni sampah yang saya kumpulkan sebelum menemui tempat sampah yang seharusnya.

Gambar: devianart.net
Ada perasaan jengkel ketika di sekitar ada orang yang dengan entengnya membuang sampah ke sembarang tempat. Ketika di mobil, mereka cukup membuka jendela dan melemparkan sampah ke luar. Ketika bersepeda motor, dengan ringannya sampah itu dijatuhkan di mana saja. Ketika berjalan kaki, jejaknya bukan tapak alas kaki melainkan sampah berhamburan. Apakah tidak risih menjadi salah satu penyebab lingkungan kotor? Apakah tidak memikirkan kemungkinan sampah itu membahayakan orang lain, misalnya kulit pisang dan plastik berminyak yang jika terinjak bisa membuat orang terpeleset dan celaka? Terlebih jika termasuk orang berpendidikan dengan tingkat cukup tinggi, apakah tidak pernah mendapatkan pembelajaran tentang konsep menjaga lingkungan hidup?

Ingin sekali rasanya memiliki kemampuan mengeluarkan jaring-jaring layaknya Spiderman. Setiap kali berjumpa orang yang seenaknya membuang sampah tidak di tempat yang seharusnya, dengan sigap saya akan mengeluarkan jaring-jaring super dari pergelangan tangan. Sampah itu akan saya tangkap, lalu kembalikan ke orang yang membuangnya. Bila perlu, lemparkan sampah itu ke wajah orang yang sembarangan membuangnya. Sederhana saja, agar mereka sadar bahwa perbuatan membuang sampah sembarangan itu adalah kesalahan. Kesalahan yang mungkin dianggap remeh itu menjadi kesalahan besar ketika menjadi kebiasaan.

Lalu bagaimana jika orang itu marah karena sampahnya saya kembalikan bahkan lemparkan ke wajahnya? Ah, kau ini. Saya kan sudah punya jaring-jaring super. Boleh dong sesekali bergelantungan ala Spiderman? Biar nampak keren sikit lah….

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 13 Maret 2017

Minggu, 12 Maret 2017

Galih dan Ratna, Ide Menarik dengan Eksekusi Krik-Krik

Dari masa ke masa, kisah cinta dua anak manusia selalu menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita dengan berbagai sudut pandang. Kehadiran film Galih dan Ratna di perempat awal tahun ini menambah panjang daftar kisah kasih dengan perbedaan latar belakang yang dramatis. Galih dibesarkan oleh ibunya yang janda dalam kebersahajaan, Ratna tumbuh berkecukupan materi namun kehilangan sosok ibu sejak kecil. Keduanya bertemu dan bercengkrama dalam narasi yang (seharusnya) indah.


Gambar: 21cineplex.com
Sinopsis (diambil dari 21cineplex.com):
Cinta pertama. Atau cinta monyet. Atau apalah itu. Semua pasti pernah merasakannya, terutama di masa-masa remaja yang indah. Tetapi ini tidak pernah dirasakan oleh GALIH (Refal Hady), seorang siswa SMA teladan tetapi introvert yang hidup dalam bayang-bayang almarhum ayahnya dan tuntutan ibunya yang harus struggle sebagai single-mother.
RATNA (Sheryl Sheinafia), seorang siswi yang baru saja pindah ke SMA tempat Galih bersekolah. Pintar dan berbakat namun ia sendiri tidak tahu passion hidupnya apa. Ia hidup tanpa tujuan, selalu mengejar hal-hal yang sangat instan. Layaknya anak millenials saat ini.
Di suatu sore, di lapangan belakang sekolah, Galih dan Ratna pun bertemu. Sebuah pertemuan yang sederhana. Ratna tertarik dengan walkman yang sedang didengarkan oleh Galih. Galih membiarkan Ratna mendengarkan kaset mixtape pemberian Ayahnya.
Inikah yang disebut dengan cinta pertama? Yang manis, menggebu-gebu, dan juga pahit? Yang berawal dari sebuah momen sederhana di lapangan belakang sekolah? Pada akhirnya, cinta pertama inilah yang membawa Galih dan Ratna ke tahap baru dalam kehidupan mereka. Sebuah tahap pendewasaan dimana tanggung-jawab, tuntutan, dan passion saling berperang dan akhirnya berdamai. Dan cinta pertama inilah yang akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mereka lupakan.

Dengan durasi hampir dua jam, seharusnya ada banyak sisi drama yang bisa digali untuk membuat penonton mengharu biru. Sayangnya, separuh awal film ini terasa begitu lamban dan membosankan, diwarnai berbagai adegan yang seharusnya tidak perlu namun dipaksakan ada dalam film. Misalnya Galih yang berjalan masuk ke rumah tante Ratna tempat kekasihnya itu tinggal, adegan ini hanya menambah durasi tanpa menambah kedalaman cerita.  Konflik berupa kegundahan Ratna dan dilema dalam hati Galih pun tidak begitu terlihat di separuh awal film. Padahal sebetulnya mereka menghadapi permasalahan cukup berat sebagai remaja. Kalau dinilai sebagai kelemahan pemeran, saya kurang setuju. Karena di separuh terakhir film menjadi semakin cukup menarik dengan akting Refal Hady dan Sheryl Sheinafia yang tidak bisa dianggap remeh. Skenario dan penyutradaran lah yang cukup bisa ‘dipersalahkan’ atas kebosanan cerita ini.

Satu hal yang mengganjal dalam film ini adalah pemilihan para pemeran. Tokoh Galih, Ratna, dan teman-temannya yang merupakan siswa SMA masa kini tampaknya kurang cocok diperankan oleh aktor/aktris yang terlihat lebih cocok sebagai mahasiswa tingkat akhir universitas. Sudahlah seperti itu, tampak tidak ada upaya make over supaya mereka terlihat lebih meremaja. Melihat posternya pun, pada mulanya saya mengira ini adalah film dengan karakter seperti AADC 2 yang sudah sama-sama dewasa dan dalam usia aktif bekerja.

Harus diakui, ide film yang disutradarai Lucky Kuswandi ini menarik. Mengangkat keunggulan kaset pita dibandingkan media pemutar musik digital saat ini adalah sesuatu yang unik. Kegigihan Galih untuk membangkitkan toko Nada Musik, konsekuensi terhadap studinya, dan dukungan demi dukungan yang diberikan Ratna secara terang-terangan maupun diam-diam, adalah poin penting dalam pengisahan film ini. Sayangnya, di beberapa bagian poin penting ini justru disajikan dengan kurang greget. Seperti saya katakan sebelumnya, film ini seharusnya menarik, eksekusinya yang membuat krik-krik.

Tengoklah penataan musiknya yang di banyak bagian sangat mengganggu. Bukankah musik seharusnya mendukung suasana adegan? Namun tidak demikian di Galih dan Ratna, sebagian besar musik hanya menjadi penghias supaya suaranya tidak terlalu kosong. Lihatlah juga kualitas gambarnya, tone warna di awal film cenderung keruh dan tidak menarik.

Di balik eksekusi dengan kualitas yang pas-pasan itu, saya merasa secara keseluruhan film ini (seharusnya) cukup pantas ditonton sebagai wujud dukungan terhadap karya anak bangsa. Namun saya kaget dengan pesan homoseksual yang jelas terlihat di film ini. Tersebutlah dua orang teman sekelas Galih dan Ratna, dua-duanya perempuan yang terlihat ke mana-mana berdua. Apa yang terjadi di antara mereka? Ternyata keduanya saling menyukai sebagai pasangan sesama jenis, dan orang-orang di sekitarnya (bahkan guru mereka) seolah menganggap perilaku mereka adalah hal yang wajar. Miris sekali, apalagi mengingat film ini diberi rating sebagai film remaja (R13+), pesan homoseksual ini menjadi poin yang mengerikan bagi saya jika harus merekomendasikan Galih dan Ratna sebagai tontonan yang baik. Akan halnya dengan ending yang mungkin menggemaskan penonton, saya rasa itu adalah hak pembuat film untuk menyajikan ending sesuai pilihan mereka.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 12 Maret 2017

Aku Mohon Maaf

Aku mohon maaf, memoar itu tak pernah kucampakkan. Meskipun pernah kau bilang lenyapkan saja, bakar lalu buang abunya.

Aku mohon maaf, pintaku itu tak pernah kupupus. Walaupun pernah kau katakan bumihanguskan saja, jangan ada sisa.

Kau pikir apa diamku? Melenyapkan rasa yang telah kau titip sejak kita bertemu di dhuha itu? Sama sekali bukan. Karena di balik diam, ada mahadendam yang mati-matian aku redam.

Kau pikir apa heningku? Melupakan lema yang pernah kau hujamkan ke nadir paling jantung? Sungguh bukan itu. Di balik hening, ada rindu mahahebat yang mengutuk dalam tiap desau yang memenuhi alveoli.

Aku mohon maaf, surat yang dulu kau pinta robek dan buang, masih kusimpan rapi di lemari hati.

Wajah datang, wajah pergi, bersilih. Satu pun tak pernah wajahmu terganti.

Kamu memang pencuri paling mahir yang tak pernah kusesali. Karena yang kau curi, entah sengaja atau tidak, namanya kalbu.

Asal kau tahu saja... kalbu itu bertemali dengan jiwa, bersimpul dengan sukma, berikatan dengan cita.

Aku mohon maaf, dulu kupahat namamu dalam mahadendam yang membiru. Alangkah nestapa jika pahatan itu harus kubuang.

Aku mohon maaf...
Mungkin bahkan abad pun kelak berganti, namamu tetap di sini, di dalam dada ini.

Kamu memang perampok paling ulung yang tak pernah kutangisi. Karena yang kau rampok, entah sadar atau tidak, namanya harapan.

Asal kau tahu saja... harapan itu merekat pada nyawa, menaut pada cakra, melebur pada rasa.

Aku mohon maaf, telah kusuntikkan lakumu dalam setiap tetes darah yang mengalir ke segenap arteriola.

Bintaro, 12 Maret 2017

Selasa, 07 Maret 2017

Merindukan Surga, Mencinta Dengan Dewasa

Satu lagi novel karya Asma Nadia diadaptasi ke dalam film layar lebar. Setelah sukses dengan Surga Yang Tak Dirindukan pada tahun 2015, MD Pictures menghadirkan sekuelnya dengan tajuk Surga Yang Tak Dirindukan 2 sebagaimana judul novelnya. Berbeda dengan film pertama yang disutradarai Kuntz Agus, kali ini Manoj Punjabi sebagai produser memilih Hanung Bramantyo yang sudah malang melintang dalam produksi berbagai film berkualitas. Para pemainnya tetap dihiasi bintang-bintang ternama Fedi Nuril, Raline Shah, dan Laudya Cynthia Bella. Lebih menariknya lagi, Reza Rahadian turut mewarnai peran dalam SYTD2 ini.


Gambar: 21cineplex.com
Sinopsis (sumber: 21cineplex.com):

Pertemuan dengan Arini membuat Meirose menjadi ragu dengan pilihan hidupnya selama ini. Arini begitu tulus menyayangi dirinya dan Akbar, dan berharap agar Meirose kembali pada Pras. Mereka sudah menjadi keluarga. Apalagi ketika sosok Pras muncul dihadapannya, Meirose tidak bisa mengingkari bahwa cintanya pada laki-laki bijak itu masih ada dalam hatinya. Bahkan Arini didukung Nadia, berusaha keras menarik Meirose kembali.

Meirose bingung, maju dengan kehidupannya yang baru, yang dia sendiri tidak tahu akan jadi seperti apa, ataukah mundur pada kehidupannya yang lama, yang ingin dia tinggalkan selama ini, tapi menjanjikan hal yang lebih pasti bagi masa depannya?

Ada apa di balik motivasi Arini yang menggebu-gebu meminta Meirose kembali dalam kehidupan rumah tangganya yang sudah harmonis selama ini?

Apa yang akan dilakukan Pras, akankah dia kembali menerima Meirose? Sementara, dia meragukan kemampuannya untuk bersikap adil sebagaimana yang diwajibkan Allah pada laki-laki yang memilih berpoligami?

Siapa juga Dokter Syarief (Reza Rahadian) yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah persoalan mereka?

Lalu mengapa surga itu tiba-tiba menjadi dirindukan sekarang?

Seperti biasa, Alim Sudio sangat piawai menerjemahkan novel ke dalam skenario film layar lebar. Meskipun detail-detail cerita cukup banyak berbeda dengan novelnya, garis besar cerita tetap terasa “Asma Nadia banget”. Adaptasi apik ini membuat SYTD2 sebagai produk kreatif yang sangat pantas disaksikan di  bioskop berkali-kali.

Menyimak kisah para tokoh, SYTD2 menyajikan kekuatan cinta dengan konflik yang tidak biasa. Poligami sebagai isu sensitif mampu dihadirkan dalam nuansa yang mengundang gelak tawa lalu dilanjutkan tangis menyesakkan dada. Menariknya, film dari novel karya muslimah yang beberapa tahun terakhir dinobatkan sebagai 500 World’s Most Influental Muslim ini tidak menonjolkan konflik menggebu-gebu cinta segitiga sebagaimana kebanyakan kisah romansa yang melibatkan lebih dari dua insan. Sebaliknya, penonton disuguhi kedewasaan sikap para tokoh dalam menghadapi persoalan yang menyelimuti mereka. Kita bisa melihat bagaimana Arini demikian mampu mengendalikan egonya kepada Meirose yang notabene juga merupakan istri Pras, pun Meirose yang justru sangat mengasihi Arini alih-alih menyulut permusuhan di antara mereka.

Konflik mengancam karena, selain mereka bertiga, hadir pula sosok dokter Syarief yang ternyata selama beberapa waktu terakhir ikut menghiasi relung hati Meirose yang sudah cukup lama menghindar dari Arini dan Pras karena tidak tega menjadi pemecah kemesraan pasangan penuh kasih itu. Meirose berniat menggugat cerai Pras agar rumah tangganya bersama Arini utuh seperti sedia kala, demikian pula Pras berniat menjatuhkan talak demi menyaksikan kehidupan Meirose yang sudah jauh lebih layak dan agar Meirose bisa melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi di sisi lain, Arini bersikeras agar Pras tidak menceraikan Meirose atas sebuah alasan yang selama ini ia sembunyikan.

Kehadiran Nadia dan Akbar, buah hati mereka, turut membuat cerita film yang berhasil menggaet 205.000 penonton dalam dua hari pertama penayangannya ini semakin mengundang rasa penasaran untuk disimak adegan demi adegan. Nadia yang dibesarkan penuh kasih dan teladan tumbuh menjadi gadis cilik yang bersikap dewasa. Akbar pun dibesarkan Meirose tanpa melupakan hubungannya dengan Nadia sebagai kakaknya meskipun tidak ada pertalian darah bahkan sebagai saudara tiri, karena Akbar pun bukan anak Meirose bersama Pras. Mengetahui keinginan terbesar Arini, Nadia berusaha keras untuk turut mewujudkan harapan bunda terkasih. Di sisi lain, kedekatan Akbar dengan Syarief membuat Arini gamang dengan keinginannya menyatukan kembali Pras dan Meirose. Tak lupa pula kehadiran tokoh-tokoh pendukung semisal Panji, Sheila, Amran, Hartono, dan Lia, yang membuat film ini semakin berwarna. Keputusan mengajak serta Nora Danish, aktris kenamaan Malaysia, untuk turut berperan sebagai manajer Arini adalah pilihan cerdas untuk menambah kekayaan film yang juga ditayangkan di Malaysia dan Brunei ini.

Arini, Pras, Meirose, dan Syarief menuturkan kedewasaan dalam mencinta. Bukan tanpa cemburu saat Syarief mengetahui bahwa Pras adalah suami Meirose, bahkan harus menghadapi kisah yang tiba-tiba berubah drastis dalam hidupnya. Pun bukan tanpa kesedihan, Arini menghadapi kenyataan bahwa ada perempuan lain dalam dongeng hidupnya bersama suami tercinta. Pras, lelaki penuh tanggung jawab dan memiliki jiwa penolong yang teramat besar itu juga dihadapkan pada tuntutan kewajiban yang teramat sulit. Demikian juga Meirose yang harus menyelaraskan hasrat hatinya dengan keadaan orang-orang yang sudah menjadi perantara Allah atas hidayah dalam hidupnya, orang-orang yang sudah sangat ia kasihi.

Karya anak bangsa yang digarap penuh keseriusan dan sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 9 Februari 2017 ini teramat sayang jika dilewatkan. Sinematografi yang memukau, pesan-pesan yang mengisi jiwa, dan narasi yang memesona, sangat patut disaksikan oleh sebanyak mungkin orang yang peduli dengan hiburan bernilai positif. SYTD2 diakhiri dengan penyelesaian yang menyedihkan sekaligus membahagiakan. Film apik ini berkisah tentang kejujuran dalam mencinta. Dengan kejujuran itu, hadir kedewasaan. Kecemburuan bukan alasan mengabaikan kebaikan-kebaikan yang sudah ada. Dengan mengutamakan keikhlasan dalam berkorban, maka demikianlah cinta menunjukkan kesetiaannya.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 7 Maret 2017