Minggu, 12 Maret 2017

Galih dan Ratna, Ide Menarik dengan Eksekusi Krik-Krik

Dari masa ke masa, kisah cinta dua anak manusia selalu menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita dengan berbagai sudut pandang. Kehadiran film Galih dan Ratna di perempat awal tahun ini menambah panjang daftar kisah kasih dengan perbedaan latar belakang yang dramatis. Galih dibesarkan oleh ibunya yang janda dalam kebersahajaan, Ratna tumbuh berkecukupan materi namun kehilangan sosok ibu sejak kecil. Keduanya bertemu dan bercengkrama dalam narasi yang (seharusnya) indah.


Gambar: 21cineplex.com
Sinopsis (diambil dari 21cineplex.com):
Cinta pertama. Atau cinta monyet. Atau apalah itu. Semua pasti pernah merasakannya, terutama di masa-masa remaja yang indah. Tetapi ini tidak pernah dirasakan oleh GALIH (Refal Hady), seorang siswa SMA teladan tetapi introvert yang hidup dalam bayang-bayang almarhum ayahnya dan tuntutan ibunya yang harus struggle sebagai single-mother.
RATNA (Sheryl Sheinafia), seorang siswi yang baru saja pindah ke SMA tempat Galih bersekolah. Pintar dan berbakat namun ia sendiri tidak tahu passion hidupnya apa. Ia hidup tanpa tujuan, selalu mengejar hal-hal yang sangat instan. Layaknya anak millenials saat ini.
Di suatu sore, di lapangan belakang sekolah, Galih dan Ratna pun bertemu. Sebuah pertemuan yang sederhana. Ratna tertarik dengan walkman yang sedang didengarkan oleh Galih. Galih membiarkan Ratna mendengarkan kaset mixtape pemberian Ayahnya.
Inikah yang disebut dengan cinta pertama? Yang manis, menggebu-gebu, dan juga pahit? Yang berawal dari sebuah momen sederhana di lapangan belakang sekolah? Pada akhirnya, cinta pertama inilah yang membawa Galih dan Ratna ke tahap baru dalam kehidupan mereka. Sebuah tahap pendewasaan dimana tanggung-jawab, tuntutan, dan passion saling berperang dan akhirnya berdamai. Dan cinta pertama inilah yang akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mereka lupakan.

Dengan durasi hampir dua jam, seharusnya ada banyak sisi drama yang bisa digali untuk membuat penonton mengharu biru. Sayangnya, separuh awal film ini terasa begitu lamban dan membosankan, diwarnai berbagai adegan yang seharusnya tidak perlu namun dipaksakan ada dalam film. Misalnya Galih yang berjalan masuk ke rumah tante Ratna tempat kekasihnya itu tinggal, adegan ini hanya menambah durasi tanpa menambah kedalaman cerita.  Konflik berupa kegundahan Ratna dan dilema dalam hati Galih pun tidak begitu terlihat di separuh awal film. Padahal sebetulnya mereka menghadapi permasalahan cukup berat sebagai remaja. Kalau dinilai sebagai kelemahan pemeran, saya kurang setuju. Karena di separuh terakhir film menjadi semakin cukup menarik dengan akting Refal Hady dan Sheryl Sheinafia yang tidak bisa dianggap remeh. Skenario dan penyutradaran lah yang cukup bisa ‘dipersalahkan’ atas kebosanan cerita ini.

Satu hal yang mengganjal dalam film ini adalah pemilihan para pemeran. Tokoh Galih, Ratna, dan teman-temannya yang merupakan siswa SMA masa kini tampaknya kurang cocok diperankan oleh aktor/aktris yang terlihat lebih cocok sebagai mahasiswa tingkat akhir universitas. Sudahlah seperti itu, tampak tidak ada upaya make over supaya mereka terlihat lebih meremaja. Melihat posternya pun, pada mulanya saya mengira ini adalah film dengan karakter seperti AADC 2 yang sudah sama-sama dewasa dan dalam usia aktif bekerja.

Harus diakui, ide film yang disutradarai Lucky Kuswandi ini menarik. Mengangkat keunggulan kaset pita dibandingkan media pemutar musik digital saat ini adalah sesuatu yang unik. Kegigihan Galih untuk membangkitkan toko Nada Musik, konsekuensi terhadap studinya, dan dukungan demi dukungan yang diberikan Ratna secara terang-terangan maupun diam-diam, adalah poin penting dalam pengisahan film ini. Sayangnya, di beberapa bagian poin penting ini justru disajikan dengan kurang greget. Seperti saya katakan sebelumnya, film ini seharusnya menarik, eksekusinya yang membuat krik-krik.

Tengoklah penataan musiknya yang di banyak bagian sangat mengganggu. Bukankah musik seharusnya mendukung suasana adegan? Namun tidak demikian di Galih dan Ratna, sebagian besar musik hanya menjadi penghias supaya suaranya tidak terlalu kosong. Lihatlah juga kualitas gambarnya, tone warna di awal film cenderung keruh dan tidak menarik.

Di balik eksekusi dengan kualitas yang pas-pasan itu, saya merasa secara keseluruhan film ini (seharusnya) cukup pantas ditonton sebagai wujud dukungan terhadap karya anak bangsa. Namun saya kaget dengan pesan homoseksual yang jelas terlihat di film ini. Tersebutlah dua orang teman sekelas Galih dan Ratna, dua-duanya perempuan yang terlihat ke mana-mana berdua. Apa yang terjadi di antara mereka? Ternyata keduanya saling menyukai sebagai pasangan sesama jenis, dan orang-orang di sekitarnya (bahkan guru mereka) seolah menganggap perilaku mereka adalah hal yang wajar. Miris sekali, apalagi mengingat film ini diberi rating sebagai film remaja (R13+), pesan homoseksual ini menjadi poin yang mengerikan bagi saya jika harus merekomendasikan Galih dan Ratna sebagai tontonan yang baik. Akan halnya dengan ending yang mungkin menggemaskan penonton, saya rasa itu adalah hak pembuat film untuk menyajikan ending sesuai pilihan mereka.

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 12 Maret 2017

Tidak ada komentar: