Dari masa ke masa, kisah cinta dua anak manusia
selalu menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita dengan berbagai sudut
pandang. Kehadiran film Galih dan Ratna di perempat awal tahun ini menambah
panjang daftar kisah kasih dengan perbedaan latar belakang yang dramatis. Galih
dibesarkan oleh ibunya yang janda dalam kebersahajaan, Ratna tumbuh berkecukupan
materi namun kehilangan sosok ibu sejak kecil. Keduanya bertemu dan
bercengkrama dalam narasi yang (seharusnya) indah.
Gambar: 21cineplex.com |
Sinopsis
(diambil dari 21cineplex.com):
Cinta
pertama. Atau cinta monyet. Atau apalah itu. Semua pasti pernah merasakannya,
terutama di masa-masa remaja yang indah. Tetapi ini tidak pernah dirasakan oleh
GALIH (Refal Hady), seorang siswa SMA teladan tetapi introvert yang hidup dalam
bayang-bayang almarhum ayahnya dan tuntutan ibunya yang harus struggle sebagai
single-mother.
RATNA
(Sheryl Sheinafia), seorang siswi yang baru saja pindah ke SMA tempat Galih
bersekolah. Pintar dan berbakat namun ia sendiri tidak tahu passion hidupnya
apa. Ia hidup tanpa tujuan, selalu mengejar hal-hal yang sangat instan.
Layaknya anak millenials saat ini.
Di
suatu sore, di lapangan belakang sekolah, Galih dan Ratna pun bertemu. Sebuah pertemuan
yang sederhana. Ratna tertarik dengan walkman yang sedang didengarkan oleh
Galih. Galih membiarkan Ratna mendengarkan kaset mixtape pemberian Ayahnya.
Inikah
yang disebut dengan cinta pertama? Yang manis, menggebu-gebu, dan juga pahit?
Yang berawal dari sebuah momen sederhana di lapangan belakang sekolah? Pada
akhirnya, cinta pertama inilah yang membawa Galih dan Ratna ke tahap baru dalam
kehidupan mereka. Sebuah tahap pendewasaan dimana tanggung-jawab, tuntutan, dan
passion saling berperang dan akhirnya berdamai. Dan cinta pertama inilah yang
akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mereka lupakan.
Dengan durasi hampir dua jam, seharusnya ada
banyak sisi drama yang bisa digali untuk membuat penonton mengharu biru.
Sayangnya, separuh awal film ini terasa begitu lamban dan membosankan, diwarnai
berbagai adegan yang seharusnya tidak perlu namun dipaksakan ada dalam film.
Misalnya Galih yang berjalan masuk ke rumah tante Ratna tempat kekasihnya itu
tinggal, adegan ini hanya menambah durasi tanpa menambah kedalaman cerita. Konflik berupa kegundahan Ratna dan dilema
dalam hati Galih pun tidak begitu terlihat di separuh awal film. Padahal
sebetulnya mereka menghadapi permasalahan cukup berat sebagai remaja. Kalau
dinilai sebagai kelemahan pemeran, saya kurang setuju. Karena di separuh
terakhir film menjadi semakin cukup menarik dengan akting Refal Hady dan Sheryl
Sheinafia yang tidak bisa dianggap remeh. Skenario dan penyutradaran lah yang
cukup bisa ‘dipersalahkan’ atas kebosanan cerita ini.
Satu hal yang mengganjal dalam film ini adalah
pemilihan para pemeran. Tokoh Galih, Ratna, dan teman-temannya yang merupakan
siswa SMA masa kini tampaknya kurang cocok diperankan oleh aktor/aktris yang terlihat
lebih cocok sebagai mahasiswa tingkat akhir universitas. Sudahlah seperti itu,
tampak tidak ada upaya make over
supaya mereka terlihat lebih meremaja. Melihat posternya pun, pada mulanya saya
mengira ini adalah film dengan karakter seperti AADC 2 yang sudah sama-sama
dewasa dan dalam usia aktif bekerja.
Harus diakui, ide film yang disutradarai Lucky
Kuswandi ini menarik. Mengangkat keunggulan kaset pita dibandingkan media pemutar
musik digital saat ini adalah sesuatu yang unik. Kegigihan Galih untuk
membangkitkan toko Nada Musik, konsekuensi terhadap studinya, dan dukungan demi
dukungan yang diberikan Ratna secara terang-terangan maupun diam-diam, adalah
poin penting dalam pengisahan film ini. Sayangnya, di beberapa bagian poin
penting ini justru disajikan dengan kurang greget.
Seperti saya katakan sebelumnya, film ini seharusnya menarik, eksekusinya yang
membuat krik-krik.
Tengoklah penataan musiknya yang di banyak
bagian sangat mengganggu. Bukankah musik seharusnya mendukung suasana adegan?
Namun tidak demikian di Galih dan Ratna, sebagian besar musik hanya menjadi
penghias supaya suaranya tidak terlalu kosong. Lihatlah juga kualitas
gambarnya, tone warna di awal film
cenderung keruh dan tidak menarik.
Di balik eksekusi dengan kualitas yang
pas-pasan itu, saya merasa secara keseluruhan film ini (seharusnya) cukup
pantas ditonton sebagai wujud dukungan terhadap karya anak bangsa. Namun saya
kaget dengan pesan homoseksual yang jelas terlihat di film ini. Tersebutlah dua
orang teman sekelas Galih dan Ratna, dua-duanya perempuan yang terlihat ke
mana-mana berdua. Apa yang terjadi di antara mereka? Ternyata keduanya saling
menyukai sebagai pasangan sesama jenis, dan orang-orang di sekitarnya (bahkan
guru mereka) seolah menganggap perilaku mereka adalah hal yang wajar. Miris
sekali, apalagi mengingat film ini diberi rating
sebagai film remaja (R13+), pesan homoseksual ini menjadi poin yang mengerikan
bagi saya jika harus merekomendasikan Galih dan Ratna sebagai tontonan yang
baik. Akan halnya dengan ending yang
mungkin menggemaskan penonton, saya rasa itu adalah hak pembuat film untuk
menyajikan ending sesuai pilihan
mereka.
Dio
Agung Purwanto
Bintaro,
12 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar