Kamis, 29 Desember 2016

Puisi, Mata Ketiga

Kalau kau pencinta puisi, jika kau penikmat puisi, pabila kau pengagum puisi. Rengkuhlah satu kitab, ia nyala dalam sayu.

Padanya tertuang Mata Ketiga Cinta
Diajaknya kau bicara Thawaf
Disambutnya kau dengan, "Salam Negeriku!"

Kitab ini ungu, sesendu matamu
Sajaknya cerdas, menguak batas
Ya... seperti yang dikatakannya, "Apakah sampai padamu berita tentang mahanazi?"

Kitab ini ungu, sesendu pandangmu
Sajaknya lembut, penuh kasih seorang ibu
Ya... seperti diungkapkannya, "Puisi untuk seorang ibu yang mendobrak pulazi."

Kitab ini ungu, sesendu tatapmu
Sajaknya lillah, berjuang tanpa lelah
Ya... seperti diserukannya, "Fi Sabilillah!"

Dio Agung Purwanto untuk Helvy Tiana Rosa
Bintaro, 29 Desember 2016

Minggu, 18 Desember 2016

Rafli, Nania, dan Dongeng Pengantar Tidur


Saat mendapatkan kabar cerita ini difilmkan, saya sempat bertanya-tanya. Dari sekian banyak cerita karya Asma Nadia, mengapa Cinta Laki-Laki Biasa yang diangkat ke layar lebar? Apalagi di saat yang hampir bersamaan digarap pula SYTD2, sekuel Surga Yang Tak Dirindukan yang merupakan film favorit saya di antara film-film lain yang diangkat dari karya penulis langganan Writers in Residence ini. Sampai akhirnya menjelang akhir tahun, film ini diumumkan untuk tayang mulai 1 Desember 2016 di bioskop-bioskop. Sebagai penikmat film dan orang yang mengagumi sang penulis cerita, saya menyaksikan besutan sutradara Guntur Soeharjanto ini di hari pertama tayang. Agak terkejut karena peminatnya di XXI Blok M Square ternyata cukup banyak, belakangan saya ketahui sebagian besar penonton yang bersama saya saat itu adalah Devalova (sebutan untuk para penggemar Deva Mahenra) dan Velovers Family (sebutan untuk para penggemar Vaelove Vexia). Sebelum saya bahas lebih lanjut, inilah sinopsis Cinta Laki-Laki Biasa sebagaimana dicantumkan pada 21cineplex.com, website resmi grup Cinema 21.

Nania Dinda Wirawan (Velove Vexia) bertemu dengan Muhammad Rafli Imani (Deva Mahenra) di kala Rafli menjadi mentor saat Nania melakukan kerja praktek di proyek pembangunan rumah sederhana. Nania tidak saja mendapatkan bimbingan mengenai ilmu membangun rumah, tapi juga tuntunan untuk menjalani hidup yang lebih penuh arti, bahwa kebahagiaan tidak dibangun dalam kemewahan, tapi kesederhanaan yang diwarnai keakraban dan ketulusan.

Tidak ada yang mengira bahwa akhirnya Nania mau menerima lamaran Rafli. Padahal secara status sosial, mereka berbeda bagai bumi dan langit. Nania berasal dari keluarga terpandang. Sedangkan Rafli hanyalah laki-laki biasa. Tidak heran jika ibu Nania (Ira Wibowo) menentang keras, demikian juga ketiga kakak perempuannya (Dewi Rezer, Fanny Fabriana, Donita) yang sukses menikah dengan laki-laki yang mapan (Agus Kuncoro, Uli Herdinansyah, Adi Nugroho) secara bibit, bebet, bobot, dimata ibunya. Apalagi Nania sudah akan dijodohkan dengan Tyo Handoko (Nino Fernandez), seorang dokter yang memiliki jaminan masa depan yang sukses. Berbagai usaha, baik halus dan kasar dilancarkan untuk membatalkan niat Nania, tapi Nania tidak goyah, dia percaya bahwa hanya dengan Rafli, hidupnya akan bahagia.

Namun bahkan setelah Nania dan Rafli menikah, dan dikaruniai dua anak, Yasmin dan Yusuf, keduanya harus melalui berbagai tekanan dan cobaan yang tidak ada habisnya. Rafli harus berjuang untuk membuktikan pada Nania, dan semua yang melecehkannya bahwa sekalipun dia hanya laki-laki biasa, tapi cinta yang dimilikinya adalah cinta luar biasa.

Dongeng sekali, bukan? Ada pemuda biasa, bertemu anak orang kaya/bangsawan, saling jatuh cinta, lalu menikah tentu dengan berbagai tentangan dari orang-orang di sekeliling mereka. Demikian yang ada dalam pikiran saya saat itu, masih beranggapan tiga besar film dari cerita karya Asma Nadia itu adalah:
  1. Surga Yang Tak Dirindukan
  2. Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea
  3. Rumah Tanpa Jendela

Walaupun ada teman yang mempertanyakan mengapa Assalamu’alaikum Beijing tidak masuk tiga besar, toh sah-sah saja saya mengurutkan seperti ini, bukan?

Sumber gambar: 21cineplex.com
Usai menyaksikan Cinta Laki-Laki Biasa pertama kali, saya tidak mampu langsung berdiri. Sepanjang film, segala gengsi sebagai lelaki luntur sudah. Saya menangis, bahkan pada adegan tertentu sampai  sesenggukan. Ternyata bukan hanya saya, semua penonton terlihat sayu, matanya sembab, bahkan hingga film usai pun masih ada yang berurai air mata. Sungguh di luar ekspektasi! Tanpa ragu, saya langsung memperbaiki ranking saya atas film-film dari karya Asma Nadia. Cinta Laki-Laki Biasa langsung menempati urutan pertama dengan skor yang jauh melampaui Surga Yang Tak Dirindukan. Apa pasal? Ada banyak keberhasilan film dengan cerita biasa ini menjelma luar biasa. Bahkan kemudian saya menyaksikan film ini berulang kali, mengajak orang sebanyak mungkin.

Kekuatan karakter sangat terasa dalam film ini. Sebutlah saja pemilihan nama Muhammad Rafli Imani yang demikian menggambarkan dari keluarga sederhana (Muhammad di awal nama adalah hal yang sangat lumrah dan ‘pasaran’ di masyarakat Indonesia, tanpa maksud merendahkan nama Baginda Nabi) dan Nania Dinda Wirawan yang memperkuat karakter dari keluarga terpandang putri pak Wirawan. PIlihan mobil, pakaian, rumah, bahkan handphone yang terkesan ‘antik’ juga kekuatan bagi sosok Rafli sebagai laki-laki biasa. Di sisi lain, kehadiran tiga kakak Nania memberikan perbandingan karakter yang nyata dengan si bungsu. Ini tidak terhenti pada karakter tokoh utama saja. Semua tokoh pada film ini berperan penting dalam membangun cerita.

Selain karakter, unsur lain yang tentu sangat penting adalah cerita itu sendiri. Dengan alur yang hampir semuanya linear, film ini mudah dipahami. Namun dibalik kemudahan pemahaman itu, penonton dibawa hanyut adegan per adegan. Pun hampir tidak ada adegan yang tidak perlu. Alim Sudio berhasil menuangkan cerita ini ke dalam skenario yang mengesankan, jauh melampaui Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea yang juga ia tulis skenarionya dan disutradarai oleh orang yang sama.
Pemandangan? Apa lagi yang kurang dari sejuknya pemandangan Pengalengan yang hijau dan sangat meneduhkan? Salah satu unsur daya tarik sebuah film berhasil dirangkum dengan porsi yang pas dalam film ini. Tidak berlebihan, namun juga tidak terkesan hanya tempelan.

Lalu tentu saja akting pemainnya sangat penting dalam menjadikan sebuah film dinilai bagus atau tidak. Menyaksikan film-film sebelumnya, saya sama sekali tidak menyangka Deva Mahenra berkolaborasi demikian apik dengan Vaelo Vexia dalam film ini. Ini adalah akting terbaik mereka sejauh ini. Raut wajah, gerak-gerik, dialog, bahkan lirikan mata pun demikian sukses mereka perankan. Tidak ketinggalan peran pendukung semisal Nino Fernandez yang sukses membuat penonton sempat berburuk sangka lalu malah mengacungi jempol kepada tokoh Tyo Handoko, pun Muhadkly Acho sebagai Tolle Syukur yang berkali-kali membuat penonton tertawa tanpa lawakan. Kalau akting pemeran seniornya sih tidak usah ditanya lagi. Cok Simbara, Dewi Yull, dan Ira Wibowo juga ikut memainkan emosi penonton campur aduk dengan peran mereka.

Nah, bagaimana pesan di dalamnya? Bukankah ini disebut juga film Islami yang diangkat dari cerita salah satu dari 500 Muslim Berpengaruh Dunia? Tentu harus ada pesan-pesan dakwah di dalamnya, kan? Ternyata, satu lagi kecerdasan film ini. Pesan-pesan di dalamnya disampaikan dengan santai, masuk ke dalam cerita, dan mudah dicerna. Tanpa begitu disadari, penonton diberikan pesan-pesan yang sesungguhnya sangat Islami. Tentang harta yang sebagiannya milik orang lain, tentang Islam cinta damai, tentang jilbab, tentang kesabaran, tentang penghormatan terhadap orangtua, tentang pendidikan anak, tentang keharmonisan rumah tangga, dan masih banyak lagi.

Dari tadi membahas kelebihannya melulu, lantas apa yang kekurangan dari film ini?

Sebenarnya terlalu jauh kalau disebut kekurangan dari film ini, karena pada dasarnya hal-hal itu sangat bisa dimaklumi dalam sebuah industri film. Apalagi kepiawaian akting para pemerannya sangat menutupi dan membuat kekurangan-kekurangan itu termaafkan.

Di antara hal yang aneh dalam film ini adalah Yasmin yang dilahirkan secara prematur. Lalu mengapa pada adegan Rafli dan Nania memandangi dari balik kaca terlihat sebagai bayi normal dengan ukuran tubuh bukan seperti bayi baru lahir? Pun Nania yang langsung bisa berjalan tanpa dipapah, padahal baru sadar setelah kemarin diberikan tindakan operasi caesar yang tentunya menyisakan luka yang membuat kesulitan berjalan. Tapi untuk kasus ini termaafkan karena anggaplah obat bius dan pereda nyeri di rumah sakit mahal bekerja sangat efektif, lagipula Nania berjalan pelan dan sempat mengaduh.

Agak kurang logis juga mengapa Nania dengan mudah mengingat Dokter Tyo, sementara suaminya sendiri tidak ia kenali? Tapi ternyata termaafkan karena jelas sekali penampilannya dokter dan menggunakan badge nama “Tyo Handoko” yang sangat mudah terbaca. Demikian juga agak kurang logis dengan anak Tolle dan Ida yang berusia sekitar dua tahun tapi sudah seperti sekitar empat tahun saat adegan singkat Tolle mengangkatnya untuk melambaikan tangan kepada Rafli.

Tapi lagi-lagi, kekurangan-kekurangan seperti ini lumrah, dapat diterima, dan tertutupi oleh adegan para pemainnya. Bukan hanya pemeran dewasa, Messi Gusti yang memerankan Yasmin pun turut mendapatkan perhatian istimewa dari para penonton. Tidak banyak aktris cilik bisa berperan sedemikian apik, bahkan menangisnya pun terlihat begitu nyata.

Akhir kata, saya mencoba memberikan nilai dalam angka. Dalam rentang 1 sampai dengan 10, saya memberikan nilai 9,83 untuk Film Cinta Laki-Laki Biasa. Itu artinya saya juga sangat merekomendasikan siapapun untuk menyimak film ini minimal satu kali di bioskop. Oh, ya. Jangan lupa bawa selampai atau tisu sebelum masuk bioskop yang menayangkan film ini. Untuk para laki-laki yang mungkin gengsi, pakai kaus lengan panjang saja yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk beberapa kali mengusap air mata.

Ternyata benar ini dongeng pengantar tidur. Berhari-hari setelah menyaksikan film ini, masih terngiang-ngiang. Teringat sebelum tidur, bahkan terbawa dalam mimpi.

Dio Agung Purwanto

Bintaro, 18 Desember 2016

Jumat, 16 Desember 2016

Ah Aleppo

Jika Aleppo warna, ia hitam pekat
Jika Aleppo rasa, ia pahit kelat
Jika Aleppo cuaca, ia badai penuh kilat

Bukankah mereka di Aleppo juga manusia?
Mana PBB yang katanya mendamaikan dunia?
Mana Amerika yang katanya adidaya?
Mana negara Islam yang katanya bersaudara?

Bahkan puisiku pun tak mampu mengalir, mengabarkan kedukaan saudaraku di tengah harapan yang semakin nadir. Bahkan sajakku pun tak mampu berbicara, membungkam mulut-mulut yang bisa mencibir saja.

Ah, mungkin doa yang bisa menjadi pamungkas
Bisa kukirim mengiringi donasi yang terbatas

Agar duka mendalam Aleppo-ku
Segera berganti ceria penuh cinta

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 16 Desember 2016

#Aleppo #DukaSedalamCinta

Jumat, 02 Desember 2016

Ada Satu

Sejak masa ku mula mampu membaca
Ada satu kata yang tak mampu kueja
Bukan karena ku tak piawai merangkai huruf
menjadi penggalan suku kata
menjelma kalimat penuh makna

Sejak pagi paling dini ku sanggup mengamati
Ada satu bentuk yang tak mampu kucerna
Bukan karena nalarku yang tak bertumbuh
mengait-ngaitkan peristiwa
mencocokkan simtom dan sumbernya

Dasawarsa berlari, membumbung
menenggalamkan usia setiap nyawa

Sejak embun paling tetes kunikmati segar pagi
Ada satu bahagia yang tak bisa kurenda
Bukan karena aku tak punya asa
membasuh mentari dengan sapa
memecah hening dengan canda

: namamu

Bintaro, 2 Desember 2016

Kamis, 17 November 2016

Pada Dasawarsa Kutitipkan Mahadendam

Di sebuah dhuha dalam kurun dasawarsa
Sekelebat bersapa selendang biru muda
Kala itu aku termangu, paku, bisu
Cukup kuredam mahadendam
Biarlah masa merenda perkara

Dasawarsa telah menggenang
Rona-rona menjelma dan menghilang
Tapi... tiada satu pun mahadendam baru
yang mampu menancap bisu

Hujam sungguh ia meradang
Teramat hebat ribuan tanya
:
Apa kabar sang biru?
Apakah ia menghijau bersama waktu?
Masihkah ia memaku bersama bisu?

Mahadendam amat meradang
...dalam bisu
...dalam tunggu

Bintaro, 17 November 2016

Minggu, 30 Oktober 2016

Kutu Piatu

Larut kucandai kutu di sudut kamar
Mencari kucing untuk bersinggah, katanya
Ia berkisah tentang induknya yang malang
ciut di atas kasur yang kemarin kujemur
Mungkin waktunya tinggal sehari-dua
Ribuan tasbih bisa membahana, katanya
Lidahku pun bungkam

Bintaro, 30 Oktober 2016

Kamis, 20 Oktober 2016

Canopus di Langit Jayakarta

T'lah lama kudendam cahaya paling sayu
Terkubur dalam impian, karena mega abadi menjelma
Jubah malam pun tak kuasa meredam titah sang mega
Timur, Tenggara, Barat Laut, Utara
Jingga merona tanpa kenal purnama

Lama sudah kudamba menghadap angkasa
Di jantung savana yang menggigil dalam pekat
Apa dayaku, terpasung gedung-gedung ibukota

Tiba-tiba malam ini dendam itu berteriak!
Membahana mataku dalam gempitanya kesiap
Kutatap lekat ia bersemu, merona malu-malu
Canopus-ku telah menemukan jalannya

Tapi bukankah cahaya sayu itu keemasan?
Apa itu merah berkedip di dekatnya?
Ah sudahlah, aku masuk saja
Setidaknya telah kupandang canopus paling indah
yang teramat kudendam di langit Jayakarta

Bintaro, 20 Oktober 2016

Minggu, 16 Oktober 2016

Durja Bentara

Menganga sudah kisah bentara
yang inginkan putri raja
Elok perangai, menawan rupa
tak satu pun cela merenda

Bentara hanyut terkubur durja
Telah mutlak sabda sang raja
: ini putri ingsun tunggal adanya
pangeran seberang tentu jodohnya

Muara bertunas di mata bentara
Remuk redam segala lema
Bangkit ia merajut asa
tekad membulat hanguskan durja

Negeri berguncang dalam pesta
Semua bahagia untuk putri raja
Saguer tertuang dari tangan bentara
Sadd pun terhidang untuk sang raja

Riuh ramai seantero istana
Raja ambruk tiada terduga
Apa dinyana tabib pun tak kuasa
Pora terhenti berganti duka

(Bintaro, 16 Oktober 2016)

Minggu, 18 September 2016

Pahitnya Ini Merasuk ke Dalam Nadi

Kata Gol A Gong, kopi ini pahit sekali
Biasanya kuaduk sesendok-dua gula pasir
Agar manis menyeruak di antara getir

Tapi malam ini kusengaja tanpa gula
Pahit! Lekatnya terasa di kerongkongan
Sesekali ingin kurasakan rasa aslinya
Asli dari hitam biji kopi yang dihanguskan
Asli tanpa senyuman Raisa yang menawan

Bicara mengenai Raisa, mungkin aku cemburu pada Afgan
Di studio, di panggung, bahkan di smule
Sungguh beruntung itu bujang

Tapi racauan ini bukan tentang Raisa dan Afgan, bukan pula tentang Mario Teguh dan Kiswinar, apatah lagi tentang Justin Bieber dan Sofia Richie. Bukan, karena ini bukan gurauan Lambe Turah di Instagram.

Kata Gol A Gong, kopi ini pahit sekali
Sengaja kupesan espresso double shot
Tanpa penganan, tanpa gula
Kusesap sepenuh jiwa, pahitnya semesta
: duka

Lembar demi lembar majalah kubuka
Beritanya bukan tentang Hamas Syahid dan Aquino Umar, bukan pula tentang Masaji Wijayanto dan Izzah Ajrina, apatah lagi tentang Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia yang termasuk 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia. Bukan, karena ini bukan laman kapanlagi, detik, dan semacamnya.

Kata Gol A Gong, kopi ini pahit sekali
Panas-panas kuminum di pekat malam
Senada warnanya, antara malam dan kopi
Tanpa mentari, tanpa pelangi
Kuhirup sepenuh sukma, kurenungi maknanya
: sedalam cinta

Empat purnama di hadapan
Terhampar penuh harapan
Dalam upaya, berharap  ridho-Nya
Tak lama lagi aku sarjana
Tapi tunggu dulu! Di mana 'kan kutemukan data?

Bintaro, 18 September 2016

Selasa, 06 September 2016

Janji Sewindu

Windu t'lah melayu
Lembayung sudah kelabu
Bertahun kau larut bersama bayu
Lenyap bersama senyap

Windu t'lah menggugu
Sampai sore itu
Kembali kau buka pintu
Pedih disayat sembilu remuk

Saguer asmara yang kureguk
Rupanya racun penuh kutuk
Segala ikrar yang kau nyatakan
Terkubur bersama lema menawan
: duka

Secarik kertas merah jambu
Dua nama, juga namamu
Bertanggal dalam sebulan
Windu kembali membawa sayatan
: sedalam cinta

Dio Agung Purwanto
Kebayoran Baru, 6 September 2016

Secabik Rindu

Samar kudengar lautan bingar
: mendesau
Tergetar mata kalbu kala imaji menyentak waktu
: rantau
Lamun, sungguh jauh
Renung, amat menggusar

Wahai...
Singgasanamu pelepah enau
Kencanamu punggung kerbau

Duhai...
Mahkotamu anyaman jerami
Mestikamu ani-ani
.
"Kau jangan begini, ini capai sekali."
"Pergilah ke ujung negeri, sekali-sekali tengoklah kami."
.
Nun... keriput mengurai gagahmu
Kekal, kau tetap jiwaku

Dio Agung Purwanto
Bintaro, 3 April 2016

Senin, 08 Agustus 2016

Bahasa Ungu

Tak perlu lema mengurai rasa
Karena ia tanpa bahasa
Ungu, menancap jauh ke dasar ternadir
Tanpa pembelajaran diftong yang kerap rancu

Ia hanya ungu, rentaknya redam ke inti nadi
Tanpa perlu alasan, hanya degup yang tahu

(Bintaro, 8 Agustus 2016)

Kamis, 04 Agustus 2016

Pada Mata Angin Kutitipkan Secarik Dendam

Akarnya berserabut,
menghujam ke dasar ternadir
Liangnya menganga,
kukubur bersama pasir
Bumi pun bersaksi,
sisa-sisanya t'lah kusiram derasnya air

Asa yang sempat membara, t'lah kurobek menjadi perca. Perca yang telah terpisah, kutebar ke empat penjuru mata angin. Angin yang semakin mendesau, merangkul gemintang di atas surau. Tidakkah kau saksikan bara itu telah kuredam? Kugenggam hingga padam.

Lalu kau tiup kembali sporanya;
Kemudian kau semai kembali tunasnya;
Lantas kau tebar kembali benihnya;

Kau kejam!

(Bintaro, 4 Agustus 2016)

Kamis, 12 Mei 2016

Penjaga Pintu

Crowd Funding? Aku harus ikut! Sekecil apapun, harus ada uangku di sana!
Menancap rasanya tekad itu saat pengumpulan dana demi film yang ditunggu-tunggu itu diumumkan. Film dari cerita yang telah dinanti banyak orang untuk diangkat ke layar lebar lebih dari dua dekade. Banyak pengakuan orang bahwa cerita itu telah menginspirasi mereka untuk menjadi lebih baik, dan tak sedikit dari mereka yang memutuskan perubahan-perubahan besar dalam hidupnya setelah membaca Ketika Mas Gagah Pergi. Aku pun demikian, merasa tergugah bahwa menjadi orang baik bisa dimulai dari hal-hal mudah pada diri sendiri, sejak mengenal sosok Mas Gagah.
Sepuluh ribu, dua puluh ribu, kukumpulkan demi ikut merasakan buncahnya dada ketika film itu nyata kelak. Meskipun mungkin kalaupun berkesempatan, hanya bisa menyaksikannya satu kali penayangan. Ya, kala itu aku masih merantau untuk menjemput rejeki di Meulaboh yang terlampau jauh dari bioskop. Medan adalah kota tempat bioskop terdekat kala itu. Untuk mencapainya dari Meulaboh, perlu perjalanan darat lebih dari dua belas jam.
Ramadan menjelang, lebaran pun datang. Kabar demi kabar perkembangan film itu mengalir deras. Audisi pemain, proses karantina dan shooting, juga segenap informasi lain tak luput kuikuti perkembangannya dari kejauhan. Bahagia sekali rasanya, sebentar lagi film itu nyata. Ah, tak apa kalaupun harus menyaksikan maksimal hanya satu kali, setidaknya secuil bagianku sudah ada di film itu.
September 2015, gema itu menjelma di dada. Selamat tinggal Meulaboh, halo Jakarta! Gusti Allah Maha Agung, hamba bisa memilih ibukota sebagai tempat pilihan pada penjualan tiket presale. Satu tiket? Tidak, harus tiga! Debar menggempar menantikan tanggal keramat: enam belas Januari. Meskipun kemudian keramatnya harus digeser: dua puluh satu Januari. Hal terpenting adalah aku akan bisa menyaksikannya lebih dari satu kali.
Pondok Indah Mall, tempat pertama yang menyaksikan kehadiranku di sebuah studio yang menayangkan film yang akhirnya nyata: Ketika Mas Gagah Pergi. Durasi 99 menit tak terasa, mengalir begitu saja. Ada embun membasahi hati demi menyaksikan kualitas film yang jauh melampaui ekspektasi, ada gemeretak yang teramat menyentak bahwa ini bukan film biasa. Dana yang terbatas sama sekali tak mengurangi kualitas. Ini baru namanya film! Langkah pertama keluar ke lobi utama, terpatri asa dalam dada. Aku harus menyaksikan layar lebar dihiasi film ini sebulan penuh! Lalu, sejak itulah aku menjadi ‘penjaga pintu bioskop’.
Setiap sore/malam kusambangi bioskop yang menayangkan KMGP The Movie. Langgananku yang terdekat dari tempat tinggal tentulah Lotte Mart Bintaro. Usai membeli tiket, biasanya aku akan duduk di dekat pintu masuk lobi bioskop. Setiap melihat ada pengunjung yang datang, rasanya berdebar-debar. Lalu aku bergumam, “Ayo... Nonton KMGP aja, KMGP aja, filmnya bagus loh!” Lantas, “Yes!” Berbunga-bunga rasanya ketika kulihat mereka masuk ke studio yang menayangkan Ketika Mas Gagah Pergi.
Oh iya, mungkin kau bertanya-tanya, seberapa istimewa film ini hingga aku harus mengunjungi bioskop di Lotte Mart Bintaro hampir setiap hari? Ya, ‘hampir setiap hari’ selama penayangan reguler karena kadang aku juga ‘mengambil jatah’ di Blok M Square atau tempat lainnya. Aku memang cukup terlambat mengenal cerita KMGP. Walaupun ia hadir sebelum Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang fenomenal itu, namun aku baru mengenal Ketika Mas Gagah Pergi di awal tahun 2009. Saat itu di kediaman seorang sahabat kutemukan buku yang sudah lusuh dan mulai menghitam di sana-sini, dengan cover wanita berjilbab menunduk sendu dan siluet seorang lelaki. Tak lain buku itu adalah salah satu masterpiece karya sastrawan terkemuka, Helvy Tiana Rosa, ialah Ketika Mas Gagah Pergi. Kala itu, cerita tentang Mas Gagah menyadarkanku bahwa untuk menjadi orang baik tak selalu harus serumit dan se-complicated menjadi seperti Mas Fahri di AAC dan Mas Azam di KCB, bahwa menjadi orang baik cukup dimulai dengan perubahan walaupun sangat kecil. Kehadiran Mas Gagah membuka mataku bahwa siapa saja bisa menjadi orang baik, termasuk diriku. Apalagi mendapati kualitas KMGP The Movie yang tidak bisa dianggap remeh, maka tekad untuk menyaksikan film ini sesering mungkin semakin membulat.
Pekan pertama ‘menjaga pintu’ pun berlalu, hasrat menyaksikan filmnya berulangkali sebagian sudah terpenuhi, adegan demi adegan bahkan mulai kuhapal dan kugunakan untuk mengompor-ngompori teman yang belum ambil bagian sebagai penonton. Namun hilangnya sebagian besar bioskop dari daftar yang menayangkan KMGP The Movie membuatku tersentak. Aku harus berbuat lebih! Ya, tidak boleh hanya aku yang menikmati suguhan pesan sarat makna dalam balutan sinematografi yang ciamik ini. Tidak cukup hanya mengharapkan ada orang-orang di luar sana yang melakukan hal yang sama denganku, nonton berulang kali.
Kulihat saldo tabungan, sepertinya cukup untuk mentraktir beberapa puluh teman untuk nonton bareng film ini. Tapi rasanya masih kurang. Jika saja bisa lebih banyak tiket, tentu lebih banyak lagi orang yang mendapatkan hikmah dengan cara asyik melalui film ini. Saat itulah aku mulai bergerilya, berusaha mengumpulkan dana sebanyak mungkin yang aku bisa demi mengajak sebanyak mungkin orang untuk menyaksikan film ini.
“Mas, sampeyan ada tabungan nganggur? Ta’ pinjem sampe April boleh?”
“Bang, kau ada uang yang bisa kupinjam nggak? Pinjam lah, Bang. Nanti aku balikinnya nyicil.”
“Mbak, kemarin cari laptop ya? Beli laptopku aja mau?”
“Pak, harga dinar sekarang berapa? Saya mau jual.”
“Kaaak, aku boleh pakai uangmu dulu? Bulan depan aku balikin sebagian, bulan depannya lagi lunas.”
Rombongan anak jalanan, penderita kanker, sepasang kakek-nenek, relawan bencana, mereka hadir dan tersenyum puas menenteng tiket bioskop melewati pintu yang kujaga. Bukan hanya sekali mata ini basah, terenyuh menyaksikan sumringahnya mereka menemuiku dan bertanya, “Masih ada tiketnya, Mas?” Ya, sebagian mereka bahkan menginjak lobi bioskop pun belum pernah sebelumnya. KMGP The Movie lah pengalaman pertama mereka.
“Filmnya bagus, Mas. Makasih yaa.”
“Diooo, makasih loh atas tiketnya. Akhirnya bisa nonton juga.”
“Kak, aku sedih lihat Gita bilang benci Mas Gagah.”
“Pak Dio, ya? Ini kemarin saya yang mendampingi anak-anak asuh di rumah yatim. Filmnya bagus sekali, Pak.”
“Mas, nongki-nongki canci yuk! Kali ini saya dan teman-teman yang traktir, yaa.”
Aku hampir lupa harapanku atas ‘paralel perilaku’, dengan adanya orang-orang di luar sana yang berkali-kali nonton KMGP The Movie sebagaimana yang kulakukan. Hingga di suatu sore akun facebook penulis kawakan yang beberapa tahun terakhir tercatat sebagai bagian dari 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia itu mengumumkan dibentuknya komunitas pembaca setia karya-karyanya. Bergabung di grup yang di kemudian hari namanya menjadi Helviers itu mempertemukanku dengan orang-orang yang juga menyaksikan KMGP The Movie berulang kali. Bahkan muncul istilah ‘murajaah skenario’, bersahut-sahutan menirukan dialog-dialog yang ada di film ini. Kesamaan dukungan dan serunya bercengkrama membahas berbagai hal membuat kami mantap mengukuhkan keberadaan Helviers sebagai ‘komunitas keluarga’. Ternyata harapanku atas ‘perilaku paralel’ menyaksikan film ini berkali-kali pun nyata sudah.
Pekan kedua pun berlalu, petugas XXI Lotte Mart Bintaro sudah hapal dan terbiasa dengan kehadiranku. Hingga hari itu, gelak penonton saat adegan “Dik Manis” masih membuktikan penikmatnya belum tergerus. Namun menjadi film Indonesia terlaris di pekan pertama penayangannya tidak membuat film ini berhasil meluluhkan pihak bioskop agar bersedia menayangkannya lebih lama. Memang bukan KMGP jika jalannya tidak terjal. Satu per satu layar yang menayangkan film ini diturunkan di seluruh Indonesia. Bahkan XXI Lotte Mart Bintaro langgananku dua pekan itu menurunkan layarnya untuk film ini hanya sehari sejak terakhir kusaksikan penontonnya masih ramai.
Menembus hujan yang mendesau, kupacu sepeda motorku ke Kota Tangerang. XXI Mall Balekota, labuhan harapanku selanjutnya. Haru biru ‘jajan tiket’ pun berlanjut. Sayangnya, tak lama pula ia bertahan di sana. Hingga tersisa satu di XXI Mega Mall Bekasi. Aku hanya tahu rute lewat Kalimalang, tetap kuterjang genangan air hujan bercampur lumpur dengan ‘si putih’ yang berkali-kali kubisiki jangan sampai mogok atau pecah ban. Jarak antara Bintaro dan Bekasi yang ditempuh dengan sepeda motor di tengah padatnya lalu lintas ibukota dan cuaca yang hampir selalu membuatku berbasah-basahan tidak bisa disebut dekat. Hampir dapat dipastikan, tiba di Mega Mall Bekasi aku pun harus menjalankan rutinitas baru, bersih-bersih dan berganti pakaian di toilet dekat parkir sebelum naik ke bioskop. Menggigil kedinginan, sesekali aku bergumam, makan apa aku hingga akhir bulan nanti? Lalu tersenyum dan menghibur diri, lihat bagaimana nanti saja. Ah, sampai tulisan ini kuselesaikan pun aku masih bisa makan. Selalu ada rejeki dari-Nya.
Hingga akhirnya, penayangan reguler pun benar-benar habis. Ada ruang hati yang kosong ketika sore/malam tidak menjalankan rutinitas menjadi ‘penjaga pintu bioskop’. Ada perasaan yang mengganjal, mendapati kenyataan bahwa film sebagus ini perolehannya tak seperti yang diharapkan. Ada secercah kecewa, mengingat banyak orang yang mengaku mendukung film ini namun belum menyaksikannya karena keburu turun layar lantaran mereka terus menunda-nunda dengan bermacam agenda. Ada geram yang tak teredam, mengingat pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan mereka semata. Ya, bukan KMGP namanya jika perjalanannya tidak berduri.
Beberapa waktu lagi, KMGP 2 akan hadir. Perjuangan menjadi orang baik tak cukup sampai di sini. Pertarungan memperjuangkan Ketika Mas Gagah Pergi The Movie masih belum berakhir. Di penayangan KMGP 2, kutekadkan upaya diri harus lebih baik lagi. Bukan karena ‘terima kasih’ atau ucapan lainnya, tapi karena menjadi Mas Gagah tak harus serumit menjadi Mas Fahri dan Mas Azam.

Bintaro, 17 April 2016