Minggu, 12 Maret 2017

Aku Mohon Maaf

Aku mohon maaf, memoar itu tak pernah kucampakkan. Meskipun pernah kau bilang lenyapkan saja, bakar lalu buang abunya.

Aku mohon maaf, pintaku itu tak pernah kupupus. Walaupun pernah kau katakan bumihanguskan saja, jangan ada sisa.

Kau pikir apa diamku? Melenyapkan rasa yang telah kau titip sejak kita bertemu di dhuha itu? Sama sekali bukan. Karena di balik diam, ada mahadendam yang mati-matian aku redam.

Kau pikir apa heningku? Melupakan lema yang pernah kau hujamkan ke nadir paling jantung? Sungguh bukan itu. Di balik hening, ada rindu mahahebat yang mengutuk dalam tiap desau yang memenuhi alveoli.

Aku mohon maaf, surat yang dulu kau pinta robek dan buang, masih kusimpan rapi di lemari hati.

Wajah datang, wajah pergi, bersilih. Satu pun tak pernah wajahmu terganti.

Kamu memang pencuri paling mahir yang tak pernah kusesali. Karena yang kau curi, entah sengaja atau tidak, namanya kalbu.

Asal kau tahu saja... kalbu itu bertemali dengan jiwa, bersimpul dengan sukma, berikatan dengan cita.

Aku mohon maaf, dulu kupahat namamu dalam mahadendam yang membiru. Alangkah nestapa jika pahatan itu harus kubuang.

Aku mohon maaf...
Mungkin bahkan abad pun kelak berganti, namamu tetap di sini, di dalam dada ini.

Kamu memang perampok paling ulung yang tak pernah kutangisi. Karena yang kau rampok, entah sadar atau tidak, namanya harapan.

Asal kau tahu saja... harapan itu merekat pada nyawa, menaut pada cakra, melebur pada rasa.

Aku mohon maaf, telah kusuntikkan lakumu dalam setiap tetes darah yang mengalir ke segenap arteriola.

Bintaro, 12 Maret 2017

Tidak ada komentar: