Selasa, 08 November 2011

Prahara Merah Jambu



Dino termenung di pojok kamar. Diktat kuliah masih tergenggam di tangan kirinya. Sementara tangan kanan menopang dagu dan bersandar ke lutut. Sesuatu yang aneh bagi Ardi, karena yang dia tahu sahabatnya yang satu itu selalu ceria.

Ingin mendekat dan menanyakan penyebab sahabatnya yang pernah menjuarai seleksi olimpiade cabang lempar lembing tingkat kabupaten itu bermuram durja, tetapi Ardi ragu. Ia tahu, dalam keadaan seperti ini, hanya Gusti yang bisa membuat Dino angkat suara menceritakan permasalahannya. Lekas Ardi beranjak dari dekat pintu kamar Dino ke kamar depan yang penghuninya dikenal sering menjadi tempat curhat bagi sahabat-sahabatnya satu rumah.

Gusti sedang menyelesaikan tadarus untuk memenuhi targetnya di hari kedelapan Ramadhan, setengah jam lagi waktu maghrib tiba. Ardi hanya berdiri mematung di depan pintu. Tidak perlu waktu lama, karena Gusti akan segera menyudahi tadarusnya, seperti biasa ia akan segera menghentikan aktivitasnya jika ada yang sedang menunggunya.

Sebuah anggukan kecil dari Gusti membawa Ardi melangkah masuk dan duduk di samping Gusti.

“Ada apa, Di?” Gusti memulai pembicaraan sambil membetulkan sarung.

“Si Dino tuh, Gus.” Ardi mengambil posisi duduk mengarah ke Gusti dengan mengerutkan dahi dan mengangkat kedua alisnya.

“Kenapa Dino? Ngerampas gebetan kamu lagi?” Gusti setengah meledek Ardi yang dulu sering kalah cepat dengan Dino yang mau tidak mau harus diakuinya lebih eye catching di mata teman-teman perempuan mereka.

Ardi menyeringai, “Bukan, kayaknya nggak ada hubungan ama cewek, deh.”

Gusti mengerling.

“Dino kayak lagi ada masalah beraaat banget. Dari tadi siang kerjanya ngelamun mulu! Coba deh kamu tanyain, jangan-jangan dia bener lagi ada masalah.” Jelas tak ada raut kecemburuan atau perasaan kalah saingan di wajah Ardi.

Gusti berdiri, meletakkan mushaf ke meja.

“Ah, paling baru putusan ama cewek.”

Ardi ikut berdiri di samping Gusti menghadap jendela di dekat meja, “Dino kan udah nggak pacaran lagi sejak dua bulan yang lalu?”

Gusti berbalik menghadap ke Ardi.

“Iya juga, ya?” Kali ini Gusti terlihat serius.

“Nah, makanya Gus. Coba kamu ajak ngomong dia. Jarang lho Dino kayak gini....”

Gusti mengangguk tanda setuju.

***

Mendung semakin pekat, Dino bergegas ingin meninggalkan kampus untuk pulang. Sore ini jadwal piketnya membersihkan rumah kontrakan bersama Eko.

“Hey, kamu Dino ya?”

Dino menoleh dan memutar tubuh ke arah suara yang memanggilnya.

“Ya, ada apa?” Senyum ramah khas Dino menampakkan suasana keakraban dengan lelaki yang sekarang berada di depannya itu, kira-kira dua tahun lebih tua daripada Dino.

“Kenalin, aku Peter. Anak Sastra Cina.” Lelaki itu mengulurkan tangan.

Gemuruh suara petir mulai terdengar, tetes demi tetes hujan mulai jatuh membasahi taman yang membuat warna coklat tanahnya lebih tua.

Dino menjabat tangan Peter.

“Dino, aku lihat nama kamu kemaren di Agency Pratama. Hardino Makmun Murodj, kan? Kamu model juga ya?” Peter berbicara dengan mata berbinar dan penuh semangat.

“Oh, itu. Iya, saya pernah di sana. Tapi sekarang udah nggak lagi.” Dino menjawab dengan hati-hati.

“Kenapa?” Peter lebih mendekat kepada Dino.

“Itu dulu waktu SMA. Sejak kuliah saya udah nggak lagi, lebih asyik di organisasi kampus.” Tanpa perlu ditanya, sebenarnya Dino ingin cepat-cepat beranjak dari sana.

“Oo, gitu? Yaah, nggak jadi deh ngajakin kamu bareng ke kontes besok.”

Gelegar suara guntur terdengar lagi, rinai hujan semakin besar.

“Kontes? Oh, maaf. Besok kebetulan saya juga ada acara. Ini juga udah ditunggu temen. Saya duluan ya...! Keburu deras hujannya.”

Dino berbalik hendak berlari.

“Eh, Dino tunggu!”

Langkah Dino mendadak terhenti, ia menoleh.

“Ee, maaf. Saya harus buru-buru pergi.” Dikibaskannya tangan Peter, lalu ia berlalu.

Dari kejauhan, Peter tetap berdiri di bawah hujan yang semakin deras, memandang Dino hingga ia naik ke angkot
berwarna merah.

***

“Jadi kamu digodain banci lagi? Hhahaa...!!”

“Gusti, ini serius! Serem ah!” Dino bersungut.

Gusti masih terus menahan tawanya supaya tidak meledak.

“Iiih, tuh kan? Makanya aku nggak mau cerita tadi. Kamu pasti ketawa lagi.” Kepalan tinju Dino mendarat di bahu Ardi. Agak keras memang, tapi tidak membuat Ardi cukup merasa kesakitan.

Dino terlihat geram mendapati sahabatnya terpingkal-pingkal mendengarkan ceritanya.

“Iya, iya, maaf. Lucu aja, kamu tuh ya, cakep-cakep jadi bahan godaan banci.” Gusti kembali tertawa, menampakkan deretan gigi putih bersih yang diperiksakannya enam bulan sekali ke dokter gigi.

Dino masih diam, bibirnya terkatup rapat.

“Ya udah, terus gimana? Emang tadi kamu lagi ngapain bisa ketemu banci?” Gusti mulai menunjukkan tampang serius, meskipun ia belum bisa menghapus ekspresi geli atas kasus Dino ini.

Dino memperbaiki posisi duduknya, menghadap Gusti.

“Tadi aku kan lagi di potokopian Pak Raden, trus ada banci pengamen lewat. Ee...daguku dicolek. Main mata lagi tuh banci! Padahal aku udah pura-pura nggak liat. Serem, ah!” Dino kegelian sendiri.

“Hahahaa...! Gitu aja koq repot? Dicolek aja balik!” Gusti sedikit menghindari kalau-kalau ada pukulan lagi mendarat ke bahunya.

“Dicolek balik nenek lu! Enak aja....” Dino terus bersungut.

“Hehe... ya udah, toh cuma pengamen doank. Dia kan nggak kenal kamu?”

Sebuah pukulan mendarat lagi di pundak Gusti. Gusti berusaha menghindar, lagi-lagi sambil terpingkal-pingkal.

“Mmm. Tapi bukan itu aja masalahnya....” Suara Dino terdengar berat.

Sejurus kemudian tawa Gusti berhenti. Ia menangkap ada masalah yang lebih serius menggelayuti wajah sahabatnya itu.

“Ada apa emangnya?”

Dino tidak menjawab, terdiam. Ia masih ragu untuk menceritakan semuanya kepada Gusti. Tetapi kalau bukan sekarang, kapan lagi?

“Hey! Ada masalah apakah gerangan, Hardino Makmun Murooodj??” Gusti membuyarkan lamunan Dino.

Dino tetap tidak menjawab, ia beranjak menuju lemari pakaian, mengambil sesuatu dari lacinya lalu menyerahkannya ke pangkuan Gusti.

Tanpa dikomando, Gusti langsung mengambil selembar kertas di antara tumpukan kertas warna-warni yang diberikan Dino. Sejenak ia mengernyutkan dahi, membolak-balik kertas-kertas itu, membacanya dengan seksama. Lalu tiba-tiba

Gusti tergelak, suaranya memenuhi setiap sudut ruangan.

Apa pasal? Tampaknya kertas-kertas itu memuat lelucon yang sangat lucu hingga seorang Rahardian Gusti Prambudeans terpingkal-pingkal sedemikian rupa. Sementara di hadapannya, Hardino Makmun Murodj makin merengut dan menunjukkan wajah kesal terhadap sahabat yang sudah dikenalnya sejak SMA itu.

Gusti menyadari bahwa sahabatnya itu kurang berkenan dengan sikapnya menertawai surat-surat itu. Surat? Ya, surat-surat cinta dari seseorang yang sudah tidak asing bagi keduanya. Gusti menghentikan tawanya, mulai memasang wajah serius.

“Kamu dapet surat ini dari mana?” Gusti memulai pembicaraan serius.

“Ya dari dia lah!” Dino masih berwajah muram.

“Iya, maksud aku gimana caranya surat-surat ini bisa nyampe ke kamu? Nggak mungkin kamu terima langsung dari dia berulang kali, kan?” Gusti memandangi wajah sahabat lamanya itu penuh iba. Benar sekali, untuk hal ini Gusti harus menaruh rasa iba yang mendalam.

Dino diam.

“Dino...?” Gusti mencubit pundak Dino.

Dino menengadahkan kepalanya, berhadapan langsung dengan sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri itu.

***

Brakk!! Pintu terbuka dengan sangat keras.

Gusti yang sedang menyiapkan slide presentasi tentang kepribadian untuk kuliah terakhir besok sebelum libur menjelang Idul Fitri langsung melompat, memasang kuda-kuda. Setelah yakin bahwa yang datang adalah Ardi, Gusti menarik napas lega. Diliriknya jam dinding, dua jam sejak mereka pulang tarawih dari masjid.

“Ada apa sih, Di?” Gusti penasaran.

Napas memburu Ardi menyiratkan sesuatu yang cukup serius dan membuatnya begitu panik.

“Mmm...Dino, Di...Dino.” Sangat jarang terjadi. MC andal semacam Ardiens Solzxumangiaque, entah dari mana orangtuanya menemukan nama semacam itu, bisa terbata-bata seperti itu.

“Dino kenapa, Di?!” Gusti ikut panik.

“Gusti, Dino Gus....” Ardi masih terus mengatur napas.

“Iya, Dino kenapa??!”

***

“Kamu tahu Warung Bu Nani kan?” Pertanyaan lirih meluncur dari bibir merah Dino.

Gusti mengangguk.

“Bu Nani yang selalu memanggilku dan memberikan surat-surat ini,” ia menghela napas dalam-dalam, “atas permintaan Peter.”

“Lho, emang Bu Nani ikut-ikutan ngejodohin kamu ama Peter, gitu?”

“Kayaknya Bu Nani nggak tahu. Kamu liat aja gayanya Peter, cowok banget kan? Mana ada orang nyangka dia berbuat kayak gini?” Kekesalan Dino semakin menjadi.

Dino terdiam sesaat, ia menyambar tissue di atas meja. Ternyata matanya basah. Permasalahan yang serius, memang.

Gusti masih menunggu lanjutan presentasi dari Dino, model majalah remaja waktu SMA dulu.

“Mungkin Bu Nani taunya itu surat dari adiknya Peter, Sofie. Makanya Bu Nani semangat banget ngasih surat-surat ini ke aku. Dari dulu kan Bu Nani seneng banget jodoh-jodohin orang.” Mata Dino makin berair, Gusti paham bahwa ini benar-benar membuat Dino stress.

Diam. Gusti juga bingung mau berkata apa. Selama ini dia sering merasa iri kepada sahabatnya yang satu ini. Tampang keren Dino sudah sangat memikat banyak orang tanpa perlu ekspos berlebih. Tapi mendapati sahabatnya ini yang sering digoda banci, hampir dijebak seorang teman perempuan, hingga saat ini nyata-nyata menjadi gebetan teman sesama lelaki, dalam hati Gusti bersyukur diberi karunia tampang pas-pasan meskipun tidak jelek juga.

***

“Ardi. Dino kenapa???!!” Gusti mencengkeram bahu Ardi meminta penjelasan.

“Di...Dino berantem ama Peter!”

“Masya Allah. Di mana mereka sekarang??”

“Merak.” Gusti langsung menangkap maksud Ardi. Merak adalah nama warnet di dekat rumah kontrakan Peter dan Sofie, mereka menyewa rumah dengan dua kamar yang cukup besar.

“Oke, kita ke sana sekarang!” Gusti langsung menyambar jaket hijau tua, sama persis dengan yang dimiliki Dino. Jaket hadiah dari Dino saat ia mendapatkan beasiswa pertamanya.

Gusti menyalakan Supra X merahnya, sementara Ardi menyampaikan berita tentang Dino kepada Amin dan Eko di kamarnya masing-masing. Sejurus kemudian, mereka berdua meluncur diiringi banyak pesan bernada khawatir dari Amin dan Eko.

Hanya perlu enam menit untuk tiba di lokasi yang dimaksudkan Ardi. Benar saja, ramai orang berkerumun menyaksikan apa yang terjadi.

Dengan bersusah-payah, Gusti dan Ardi menembus keramaian itu. Dalam hati keduanya mengumpat, sungguh orang-orang di sekitar sini tampak seperti tak punya akal. Orang berkelahi bukannya dilerai, malah ditonton bak sedang menyabung ayam. Apatah lagi ini bulan Ramadhan. Masa iya tidak ada yang berusaha menghentikan pemandangan memalukan ini?

Memalukan, memang. Dua orang mahasiswa senior berkelahi di muka umum, bergulat layaknya bocah ingusan yang berebut mainan.

Tanpa ba bi bu, Gusti menarik Dino yang masih terus berusaha melancarkan pukulan bertubi-tubi kepada Peter. Sebuah tamparan keras mendarat di wajah putih Dino yang berlumuran luka. Emosi yang meledak-ledak membuat Dino berusaha membalas. Namun demi melihat wajah orang yang menamparnya tadi, Dino terkesiap. Ia mundur beberapa langkah, memecah kerumunan di sekitar mereka. Lalu wajah beringasnya berubah, melunak, dan mata itu mulai berkaca-kaca.

Gusti memberikan isyarat kepada Ardi untuk mengurus Peter yang terluka jauh lebih parah. Pantas memang, sepertinya tadi Peter hampir tidak memberikan perlawanan. Malah Gusti sempat menangkap semburat senyum dari wajah Peter ketika menerima pukulan bertubi-tubi dari Dino.

Gusti mendekati Dino, lalu mendekap sahabatnya itu. Tanpa diminta, Dino menceritakan secara singkat kejadian yang ia alami malam ini. Kerumunan yang tadi ramai, sudah membubarkan diri tanpa dikomando.

“Astaghfirullah... sunguh banyak penyakit akhir zaman. Sabar, Akhiy....” Gusti bertutur lembut kepada Dino yang sudah berada di posisi membonceng Supra X merah, bersiap meninggalkan lokasi. Gusti menjadi paham, mengapa Dino demikian beringasnya seolah ingin melenyapkan Peter dari muka bumi. Dalam hati Gusti membenarkan tindakan Dino. Ia pun mendapatkan jawaban atas keheranannya kepada Peter yang tadi nyaris tidak tertutup auratnya.

Tidak begitu jauh, Sofie datang tergopoh mendapati abangnya yang terluka parah. Segera ia selimutkan jaket kepada bagian tubuh abangnya yang tidak pantas terbuka.

Ardi mulai mengangkat tubuh Peter yang terkulai. Namun semburat senyum Peter itu tetap tertuju kepada Dino. Sebuah kalimat tidak senonoh meluncur dari bibir Peter yang sudah pecah itu, jelas sekali terdengar oleh Dino yang belum meninggalkan tempat itu.

Lalu kejadiannya demikian cepat.

“Dino jangan!!!” Gusti tak sanggup menahan tubuh sahabatnya yang melesat kencang.

Dalam sekejap, sebuah batu sekepalan tangan meluncur deras sekencang peluru, menghantam bibir Peter dan hidung mancungnya. Cairan merah itu memancar deras ke jilbab lebar Sofie. Jeritan panjang memecah malam kedelapan belas di bulan Ramadhan.

Diselesaikan di Jurangmangu, 9 Ramadhan 1432.
(Ditolak redaksi Majalah Annida Online dengan alasan ceritanya datar dan terlalu banyak dialog)
Sumber gambar: http://kutaksempurna.blogspot.com/2009/01/bukan-gadis-merah-jambu.html

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Dio,salam kenal, gmn cara kirim cerpen ato artikel kita ke annida? Makasih ya sharingnya

almanaya mengatakan...

ditolak annida, saya tersenyum miris, sabar kaka..

almanaya mengatakan...

ditolak annida, ups anda belum beruntung, coba lagi kaka

Unknown mengatakan...

Kania, salam kenal juga. Silakan langsung ke www.annida-online.com, di sana ada penjelasan cara mengirim karya.


Almanaya, sip lah! :)