Minggu, 05 November 2017

Kebaruan Karya yang Apik: Duka Sedalam Cinta

Apa yang menarik dari sebuah film? Akting pemerannya, isi ceritanya, alurnya, setting-nya, atau pesannya? Pada sebagian film, mungkin kita tidak mendapatkan kelebihan dari unsur-unsur yang membuat menarik tersebut. Namun ternyata film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata ada yang hadir dengan hampir memenuhi keseluruhan unsur untuk dinilai sebagai film yang menarik. Seperti halnya sebuah karya anak bangsa yang satu ini.

Setelah debutnya di Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) 2016 lalu, tahun ini Helvy Tiana Rosa kembali memproduseri sebuah film berjudul Duka Sedalam Cinta (DSC) yang tak lain adalah sekuel/lanjutan KMGP. Masih disutradarai Firman Syah, film ini menghadirkan sudut penceritaan yang unik. Penonton diajak melompat-lompat dari scene yang satu ke scene yang lain dengan alur yang tidak linear. Cara bercerita seperti ini sangat jarang dijumpai, terutama pada film Indonesia.

Alkisah kakak beradik Gagah-Gita terlibat konflik karena perubahan yang terjadi
dalam diri Mas Gagah yang juga memengaruhi mama dan sahabat Gita, Tika. Dengan cerdas, kreator DSC menyajikan kembali garis besar KMGP. Sehingga penonton yang tidak menyaksikan KMGP pun langsung terhubung dengan cerita.

Mendapati perubahan yang terjadi kepada orang-orang di sekitarnya, beberapa waktu kemudian sikap Gita perlahan melunak. "Dik Manis"-nya mas Gagah pun mampu menerima perubahan-perubahan yang ada. Bahkan Gita juga ingin ikut berubah. Sebuah teka-teki bergelayut di benak penonton, terlambatkah Gita?

Keindahan alam Halmahera Selatan menghiasi film yang dibintangi Aquino Umar, Masaji Wijayanto, Izzah Ajrina, dan Hamas Syahid ini. Kualitas gambar dan suara sangat detail dan jernih, hingga properti dan make up tertentu semacam jenggot Gagah menjadi terlihat tak natural. Catatan untuk film ini bahwa jika sudah menggunakan peralatan maksimal, semua sisi lain termasuk artistik dan tata rias juga harus diperhatikan dengan saksama.

Sebagai para bintang baru, empat pemeran muda film ini patut diacungi jempol. Terutama untuk Aquino Umar, pemeran Gita, yang terlihat sangat total dan mampu 'menyihir' semua penonton untuk merasakan atmosfer cerita. Saya bahkan ikut terisak-isak saat menyaksikan Gita menangis pada setidaknya dua adegan. Sedangkan tiga pemeran lainnya, meskipun masih terlihat cukup kaku pada berbagai adegan, sudah mampu menghadirkan karakter masing-masing dengan cukup baik. Terlebih dengan kehadiran pemeran kenamaan lain seperti Mathias Muchus, Wulan Guritno, Ali Syakieb, Asma Nadia, Salim A. Fillah, dan semua pendukung semakin memperkaya film yang telah diterbitkan buku puisinya dengan judul yang sama.

Hikmah bertebaran dalam film ini, pesan-pesan kebaikan tersampaikan dalam narasi dan dialog. Memang agak membosankan di bagian-bagian tertentu. Tetapi dengan dinamisnya penceritaan dan tampilan yang tak biasa, film ini puitis dengan sendirinya. Selain tentunya puitis karena narasi-narasi yang disampaikan dengan suara Masaji, Hamas, Aquino, dan Izzah. Indah dan sangat pantas disaksikan siapa saja. Sebagai sebuah hiburan pun, film ini berkelas dan mengesankan. Ingat salah satu adegan yang membuat para penonton menoleh ke kanan? Nah, tak hanya tangisan yang mewarnai film ini, gelak tawa dan senyum mengembang pun hadir di tengah saya dan para penonton lainnya.

Hanya saja, memang sineas yang terlibat dalam membuat film ini masih harus memerhatikan beberapa hal detail. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, jenggot Gagah yang sangat kentara tidak asli itu cukup mengganggu, terlebih karena kamera yang digunakan membuat gambar yang dihasilkan sangat mendetail. Selain itu, padatnya cerita di sekitar sepertiga awal film benar-benar membuat penonton tak bisa lengah sedikitpun. Bagus, tetapi menjadi tidak konsisten dengan beberapa adegan. Sebut saja adegan Gagah dan Yudi bertemu ustaz Muhammad Kasuba dan bupati, lanturan cerita pada bagian ini rasanya tak begitu penting dan terlalu berkesan dipaksakan ada. Padahal jika tidak ada adegan itu pun, keseluruhan cerita tidak terganggu.

Sebuah karya apik layar lebar tentu merupakan hasil proses yang tidak mungkin hanya sehari-dua hari. Duka Sedalam Cinta membuktikan bahwa meskipun bukan rumah produksi besar, KMGP Pictures mampu menghadirkan karya menarik yang tak sekadar tontonan tanpa pesan. Semoga hasil karya berikutnya akan semakin baik dan menjadi bagian kejayaan film dalam negeri.

Usai menyaksikan film ini, saya merasa bahwa ada sesuatu yang harus saya lakukan. Film ini hanya diberikan kesempatan sedikit sekali oleh raksasa jaringan bioskop di Indonesia. Padahal isi dan penggarapannya sangat patut ditonton oleh sebanyak mungkin orang. Maka sejak hari pertama, saya merelakan waktu, tenaga, dan biaya untuk mengajak sebanyak mungkin orang. Pejaten Village adalah tempat yang saya pilih karena lokasinya yang paling dekat dari tempat tinggal dan kantor. Meskipun tak sepenuhnya hingga akhir jadwal penayangan reguler, saya lega membersamai Duka Sedalam Cinta di dua pekan pertama penayangannya. Mendengar cerita tentang kesan para penonton setelah menyaksikan film ini, rasanya memang harus lebih banyak lagi film yang tak hanya menarik namun juga penuh pesan kebaikan.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 5 November 2017

Tidak ada komentar: