Saat
mendapatkan kabar cerita ini difilmkan,
saya sempat bertanya-tanya. Dari sekian banyak cerita karya Asma Nadia, mengapa
Cinta Laki-Laki Biasa yang diangkat ke layar lebar? Apalagi di saat yang hampir
bersamaan digarap pula SYTD2, sekuel Surga Yang Tak Dirindukan yang merupakan
film favorit saya di antara film-film lain yang diangkat dari karya penulis
langganan Writers in Residence ini.
Sampai akhirnya menjelang akhir tahun, film ini diumumkan untuk tayang mulai 1
Desember 2016 di bioskop-bioskop. Sebagai penikmat film dan orang yang
mengagumi sang penulis cerita, saya menyaksikan besutan sutradara Guntur
Soeharjanto ini di hari pertama tayang. Agak terkejut karena peminatnya di XXI
Blok M Square ternyata cukup banyak, belakangan saya ketahui sebagian besar
penonton yang bersama saya saat itu adalah Devalova (sebutan untuk para
penggemar Deva Mahenra) dan Velovers Family (sebutan untuk para penggemar
Vaelove Vexia). Sebelum saya bahas lebih lanjut, inilah sinopsis Cinta
Laki-Laki Biasa sebagaimana dicantumkan pada 21cineplex.com, website resmi grup
Cinema 21.
Nania
Dinda Wirawan (Velove Vexia) bertemu dengan Muhammad Rafli Imani (Deva Mahenra)
di kala Rafli menjadi mentor saat Nania melakukan kerja praktek di proyek pembangunan
rumah sederhana. Nania tidak saja mendapatkan bimbingan mengenai ilmu membangun
rumah, tapi juga tuntunan untuk menjalani hidup yang lebih penuh arti, bahwa
kebahagiaan tidak dibangun dalam kemewahan, tapi kesederhanaan yang diwarnai
keakraban dan ketulusan.
Tidak
ada yang mengira bahwa akhirnya Nania mau menerima lamaran Rafli. Padahal
secara status sosial, mereka berbeda bagai bumi dan langit. Nania berasal dari
keluarga terpandang. Sedangkan Rafli hanyalah laki-laki biasa. Tidak heran jika
ibu Nania (Ira Wibowo) menentang keras, demikian juga ketiga kakak perempuannya
(Dewi Rezer, Fanny Fabriana, Donita) yang sukses menikah dengan laki-laki yang
mapan (Agus Kuncoro, Uli Herdinansyah, Adi Nugroho) secara bibit, bebet, bobot,
dimata ibunya. Apalagi Nania sudah akan dijodohkan dengan Tyo Handoko (Nino
Fernandez), seorang dokter yang memiliki jaminan masa depan yang sukses.
Berbagai usaha, baik halus dan kasar dilancarkan untuk membatalkan niat Nania,
tapi Nania tidak goyah, dia percaya bahwa hanya dengan Rafli, hidupnya akan
bahagia.
Namun
bahkan setelah Nania dan Rafli menikah, dan dikaruniai dua anak, Yasmin dan
Yusuf, keduanya harus melalui berbagai tekanan dan cobaan yang tidak ada
habisnya. Rafli harus berjuang untuk membuktikan pada Nania, dan semua yang
melecehkannya bahwa sekalipun dia hanya laki-laki biasa, tapi cinta yang
dimilikinya adalah cinta luar biasa.
Dongeng sekali, bukan? Ada
pemuda biasa, bertemu anak orang kaya/bangsawan, saling jatuh cinta, lalu
menikah tentu dengan berbagai tentangan dari orang-orang di sekeliling mereka.
Demikian yang ada dalam pikiran saya saat itu, masih beranggapan tiga besar film
dari cerita karya Asma Nadia itu adalah:
- Surga Yang Tak
Dirindukan
- Jilbab Traveler:
Love Sparks in Korea
- Rumah Tanpa
Jendela
Walaupun ada teman yang mempertanyakan
mengapa Assalamu’alaikum Beijing tidak masuk tiga besar, toh sah-sah saja saya
mengurutkan seperti ini, bukan?
|
Sumber gambar: 21cineplex.com |
Usai menyaksikan Cinta
Laki-Laki Biasa pertama kali, saya tidak mampu langsung berdiri. Sepanjang
film, segala gengsi sebagai lelaki luntur sudah. Saya menangis, bahkan pada
adegan tertentu sampai sesenggukan.
Ternyata bukan hanya saya, semua penonton terlihat sayu, matanya sembab, bahkan
hingga film usai pun masih ada yang berurai air mata. Sungguh di luar
ekspektasi! Tanpa ragu, saya langsung memperbaiki ranking saya atas film-film
dari karya Asma Nadia. Cinta Laki-Laki Biasa langsung menempati urutan pertama
dengan skor yang jauh melampaui Surga Yang Tak Dirindukan. Apa pasal? Ada
banyak keberhasilan film dengan cerita biasa ini menjelma luar biasa. Bahkan
kemudian saya menyaksikan film ini berulang kali, mengajak orang sebanyak
mungkin.
Kekuatan karakter sangat
terasa dalam film ini. Sebutlah saja pemilihan nama Muhammad Rafli Imani yang
demikian menggambarkan dari keluarga sederhana (Muhammad di awal nama adalah
hal yang sangat lumrah dan ‘pasaran’ di masyarakat Indonesia, tanpa maksud
merendahkan nama Baginda Nabi) dan Nania Dinda Wirawan yang memperkuat karakter
dari keluarga terpandang putri pak Wirawan. PIlihan mobil, pakaian, rumah,
bahkan handphone yang terkesan ‘antik’
juga kekuatan bagi sosok Rafli sebagai laki-laki biasa. Di sisi lain, kehadiran
tiga kakak Nania memberikan perbandingan karakter yang nyata dengan si bungsu.
Ini tidak terhenti pada karakter tokoh utama saja. Semua tokoh pada film ini
berperan penting dalam membangun cerita.
Selain karakter, unsur lain
yang tentu sangat penting adalah cerita itu sendiri. Dengan alur yang hampir
semuanya linear, film ini mudah dipahami. Namun dibalik kemudahan pemahaman
itu, penonton dibawa hanyut adegan per adegan. Pun hampir tidak ada adegan yang
tidak perlu. Alim Sudio berhasil menuangkan cerita ini ke dalam skenario yang
mengesankan, jauh melampaui Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea yang juga ia
tulis skenarionya dan disutradarai oleh orang yang sama.
Pemandangan? Apa lagi yang
kurang dari sejuknya pemandangan Pengalengan yang hijau dan sangat meneduhkan?
Salah satu unsur daya tarik sebuah film berhasil dirangkum dengan porsi yang
pas dalam film ini. Tidak berlebihan, namun juga tidak terkesan hanya tempelan.
Lalu tentu saja akting
pemainnya sangat penting dalam menjadikan sebuah film dinilai bagus atau tidak.
Menyaksikan film-film sebelumnya, saya sama sekali tidak menyangka Deva Mahenra
berkolaborasi demikian apik dengan Vaelo Vexia dalam film ini. Ini adalah
akting terbaik mereka sejauh ini. Raut wajah, gerak-gerik, dialog, bahkan
lirikan mata pun demikian sukses mereka perankan. Tidak ketinggalan peran
pendukung semisal Nino Fernandez yang sukses membuat penonton sempat berburuk
sangka lalu malah mengacungi jempol kepada tokoh Tyo Handoko, pun Muhadkly Acho
sebagai Tolle Syukur yang berkali-kali membuat penonton tertawa tanpa lawakan.
Kalau akting pemeran seniornya sih tidak usah ditanya lagi. Cok Simbara, Dewi
Yull, dan Ira Wibowo juga ikut memainkan emosi penonton campur aduk dengan
peran mereka.
Nah, bagaimana pesan di
dalamnya? Bukankah ini disebut juga film Islami yang diangkat dari cerita salah
satu dari 500 Muslim Berpengaruh Dunia? Tentu harus ada pesan-pesan dakwah di
dalamnya, kan? Ternyata, satu lagi kecerdasan film ini. Pesan-pesan di dalamnya
disampaikan dengan santai, masuk ke dalam cerita, dan mudah dicerna. Tanpa
begitu disadari, penonton diberikan pesan-pesan yang sesungguhnya sangat
Islami. Tentang harta yang sebagiannya milik orang lain, tentang Islam cinta
damai, tentang jilbab, tentang kesabaran, tentang penghormatan terhadap
orangtua, tentang pendidikan anak, tentang keharmonisan rumah tangga, dan masih
banyak lagi.
Dari tadi membahas
kelebihannya melulu, lantas apa yang kekurangan dari film ini?
Sebenarnya terlalu jauh kalau
disebut kekurangan dari film ini, karena pada dasarnya hal-hal itu sangat bisa
dimaklumi dalam sebuah industri film. Apalagi kepiawaian akting para pemerannya
sangat menutupi dan membuat kekurangan-kekurangan itu termaafkan.
Di antara hal yang aneh dalam
film ini adalah Yasmin yang dilahirkan secara prematur. Lalu mengapa pada
adegan Rafli dan Nania memandangi dari balik kaca terlihat sebagai bayi normal
dengan ukuran tubuh bukan seperti bayi baru lahir? Pun Nania yang langsung bisa
berjalan tanpa dipapah, padahal baru sadar setelah kemarin diberikan tindakan
operasi caesar yang tentunya menyisakan
luka yang membuat kesulitan berjalan. Tapi untuk kasus ini termaafkan karena anggaplah
obat bius dan pereda nyeri di rumah sakit mahal bekerja sangat efektif,
lagipula Nania berjalan pelan dan sempat mengaduh.
Agak kurang logis juga
mengapa Nania dengan mudah mengingat Dokter Tyo, sementara suaminya sendiri
tidak ia kenali? Tapi ternyata termaafkan karena jelas sekali penampilannya
dokter dan menggunakan badge nama “Tyo
Handoko” yang sangat mudah terbaca. Demikian juga agak kurang logis dengan anak
Tolle dan Ida yang berusia sekitar dua tahun tapi sudah seperti sekitar empat
tahun saat adegan singkat Tolle mengangkatnya untuk melambaikan tangan kepada
Rafli.
Tapi lagi-lagi,
kekurangan-kekurangan seperti ini lumrah, dapat diterima, dan tertutupi oleh
adegan para pemainnya. Bukan hanya pemeran dewasa, Messi Gusti yang memerankan
Yasmin pun turut mendapatkan perhatian istimewa dari para penonton. Tidak
banyak aktris cilik bisa berperan sedemikian apik, bahkan menangisnya pun
terlihat begitu nyata.
Akhir kata, saya mencoba memberikan
nilai dalam angka. Dalam rentang 1 sampai dengan 10, saya memberikan nilai 9,83
untuk Film Cinta Laki-Laki Biasa. Itu artinya saya juga sangat merekomendasikan
siapapun untuk menyimak film ini minimal satu kali di bioskop. Oh, ya. Jangan
lupa bawa selampai atau tisu sebelum masuk bioskop yang menayangkan film ini. Untuk
para laki-laki yang mungkin gengsi, pakai kaus lengan panjang saja yang mungkin
bisa dimanfaatkan untuk beberapa kali mengusap air mata.
Ternyata benar ini dongeng
pengantar tidur. Berhari-hari setelah menyaksikan film ini, masih
terngiang-ngiang. Teringat sebelum tidur, bahkan terbawa dalam mimpi.
Dio Agung Purwanto
Bintaro, 18 Desember 2016