Crowd Funding? Aku
harus ikut! Sekecil apapun, harus ada uangku di sana!
Menancap rasanya tekad itu saat pengumpulan dana demi film yang
ditunggu-tunggu itu diumumkan. Film dari cerita yang telah dinanti banyak orang
untuk diangkat ke layar lebar lebih dari dua dekade. Banyak pengakuan orang
bahwa cerita itu telah menginspirasi mereka untuk menjadi lebih baik, dan tak
sedikit dari mereka yang memutuskan perubahan-perubahan besar dalam hidupnya
setelah membaca Ketika Mas Gagah Pergi. Aku pun demikian, merasa tergugah bahwa
menjadi orang baik bisa dimulai dari hal-hal mudah pada diri sendiri, sejak
mengenal sosok Mas Gagah.
Sepuluh ribu, dua puluh ribu, kukumpulkan demi ikut merasakan buncahnya
dada ketika film itu nyata kelak. Meskipun mungkin kalaupun berkesempatan,
hanya bisa menyaksikannya satu kali penayangan. Ya, kala itu aku masih merantau
untuk menjemput rejeki di Meulaboh yang terlampau jauh dari bioskop. Medan
adalah kota tempat bioskop terdekat kala itu. Untuk mencapainya dari Meulaboh,
perlu perjalanan darat lebih dari dua belas jam.
Ramadan menjelang, lebaran pun datang. Kabar demi kabar perkembangan
film itu mengalir deras. Audisi pemain, proses karantina dan shooting, juga segenap informasi lain
tak luput kuikuti perkembangannya dari kejauhan. Bahagia sekali rasanya,
sebentar lagi film itu nyata. Ah, tak apa kalaupun harus menyaksikan maksimal
hanya satu kali, setidaknya secuil bagianku sudah ada di film itu.
September 2015, gema itu menjelma di dada. Selamat tinggal Meulaboh,
halo Jakarta! Gusti Allah Maha Agung, hamba bisa memilih ibukota sebagai tempat
pilihan pada penjualan tiket presale.
Satu tiket? Tidak, harus tiga! Debar menggempar menantikan tanggal keramat:
enam belas Januari. Meskipun kemudian keramatnya harus digeser: dua puluh satu
Januari. Hal terpenting adalah aku akan bisa menyaksikannya lebih dari satu
kali.
Pondok Indah Mall, tempat pertama yang menyaksikan kehadiranku di sebuah
studio yang menayangkan film yang akhirnya nyata: Ketika Mas Gagah Pergi.
Durasi 99 menit tak terasa, mengalir begitu saja. Ada embun membasahi hati demi
menyaksikan kualitas film yang jauh melampaui ekspektasi, ada gemeretak yang
teramat menyentak bahwa ini bukan film biasa. Dana yang terbatas sama sekali
tak mengurangi kualitas. Ini baru namanya film! Langkah pertama keluar ke lobi
utama, terpatri asa dalam dada. Aku harus menyaksikan layar lebar dihiasi film
ini sebulan penuh! Lalu, sejak itulah aku menjadi ‘penjaga pintu bioskop’.
Setiap sore/malam kusambangi bioskop yang menayangkan KMGP The Movie.
Langgananku yang terdekat dari tempat tinggal tentulah Lotte Mart Bintaro. Usai
membeli tiket, biasanya aku akan duduk di dekat pintu masuk lobi bioskop.
Setiap melihat ada pengunjung yang datang, rasanya berdebar-debar. Lalu aku
bergumam, “Ayo... Nonton KMGP aja, KMGP aja, filmnya bagus loh!” Lantas, “Yes!”
Berbunga-bunga rasanya ketika kulihat mereka masuk ke studio yang menayangkan
Ketika Mas Gagah Pergi.
Oh iya, mungkin kau bertanya-tanya, seberapa istimewa film ini hingga
aku harus mengunjungi bioskop di Lotte Mart Bintaro hampir setiap hari? Ya,
‘hampir setiap hari’ selama penayangan reguler karena kadang aku juga
‘mengambil jatah’ di Blok M Square atau tempat lainnya. Aku memang cukup
terlambat mengenal cerita KMGP. Walaupun ia hadir sebelum Ayat-Ayat Cinta dan
Ketika Cinta Bertasbih yang fenomenal itu, namun aku baru mengenal Ketika Mas
Gagah Pergi di awal tahun 2009. Saat itu di kediaman seorang sahabat kutemukan
buku yang sudah lusuh dan mulai menghitam di sana-sini, dengan cover wanita berjilbab menunduk sendu
dan siluet seorang lelaki. Tak lain buku itu adalah salah satu masterpiece karya sastrawan terkemuka,
Helvy Tiana Rosa, ialah Ketika Mas Gagah Pergi. Kala itu, cerita tentang Mas
Gagah menyadarkanku bahwa untuk menjadi orang baik tak selalu harus serumit dan
se-complicated menjadi seperti Mas
Fahri di AAC dan Mas Azam di KCB, bahwa menjadi orang baik cukup dimulai dengan
perubahan walaupun sangat kecil. Kehadiran Mas Gagah membuka mataku bahwa siapa
saja bisa menjadi orang baik, termasuk diriku. Apalagi mendapati kualitas KMGP
The Movie yang tidak bisa dianggap remeh, maka tekad untuk menyaksikan film ini
sesering mungkin semakin membulat.
Pekan pertama ‘menjaga pintu’ pun berlalu, hasrat menyaksikan filmnya
berulangkali sebagian sudah terpenuhi, adegan demi adegan bahkan mulai kuhapal
dan kugunakan untuk mengompor-ngompori teman yang belum ambil bagian sebagai
penonton. Namun hilangnya sebagian besar bioskop dari daftar yang menayangkan
KMGP The Movie membuatku tersentak. Aku harus berbuat lebih! Ya, tidak boleh
hanya aku yang menikmati suguhan pesan sarat makna dalam balutan sinematografi
yang ciamik ini. Tidak cukup hanya
mengharapkan ada orang-orang di luar sana yang melakukan hal yang sama
denganku, nonton berulang kali.
Kulihat saldo tabungan, sepertinya cukup untuk mentraktir beberapa puluh
teman untuk nonton bareng film ini.
Tapi rasanya masih kurang. Jika saja bisa lebih banyak tiket, tentu lebih
banyak lagi orang yang mendapatkan hikmah dengan cara asyik melalui film ini.
Saat itulah aku mulai bergerilya, berusaha mengumpulkan dana sebanyak mungkin
yang aku bisa demi mengajak sebanyak mungkin orang untuk menyaksikan film ini.
“Mas, sampeyan ada tabungan nganggur? Ta’ pinjem sampe
April boleh?”
“Bang, kau ada uang yang bisa kupinjam nggak? Pinjam
lah, Bang. Nanti aku balikinnya nyicil.”
“Mbak, kemarin cari laptop ya? Beli laptopku aja mau?”
“Pak, harga dinar sekarang berapa? Saya mau jual.”
“Kaaak, aku boleh pakai uangmu dulu? Bulan depan aku
balikin sebagian, bulan depannya lagi lunas.”
Rombongan anak jalanan, penderita kanker, sepasang kakek-nenek, relawan
bencana, mereka hadir dan tersenyum puas menenteng tiket bioskop melewati pintu
yang kujaga. Bukan hanya sekali mata ini basah, terenyuh menyaksikan sumringahnya
mereka menemuiku dan bertanya, “Masih ada tiketnya, Mas?” Ya, sebagian mereka
bahkan menginjak lobi bioskop pun belum pernah sebelumnya. KMGP The Movie lah
pengalaman pertama mereka.
“Filmnya bagus, Mas. Makasih yaa.”
“Diooo, makasih loh atas tiketnya. Akhirnya bisa
nonton juga.”
“Kak, aku sedih lihat Gita bilang benci Mas Gagah.”
“Pak Dio, ya? Ini kemarin saya yang mendampingi
anak-anak asuh di rumah yatim. Filmnya bagus sekali, Pak.”
“Mas, nongki-nongki canci yuk! Kali ini saya dan
teman-teman yang traktir, yaa.”
Aku hampir lupa harapanku atas ‘paralel perilaku’, dengan adanya
orang-orang di luar sana yang berkali-kali nonton KMGP The Movie sebagaimana
yang kulakukan. Hingga di suatu sore akun facebook penulis kawakan yang
beberapa tahun terakhir tercatat sebagai bagian dari 500 Muslim Paling
Berpengaruh di Dunia itu mengumumkan dibentuknya komunitas pembaca setia
karya-karyanya. Bergabung di grup yang di kemudian hari namanya menjadi Helviers itu mempertemukanku dengan
orang-orang yang juga menyaksikan KMGP The Movie berulang kali. Bahkan muncul
istilah ‘murajaah skenario’, bersahut-sahutan menirukan dialog-dialog yang ada
di film ini. Kesamaan dukungan dan serunya bercengkrama membahas berbagai hal
membuat kami mantap mengukuhkan keberadaan Helviers
sebagai ‘komunitas keluarga’. Ternyata harapanku atas ‘perilaku paralel’
menyaksikan film ini berkali-kali pun nyata sudah.
Pekan kedua pun berlalu, petugas XXI Lotte Mart Bintaro sudah hapal dan
terbiasa dengan kehadiranku. Hingga hari itu, gelak penonton saat adegan “Dik
Manis” masih membuktikan penikmatnya belum tergerus. Namun menjadi film
Indonesia terlaris di pekan pertama penayangannya tidak membuat film ini berhasil
meluluhkan pihak bioskop agar bersedia menayangkannya lebih lama. Memang bukan
KMGP jika jalannya tidak terjal. Satu per satu layar yang menayangkan film ini
diturunkan di seluruh Indonesia. Bahkan XXI Lotte Mart Bintaro langgananku dua
pekan itu menurunkan layarnya untuk film ini hanya sehari sejak terakhir
kusaksikan penontonnya masih ramai.
Menembus hujan yang mendesau, kupacu sepeda motorku ke Kota Tangerang.
XXI Mall Balekota, labuhan harapanku selanjutnya. Haru biru ‘jajan tiket’ pun
berlanjut. Sayangnya, tak lama pula ia bertahan di sana. Hingga tersisa satu di
XXI Mega Mall Bekasi. Aku hanya tahu rute lewat Kalimalang, tetap kuterjang
genangan air hujan bercampur lumpur dengan ‘si putih’ yang berkali-kali
kubisiki jangan sampai mogok atau pecah ban. Jarak antara Bintaro dan Bekasi
yang ditempuh dengan sepeda motor di tengah padatnya lalu lintas ibukota dan
cuaca yang hampir selalu membuatku berbasah-basahan tidak bisa disebut dekat.
Hampir dapat dipastikan, tiba di Mega Mall Bekasi aku pun harus menjalankan rutinitas
baru, bersih-bersih dan berganti pakaian di toilet dekat parkir sebelum naik ke
bioskop. Menggigil kedinginan, sesekali aku bergumam, makan apa aku hingga
akhir bulan nanti? Lalu tersenyum dan menghibur diri, lihat bagaimana nanti
saja. Ah, sampai tulisan ini kuselesaikan pun aku masih bisa makan. Selalu ada
rejeki dari-Nya.
Hingga akhirnya, penayangan reguler pun benar-benar habis. Ada ruang
hati yang kosong ketika sore/malam tidak menjalankan rutinitas menjadi ‘penjaga
pintu bioskop’. Ada perasaan yang mengganjal, mendapati kenyataan bahwa film
sebagus ini perolehannya tak seperti yang diharapkan. Ada secercah kecewa,
mengingat banyak orang yang mengaku mendukung film ini namun belum
menyaksikannya karena keburu turun layar lantaran mereka terus menunda-nunda
dengan bermacam agenda. Ada geram yang tak teredam, mengingat pihak-pihak yang
memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan mereka semata. Ya, bukan KMGP
namanya jika perjalanannya tidak berduri.
Beberapa waktu lagi, KMGP 2 akan hadir. Perjuangan menjadi orang baik
tak cukup sampai di sini. Pertarungan memperjuangkan Ketika Mas Gagah Pergi The
Movie masih belum berakhir. Di penayangan KMGP 2, kutekadkan upaya diri harus
lebih baik lagi. Bukan karena ‘terima kasih’ atau ucapan lainnya, tapi karena
menjadi Mas Gagah tak harus serumit menjadi Mas Fahri dan Mas Azam.
Bintaro, 17 April 2016