Selasa, 26 Desember 2017

Chrisye, Karya Magis Tentang Tokoh Legendaris

Susah untuk tidak menangis saat menyaksikan karya apik arahan Rizal Mantovani ini. Menggaet aktor-aktris kawakan Vino G. Bastian dan Velove Vexia sebagai pemeran utamanya, film ini cerdas dan sangat layak tonton.

Sebagaimana biopik tokoh yang sudah meninggal pada umumnya, para penonton jelas sudah tahu penyelesaian film ini seperti apa. Tetapi penceritaan yang menarik dari Alim Sudio mampu membawa penonton penasaran menyaksikan adegan demi adegan. Bukan hanya menampilkan sosok Chrismansyah Rahadi sebagai penyanyi terkenal, film ini juga menceritakan sisi lain kehidupan Chrisye yang teramat rendah hati dan menempatkan keluarga di posisi yang sangat penting.

Vino sangat total memerankan Chrisye. Bahkan pada banyak adegan, penonton seolah merasakan bahwa Chrisye hidup kembali. Cara berjalan, cara berbicara, semua diperankan Vino dengan sangat apik. Dalam berbagai liputan pun, kru pembuatan film mengaku seolah merasakan kehadiran Chrisye. Velove pun tak kalah memesona. Setelah kehadirannya dalam Cinta Laki-Laki Biasa dan Hujan Bulan Juni, film Chrisye memberikan bukti bahwa Velove bukan aktris sembarangan. Acting is reacting, ini yang ditunjukkan Velove ketika memerankan Yanti, istri Chrisye.

Ternyata kepiawaian akting tak hanya ditunjukkan pemeran utama. Lihat saja Ray Sahetapy pemeran papi Chrisye, pun akting Dwi Sasono yang secara menakjubkan mampu meniru gesture Guruh Soekarnoputra sedemikian rupa. Semakin menarik dengan kehadiran Verdi Solaiman, Teuku Rifnu Wikana, dan para pemeran pendukung lainnya. Hanya saja kehadiran Andi Arsyil sebagai Erwin Gutawa cukup mengganggu, pun pemeran Addie M. S. yang mengapa bukan Kevin Aprilio saja?

Pentingnya seseorang memang kadang semakin terasa ketika ia sudah tiada. Termasuk tokoh musik tanah air yang satu ini. Publik semakin menyadari bahwa ia bukan penyanyi biasa sejak kepergiannya. Sepuluh tahun Chrisye berpulang, kehadiran film produksi MNC Pictures dan Vito Global ini membangkitkan kembali kenangan publik atas sosok yang tak ada duanya, Chrismansyah Rahadi. Tak hanya itu, pesan-pesan kebaikan dan pentingnya kedekatan kepada Tuhan terrangkum dengan indah dalam karya apik ini. Semagis ini, rasanya 9,2 dari 10 pantas saya berikan sebagai penilaian atas keseluruhan filmnya.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, Desember 2017

Minggu, 10 Desember 2017

Pesan untuk Dunia Banci

Palestina adalah tanah saudara kami
Tegak dan merdeka oleh para pewaris Nabi
Palestina adalah lahan saudara kami
Gagah dan tenteram oleh para pejuang hakiki

Sejengkal bumi Al-Quds kau nodai
Sedunia kami saudaranya tersakiti

Sampai kapan para banci PBB bergeming?
Menunggu Almahdi?
Dekade berganti, begitu saja sudah
Sam makin berani membela zionis banci

Ya, banci!
Kerikil dari tangan mungil Palestina
Sudah cukup menggemetarkan tentara Sam
yang diperbantukan ke penjajah laknat
atas dalih kemanusiaan

Palestina adalah tanah saudara kami
Tahun demi tahun bertahta dalam doa
Kami tak pernah bosan
Nasionalisme kami tak berbatas geografi

Palestina adalah lahan saudara kami
Tak akan goyah oleh laku para banci

Banci zionis
Banci Amrik
Banci PBB
Banci Trump!

Dasar kalian banci
Hadapi langsung saudara kami kalau berani!!
Jangan beraninya pakai rudal
Jangan beraninya pakai blokade
Sementara kalian para banci
bersolek di balik media yang juga banci

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 10 Desember 2017

Selasa, 05 Desember 2017

(P)INDAH

Katanya, semua akan (p)indah
pada waktunya
Tetapi sejak fly over di depan RSPP
masih tiang pancang
ragu rasanya jika pindah itu indah

Secemerlang apapun, pindah menyisakan
kegelisahan karena perubahan
Rekan berganti, suasana berbeda
Rutinitas pun berubah

Apa yang salah dengan zona nyaman?
Terlebih jika baru dibangun hitungan bulan
Bukan oleh robot, tetapi insan
dengan hati, jiwa, dan pikiran

Belum kering benar rekatan semennya
sudah digodam penuh hantam
Sementara tulangnya ranting kering
Dipaksa membangun ulang
Sedikit bergeser saja, padahal

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 5 Desember 2017
di sudut kubikel berlubang paku

Senin, 27 November 2017

Penikmat Film yang Merdeka

Cukup sering saya mendapati teman yang demikian mengagung-agungkan rating, nama sutradara, bahkan menciptakan dikotomi antara film dalam negeri dan film impor. Tanpa perlu menyaksikan keseluruhan filmnya, mereka kadang bisa mengklaim film ini bagus dan film itu tidak. Lucunya, tak jarang pula mereka cenderung memaksakan pendapat orang lain agar sepakat dengannya. Apalagi jika sudah masuk ranah film festival, film yang diberi penghargaan, dan semacamnya. Seolah-olah jika orang lain berpendapat sebaliknya, itu adalah dosa besar yang pantas diolok-olok.

Gambar: https://www.warwickartscentre.co.uk/whats-on/2017/warwick-masterclass-an-introduction-to-analysing-film/
Saya sendiri penikmat film yang tak terlalu peduli rating dan siapa di balik filmnya. Bukan berarti abai sama sekali, tetapi bagi saya menikmati film itu harus merdeka. Tak peduli Dunkirk mendapatkan rating setinggi apapun, bagi saya tak sebagus itu. Tak peduli Marlina: si Pembunuh dalam Empat Babak mendapatkan penghargaan di luar negeri, bagi saya film membosankan yang tidak efisien dan penuh adegan tidak penting. Demikian pula film Indonesia yang sering dipandang sebelah mata, saya akan menyampaikan film itu bagus jika memang mengesankan bagi saya. Dicap sebagai penyuka picisan ala sinetron, saya tetap menyukai Dear Nathan. Pun walaupun raksasa jaringan bioskop tak memberikan banyak layar kepada film Duka Sedalam Cinta, saya rela nonton berkali-kali menempuh jarak cukup jauh dengan mengajak sebanyak mungkin orang. Menilai film Marrowbone bagus pun saya sama sekali tidak melihat rating-nya atau pencapaian penghargaannya.

Bagi saya, rating hanya pendapat subjektif orang-orang yang terlibat dalam pemberian rating itu. Populasinya bahkan bisa dibilang tidak mewakili semua penonton filmnya. Pun penghargaan di festival-festival, belum tentu menggambarkan keindahan dan kualitas filmnya. Maka selayaknya orang yang mengaku mampu menikmati film-film yang menang festival ini-itu tak perlu jumawa dan menganggap kastanya lebih tinggi dibandingkan orang yang beranggapan film itu membosankan.

Masing-masing penikmat film memiliki latar belakang dan ketertarikan yang berbeda. Saya yang seorang muslim tentu sah-sah saja merasa tersinggung dan tidak menyukai American Assassin karena muslim digambarkan barbar dan minim adab di film itu. Begitu pula orang yang sinis kepada Islam akan merasa Duka Sedalam Cinta terlalu agamis dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea terlalu berlebihan mengangkat isu Palestina. Sah-sah saja selama tidak memaksakan kehendak kepada penikmat film lainnya. Rating, review, dan semacamnya itu hanya bumbu referensi yang sedikit memberikan gambaran bagi kita. Adapun penilaian bagus atau tidaknya, setiap penonton memiliki pendapat sendiri yang merdeka.

Dio Agung Purwanto
Jakarta, 27 November 2017